Sabtu, 29 Desember 2012

Menumbuhkan Kesadaran


Rendahnya kesadaran masyarakat akan arti penting sanitasi air dan tingginya resiko mengkonsumsi air tidak higenis belum menjadi perhatian serius bagi warga yang tinggal di sepanjang pesisir Kali Brantas. Sungai yang membentang ditengah-tengah Kota Malang ini berada dalam kondisi tingkat pencemaran yang menghawatirkan.

Sejauh yang penulis amati (disekitar area penulis bermukim saat ini), sekitar 90 % warga yang tinggal di sepanjang pesisir sungai mengarahkan saluran pembuangan rumah tangganya langsung menuju sungai, limbah rumah tangga berupa air sabun bekas mandi, deterjen ketika mencuci, pipa savetytank, bahkan sungai menjadi tempat paling praktis untuk membuang sampah.

Begitu juga dengan peternak-peternak yang letak kandang ternaknya berdekatan dengan aliran sungai Brantas. Rata-rata peternak sapi dan ayam ras membuang limbah (kotoran ternak ketika membersikan kandang) langsung menuju sungai. Padahal, disisi lain, warga yang masih memegang teguh tradisi setempat: sungai sebagai tempat untuk bersuci rata-rata memanfaatkan air sungai untuk mandi.

Saban hari, penulis iseng bertanya pada beberapa warga sekitar: Kok mandinya di sungai, airnya kan kotor?. “Lah, udah dari sononya mas…”. Begitulah rata-rata jawaban yang saya dapati. Bagi masyarakat setempat, terutama diwilayah kecamatan DAU, ada semacam hari-hari tertentu dimana orang-orang tua memandikan anak dan cucu-cucunya disungai, dan mereka sama sekali tidak mempersoalkan sungai yang kini tercemar dalam tingkat cemaran yang sangat parah. Lapak-lapak dari kain atau terpal yang berbaris disepanjang aliran anak sungai adalah pemandangan yang lumrah dijumpai.

Masyarakat yang tak paham arti penting sanitasi tentu tidak memprehatikan hal-hal semacam ini, dan merekalah orang-orang yang paling rentan terserang penyakit. Bayangkan saja, berbagai jenis bakteri dan jenis cacing tertentu yang terkandung dalam kotoran hewan dan limbah yang terbuang menuju sungai  digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian.

Soal Tradisi
Di kecamatan DAU, Malang. Menjumpai orang yang mandi di kali hal yang masih sangat lumrah, sama lumrahnya dengan menjumpai “si kuning” mengambang dan terseret arus, padahal tak jauh dari si kining tadi, ada yang sedang mandi sambil keramas, mencuci pakaiaan, atau yang sekedar bersih-bersih sehabis beraktifitas keseharian.

Menyadarkan masyarakat semacam ini tentang arti penting sanitasi dan pola hidup bersih tentu bukan dengan melabrak tradisi yang sudah berurat dan berakr dalam tubuh mereka. Bagi sebagian masyarakat tertentu, tidak terkecuali masyarakat setempat (Kecamatan DAU); Tradisi tak lain dari urat dan nadi kehidupan, tradisi adalah warna dan identitas mereka; Mandi sekaligus buang hajat dikali tak mungkin secara serta merta dihilangkan dengan alasan menjaga kesehatan atau hidup bersih. Ini sama halnya dengan tradisi kebanyakan masyarakat Indonesia yang gampang membuang sampah sembarangan, butuh waktu untuk merubah watak semacam ini.

Tentu tak ada yang salah dengan mandi di kali, selama airnya bersih dan tidak mengandung bakteri penyebar penyakit yang mengganggu kesehatan. Hanya saja, dilema kemudian muncul, saat ini kebanyakan sumber air yang ada cenderung tercemar dalam tingkat cemaran yang menghawatirkan seiring dengan pesatnya pertumbuhan populasi manusia; limbah industri, rumah tangga, sampah plastik, dll. Persoalan ini terutama terdapat dikota-kota besar, yang kemudian diperparah lagi oleh buruknya saluran drynase, rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, ditambah lagi lembaga yang khusus menangani persoalan-persoalan semacam ini belum mampu beroperasi secara optimal.

Upaya Konservasi
Setidaknya upaya konservasi terhadap sumber daya air merupakan agenda yang harus segera diseriusi, setidaknya tiga elemen penting sebagai aktor utama yang harus mengambil peran sekaligus saling bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Tiga aktor utama ini tak lain adalah: (1). Pemerintah sebagai regulator (2). Masyarakat (3). Swasta (Kalangan pengusaha yang bisnisnya bergerak dibidang pelayanna air bersih)  

Di Malang, kadang-kadang penulis jumpai warga yang mengeluh soal tagihan air yang terlampau mahal. Padahal kalau dicermati secara seksama; Kali Brantas dengan debit airnya yang besar, jika dikelola dengan baik (masyarakat tidak membuang sampah dan limbah kesungai) tentu tagihan dari jasa pengelolaan air setiap bulannya tidak akan membebani masyarakat. Bahkan mungkin masyarakat yang tersebar disepanjang pesisir Kali Brantas mendapat akses airbersih secara gratis.

Menurut hemat penulis: Beberapa tahun mendatang, air yang saat ini sebagai barang murah (gratis) bisa saja menjadi barang yang semakin mahal harganya bila tidak dikelola dengan baik. Masyarakat yang tinggal dipusat-pusat perkotaan tentu paham betul akan hal ini—Setiap mili liter debit air harus dihargai dengan satuan rupiah tertentu.

Pola menjaga lingkungan yang bersih perlu ditumbuhkan sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat yang berurat dan berakar dalam pola berkehidupan sehari-hari. Persoalan pengelolaan sumber daya air bukan saja persoalan ekonomi, akan tetapi juga terkait soal kesehatan dan kualitas hidup masyarakat. Upaya konservasi yang paling efektif tentunya adalah upaya konservasi yang melibatkan masyarakat; menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga sumberdaya air, baik soal kelestarian sumber dayanya, terlebih lagi soal menjaga agar air tidak terkontaminasi oleh berbagai jenis limbah tertentu yang berpotensi menurunkan kadar kualitas kegunaan air itu sendiri.

Pemerintah sebagai pemegang regulasi tentunya perlu untuk segera membuka ruang-ruang dialog dengan pihak-pihak swasta, termasuk institusi-istitusi yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dalam mengelolah sumber-sumber air bersih yang ada saat ini, dan tidak terkecuali juga untuk sumber-sumber air lainnya yang potensial dan belum dikelola kemamfaatanya. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kesediaan data baku tentang pola dan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi air, sejauh mana kesadaran masyarakat terkait soal pentingnya mengonsumsi air bersih serta kesadaran dalam menjaga sumber air yang terbatas adanya.

Data baku merupakan rujukan penting dalam merumuskan kebijakan serta optimalisasi terhadap sumber-sumber pendukung semisal teknologi. Usaha Dopot Air Minum (Galon) yang sudah menjamur diberbagai perkotaan rata-rata memiliki kualitas jauh dibawa kualitas air kemasan yang dipayungi oleh brand perusahaan besar, terlebih lagi usaha dopot air minum banyak yang tidak sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah, entah karena persoalan rendahnya kesadaran akan pentingnya mengonsumsi air yang bersih atau demi meraup keuntungan, maka kualitas tidak lagi diperhatikan. Padahal. dewasa ini, kecanggihan teknologi sanggup memproses air yang tak layak konsumsi menjadi air yang higenis dan layak untuk dikonsumsi, produk penjernih air semakin banyak dijumpai dipasaran dengan jenis dan harga yang cukup beragam.

Edukasi dan penyadaran yang terus-menerus dan berkelanjutan tentu akan sangat membantu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Semoga, dimasa yang akan datang, mindset masyarakat terbentuk, setelah itu muncul dalam tindakan, dan lestari dalam tradisi. Tradisi untuk hidup bersih, menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat hidup dan beranak-cucu.    

Kamis, 27 Desember 2012

Sumpah, Bukan Sekedar Afirmasi!

Afirmasi tanpa tindakan nyata telah menjadi kecendrungan umum yang menonjol dan sering dijumpai pada sikap para politikus kita saat ini, terutama bila dipersangkutkan  pada persoalan-persoalan seperti: persoalan kenegaraan, partai, penyelewengan jabatan, penunggangan terhadap demokrasi, pendidikan, kisruh agama, de-forestasi, dll.

Sudah terlampau sering kita disuguhi anekdok tentang politikus yang tersangkut suatu perkara yang ujung-ujungnya buntu di pengadilan. Sebelum palu diketok, pernyataan sikap muncul disana-sini, lawan menyerang sengik, kawan berbelah sungkawa, dan mereka yang tak punya kepentingan tapi karena soal citra, lantas merasa jadi punya kepentingan. Terjadilah kehebohan berdasar klaim kebenaran versi masing-masing yang kadang-kadang disadur sana-sini. Al-hasil memancing orang lain untuk ikut ribut-ribut.

Lantas, apakah perkara tuntas hingga keakar-akarnya?

Tuntas tentu banyak tafsirannya. Dan tafsiran yang paling membingungkan adalah tafsir terhadap perkara yang sengaja ditutup-tutupi (sengaja dibuat kabur?) ritual pengadilan disulap sedemikian rupa hingga mendekati realita sinetron yang terus berlanjut, yang sepertinya sengaja digiring hingga “episode tanpa akhir”.

Memang susah diterima akal sehat: Bagaimana mungkin seorang yang disumpah dengan “kitab suci” diatas kepala, nyatanya nyeleneh dan mengambil peran nakal dalam mereduksi kebenaran menuju kebenaran lain (kebenaran yang menguntungkan).

Rabu, 04 Juli 2012

Pertumbuhan dan Kecerdasan Anak, Soal Prioritas Orang Tua!


Soal Prioritas Orang Tua
Rendahnya angka konsumsi susu masyarakat indonesia bukan karena faktor pendapatan perkapita yang kecil. Selama ini merebak wacana bahwa: kemiskinan menjadikan masyarakan hidup dalam pola konsumsi yang kurang sehat—makan untuk kenyang. Padahal yang terjadi dilapangan sebetulnya adalah masyarakat kurang melek gizi.

Contoh paling kecil saja, komoditi komsumsi nomor 2 (dua) orang indonesia setelah nasi adalah rokok. Padahal rokok bukanlah barang yang tergolong murah. Jadi, inti masalahnya bukan soal kemiskinan akan tetapi soal prioritas orang tua. Bayangkan saja, harga satu bungkus rokok jauh lebih mahal ketimbang harga satu kaleng susu kental manis. Terlebih lagi, tidak sedikit kepala rumah tangga yang menghabiskan 2-3 bungkus rokok setiap harinya. Sekedar untuk dicermati bersama: Satu batang rokok (Rp 800-Rp 1.000/batang) kurang lebih sama harganya dengan satu saset susu kental manis (Rp 1.000/saset). Tapi sudah menjadi hal yang lumrah bahwa rata-rata orang tua lebih sering menyuruh anak-anaknya untuk membeli rokok ketimbang membeli susu sebagai asupan gizi keluarga.

Sabtu, 30 Juni 2012

Sarung Lebih dari Sekedar "Orang Kampung atau Orang Ketinggalan Jaman"

Photo diambil dari: Kompas.com
Di berbagai pelosok nusantara, sarung begitu akrab dijumpai dalam kehidupan masyarakat: Di Sumatra misalnya, sarung menjadi identitas adat, corak dan warna sarung yang umumnya cerah, erat hubungannya dengan kesejahteraan atau kesuburan alam; Di pulau Jawa, terutama masyarakat santri, sarung adalah simbol perjuangan melawan imperialisme barat; Masyarakat Bali mengunakan sarung dalam berbagai upacara adat dan ritus keagamaan; Di Samarinda (Kalimantan), sarung Bugis lahir dengan nuansa baru, terutama soal corak dan motifnya; Flores (NTT), sarung menjadi simbol kematangan pribadi perempuan penenunnya; Sementara, sarung Bugis menjadi saksi setia mulai saat mereka dilahirkan, menikah, hingga ajal menjemput.
 
Persoalan urgen yang selama ini kurang disorot publik adalah dibalik proses pembuatan sarung, terutama yang masih menggunakan metode tradisional, unsur kretifitas kaum perempuan ternyata sangat menonjol. Sarung tradisional yang umumnya berasal dari kain tenun, rata-rata dikerjakan oleh kaum perempuan, sementara kaum pria bercocok tanam, melaut (mencari nafkah).

Begitu lekatnya sarung dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidaklah berlebihan bila sarung diletakkan sebagai bagian dari identitas sejarah manusia nusantara. Sarung bukan lagi sebatas busana keseharian, melainkan ia juga merekam nilai-nilai luhur serta falsafah manusia nusantara. Sarung sudah menjadi bagian dari identitas kehidupan masyarakat.

Di sumatra, ada masyarakat yang masih memegang teguh tradisi unik: jual beli dengan menggunakan sarung sebagai media transakasi, pembeli maupun penjual tidak berucap sepatah kata pun, melainkan tangan mereka melakukan transaksi dibawa lindungan sarung, orang lain tentu tidak bakal tahu-menahu soal nilai tawar-menawar kecuali mereka yang terlibat dalam transaksi.

Hal yang sama juga terjadi di Betawi (Jakarta). Tengoklah beberapa pasangan CAGUB dan CAWAGUB Jakarta. Mereka yang mengusung kampaye budaya kerap tampil dihadapan publik dengan busana khas Betawi lengkap dengan kopiah hitam dikepala beserta sarung yang dicantolkan dipundak.

Di Flores, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut. Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan...., Ungkapan ini juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya.[i]

Orang Bugis, Makassar, dan Mandar. Tiga suku besar dari Sulawesi ini memberi motif kotak-kotak pada sarung mereka, motif yang ukurannya pariatif; besar maupun kecil. Petak yang dihasilkan dari garis saling memotong dan membatasi tersebut terkandung falsafah nenek moyang mereka: Siri’ na Pacce (malu dan empati) yang dalam penerjemahannya kurang lebih bermakna sebagai: hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain—Manusia harus memahami mana haknya dan mana yang bukan haknya.

Semetara, Sarung Samarinda merekam peristiwa penting tentang sejarah "Kebhinekaan" manusia nusantara jauh sebelum Indonesia lahir dan merdeka: sebuah sejarah yang berawal dari kedatangan rombongan Orang Bugis Wajo, dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado). Rombongan yang hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai (1668). Para Warga Bugis Wajoini ini masuk Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya, setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Mereka minta suaka dan kemudian diterima baik oleh penguasa Kesultanan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, Sultan Kutai memberikan mereka lahan untuk pertanian dan tempat tinggal. Mereka juga (wajib) tunduk dan siap membela Raja Kutai yang kala itu wilayah pesisirnya sering menjadi sasaran bajak laut dari Filipina. Perkampungan yang landai serta adanya amanah Sultan Kutai, menjadikan penduduk di kawasan itu cukup beragam, namun derajatnya sama, baik pendatang maupun warga lokal, sehingga disebut "sama rendah". Itulah sebabnya, kendati dalam perantauan, namun Orang Bugis Wajo tetap melestarikan budaya leluhurnya dalam hal menenun kain secara tradisional. (Kini istilahnya Alat Tenun Bukan Mesin atau ATBM, Red). Sementara itu, warga setempat menyebut alat itu dengan 'Gedokan'.[ii]


Budaya Moderen
Moderenitas, selain membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan manusia, ia juga acapkali memerangkap manusia kedalam dunia ambigu, terbius oleh praktik-praktik komodifikasi yang massal dan massif. Orang-orang kebingungan, kehilangan landasan, dan semena-mena terhadap nilai-nilai lama dan budaya-budaya lokal yang tak lagi dipahami secara mendalam, kecuali sebatas budaya kuno, ketinggalan jaman, norak, tidak fashionable (kurang modis), dan tidak moderen tentunya.

Jadinya: Orang bersarung identik dengan orang kampung, sementara orang kampung identik dengan orang ketinggalan jaman alias tidak moderen. Konsep dualisme antara rural-urban; desa di interpretasikan dari sudut pandang kota, dan demikian juga sebaliknya. Dampaknya, rural (desa) yang sama sekali tidak memiliki sarana untuk mengekspresikan dirinya, terutama lewat sarana media, secara otomatis ter-subordinasi oleh urban (kota) yang memiliki kekuatan kapital.

Sarung, meskipun tampilannya cukup sederhana, namun jika diselami lebih mendalam, maka akan ditemukan bahwa ia bukan sekedar pernak-pernik dari produk budaya, sarung merekam berbagai tradisi leluhur, terutama nilai-nilai luhur yang saat ini tak lagi banyak diketahui orang.

Apatah lagi, filosofi (kearifan lokal) pada setiap sarung umumnya berbeda-beda tergantung dari masyarakat mana sarung itu berasal. Asal sebuah sarung tentu akan sangat menentukan seperti apa: bentuk, ukuran, terutama corak (motif), warna, dan bahan baku pembuatannya.

Sarung bisa tampil modis?

Inovasi tentu mutlak adanya, tapi inovasi tidak boleh serta-merta melabrak segalanya, apatah lagi sampai meruntuhkan kearifan lokal yang seharusnya menjadi bagian dari identitas bangsa.


Maukah Kita Ber-sarung?
Pengembala Kerbau di Tanah Toraja tak perlu lagi ditanya soal sarung, demikian juga dengan perempuan-perempuan terhormat di Plores (NTT). Tapi bagaimana dengan nasib para penenun asal Wajo beserta saudara-saudara mereka ditanah rantau (Samarinda), mereka pencet kepala karena sarung buatan sendiri tak lagi laku di pasar. Sementara, masyarakat urban enggan berbusana sarung, enggan cap kolot (ketinggalan jaman) melekat di jidat dan pundak. 

Rabu, 30 Mei 2012

Multi-kulturalisme; Memupuk Nurani dan Kemanusiaan


Multi-kulturalisme sejatinya dimaksudkan untuk mendukung terjadinya pengangkatan harkat dan martabat manusia (mencari jalan atas kusutnya pertautan antara kepentingan dan hak-hak asasi ummat manusia). Mengelola konflik dan keberagaman (agama, ras, suku, hingga pada tingkatan kebangsaan) kedalam suatu ranah saling memahami antara satu golongan dengan glongan yang lainnya.

Meski memiliki cita-cita dan tujuan yang sangat suci, Multi-kulturalisme sendiri belum mampu membebaskan diri dari paradoks-paradoks yang terkandung dalam tubuh-multikulturalisme itu sendiri. Dalam multi-kulturalisme, tidak boleh ada pemaksaan pemahaman terhadap yang tidak percaya dengan konsep multi-kulturalisme.

Di sinilah letak paradoks yang saya maksudkan diatas. Pada satu sisi, multikulturalisme menawarkan konsep yang sangat suci (menghargai kebebasan, hak, dan keragaman) namun pada sisi yang lain, multi-kulturalisme sendiri tidak mampu menjawab sejauh mana batas-batas kebebasan yang ditawarkan. Contoh paling kecil adalah; sikap seperti apa yang sepantasnya ditempu terhadap orang-orang yang menolak multikulturalisme itu sendiri. Bagaimana kebebasan individe ketika berhadapan dengan kebebasan orang banyak, kebebasan orang banyak berhadapan dengan kebebasan orang banyak. Maslahat yang kompleks dan membutuhkan pemecahan yang tidak mudah

Pada tataran ide dan konsep, persoalan diatas tidak akan menimbulkan masalah yang kompleks, akan tetapi jika konsep itu diturunkan pada ruang-ruang terapan, maka yang terjadi adalah munculnya benturan-benturan yang tidak dapat dihindarkan antara multi-kulturalisme dengan paham-paham yang menolak multi-kulturalisme itu sendiri, misalkan saja antara mayoritas dan minoritas, tradisi adat yang menjadi momok dari moderenisme.

Seharusnya multikulturalisme melerai pertentangan-pertentangan, justru pada titik-titik ekstrim tertentu multikulturalisme tidak menjalankan fungsinya: melerai konflik dan pertengkaran-pertengkaran—meredakan klaim-klaim kebenaran yang dengan muda mereduksi bahkan membunu kebenaran lainnya. Multikulturalisme justru serta-merta ikut kedalam konflik dan menjadikan persoalan semakin konfleks.

Jika multi-kulturalisme bukan upaya untuk mempersamakan dan mempersatukan (mengkompres keberagaman kedalam universalitas), segala nilai kebenaran menjadi satu. Maka, bagaimanakah mekanisme itu dapat bekerja?, Kapan ia bekerja?, Pada wilayah mana mekanisme itu mampu dan tidak mampu bekerja?, Sejauh mana kemandirian dan keterkaitannya dengan teori-teori sosial yang telah ada, Apakah Multi-kulturalisme adalah variable yang independent ataukah dependen? Dalam hal ini agar dapat menjawab permasalahan-permasalahan multikultural yang selama ini ada, tanpa didikte oleh kepentingan-kepentingan tertentu.

Sejatinya multikulturalisme memiliki nilai-nilai independen yang diharapkan sebagai perekat bagi segala perbedaan dan keragaman yang ada. Tentunya dengan menghindari upaya-upaya konversi yang dipraktekkan oleh globalisasi ala moderenisme.

Jika itu tidak dapat disanggupi maka yang terjadi adalah multikulturalisme sangat rawan untuk dihegemoni dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Namun pada sisi lain, upaya untuk merumuskan nilai akan sangat rawan sebab upaya-upaya itu akan senantiasa berdekatan dengan rusaknya ide utama dari pengakuan terhadap multikultur itu sendiri, namun membiarkan multikulturalisme itu sendiri mengambang justru membuka ruang masuknya hegemoni kedalam tubuh multikulturalime itu sendiri.

Hak individu dalam sebuah keberagaman adalah kemaslahatan
Hak individu atau yang kita kenal sebagai hak asasi, cukup mencuat dibicarakan sepanjang satu abad belakangan ini. Maraknya tragedi kemanusiaan, menyusul dua perang besar dunia (perang dunia I dan II) seolah melahirkan suatu kesadaran baru: sebuah kesadaran baru yang menempatkan harkat manusia jauh lebih berharga ketimbang sekedar tumbal perang demi langgenggnya suatu rezim.

Mula-mula muncul politik apartheid di Afrika Selatan, yang menyorot soal rendahnya harkat dan martabat orang-orang kulit hitam di hadapan orang kulit putih—Ras-ras Afrika Selatan kemudian dipisahkan kedalam wilayah tertentu dan diberi kebebasan dan perlindungan hukum yang sama. Semua ras memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap negara.

Pengakuan terhadap kultru yang berbeda-beda, dalam prakteknya tentu jauh lebih mudah ketimbang pengakuan terhadap indentitas individu yang berbeda-beda. Terlebih lagi jika persangkutannya adalah soal identitas, sebab bisa jadi dalam suatu ras, suku, dan golongan terdapat identitas individu yang sangat berbeda dengan identitas yang umum dijumpai pada masyarakatnya. Hak asasi manusia (humad right) jika persangkutanya adalah individu (entitas personal), tentu menjadi sangat sulit untuk didefinisikan.

Ekspresi kebebasan individu seringkali berbantahan dengan kepentingan khalayak umum, demikian juga tidak jarang seseorang atau suatu kelompok tertentu kehilangan hak-haknya hanya karena berbantahan dengan klaim kepentingan khalayak umum. Paling realistis adalah kekerasan yang dialami jemaat Ahmadiyah, tragedi kemanusian Mei 98 yang menimpa etnis Thionghoa, dan banyak lagi kasus yang lainnya.

Kemanakah nurani dan kemanusian itu, masikah ia ada di setiap individu yang memiliki klaim kebenarannya masing-masing?. Lunturkah ia akibat perbedaan paham pemikiran yang kini semakin mendapat tempat untuk berekspresi menurut caranya masing-masing?

Labels