Photo diambil dari: Kompas.com |
Di
berbagai pelosok nusantara, sarung begitu akrab dijumpai dalam kehidupan
masyarakat: Di Sumatra misalnya, sarung menjadi identitas adat, corak dan warna sarung
yang umumnya cerah, erat hubungannya dengan kesejahteraan atau kesuburan alam;
Di pulau Jawa, terutama masyarakat santri, sarung adalah simbol perjuangan melawan
imperialisme barat; Masyarakat Bali mengunakan sarung dalam berbagai upacara
adat dan ritus keagamaan; Di Samarinda (Kalimantan), sarung Bugis lahir dengan
nuansa baru, terutama soal corak dan motifnya; Flores (NTT), sarung menjadi
simbol kematangan pribadi perempuan penenunnya; Sementara, sarung Bugis menjadi
saksi setia mulai saat mereka dilahirkan, menikah, hingga ajal menjemput.
Persoalan urgen yang selama ini kurang disorot publik
adalah dibalik proses pembuatan sarung, terutama yang masih menggunakan metode
tradisional, unsur kretifitas kaum perempuan ternyata sangat menonjol. Sarung
tradisional yang umumnya berasal dari kain tenun, rata-rata dikerjakan oleh
kaum perempuan, sementara kaum pria bercocok tanam, melaut (mencari nafkah).
Begitu lekatnya sarung dalam kehidupan masyarakat, sehingga
tidaklah berlebihan bila sarung diletakkan sebagai bagian dari identitas
sejarah manusia nusantara. Sarung bukan lagi sebatas busana keseharian,
melainkan ia juga merekam nilai-nilai luhur serta falsafah manusia nusantara. Sarung
sudah menjadi bagian dari identitas kehidupan masyarakat.
Di sumatra, ada masyarakat yang masih memegang teguh
tradisi unik: jual beli dengan menggunakan sarung sebagai media transakasi, pembeli
maupun penjual tidak berucap sepatah kata pun, melainkan tangan mereka
melakukan transaksi dibawa lindungan sarung, orang lain tentu tidak bakal tahu-menahu
soal nilai tawar-menawar kecuali mereka yang terlibat dalam transaksi.
Hal yang sama juga terjadi di Betawi (Jakarta). Tengoklah
beberapa pasangan CAGUB dan CAWAGUB Jakarta. Mereka yang mengusung kampaye
budaya kerap tampil dihadapan publik dengan busana khas Betawi lengkap dengan
kopiah hitam dikepala beserta sarung yang dicantolkan dipundak.
Di
Flores, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata
utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah
buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut.
Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan....,
Ungkapan ini juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan
kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya.[i]
Orang
Bugis, Makassar, dan Mandar. Tiga suku besar dari Sulawesi ini memberi motif
kotak-kotak pada sarung mereka, motif yang ukurannya pariatif; besar maupun
kecil. Petak yang dihasilkan dari garis saling memotong dan membatasi tersebut
terkandung falsafah nenek moyang mereka: Siri’
na Pacce (malu dan empati) yang dalam penerjemahannya kurang lebih bermakna
sebagai: hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain—Manusia harus memahami mana
haknya dan mana yang bukan haknya.
Semetara,
Sarung Samarinda merekam peristiwa penting tentang sejarah
"Kebhinekaan" manusia nusantara jauh sebelum Indonesia lahir dan merdeka: sebuah sejarah yang berawal dari
kedatangan rombongan Orang Bugis Wajo, dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar
Pua Ado). Rombongan yang hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai
(1668). Para Warga Bugis Wajoini ini masuk Kesultanan Kutai karena mereka tidak
mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya, setelah Kesultanan Gowa kalah
akibat diserang oleh pasukan Belanda. Mereka minta suaka dan kemudian diterima
baik oleh penguasa Kesultanan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, Sultan
Kutai memberikan mereka lahan untuk pertanian dan tempat tinggal. Mereka juga (wajib)
tunduk dan siap membela Raja Kutai yang kala itu wilayah pesisirnya sering
menjadi sasaran bajak laut dari Filipina. Perkampungan yang landai serta adanya
amanah Sultan Kutai, menjadikan penduduk di kawasan itu cukup beragam, namun
derajatnya sama, baik pendatang maupun warga lokal, sehingga disebut "sama
rendah". Itulah sebabnya, kendati dalam perantauan, namun Orang Bugis Wajo
tetap melestarikan budaya leluhurnya dalam hal menenun kain secara tradisional.
(Kini istilahnya Alat Tenun Bukan Mesin atau ATBM, Red). Sementara itu, warga
setempat menyebut alat itu dengan 'Gedokan'.[ii]
Budaya
Moderen
Moderenitas, selain membawa perubahan yang mendasar
dalam kehidupan manusia, ia juga acapkali memerangkap manusia kedalam dunia ambigu, terbius oleh praktik-praktik komodifikasi yang massal dan massif. Orang-orang kebingungan, kehilangan landasan, dan semena-mena terhadap nilai-nilai
lama dan budaya-budaya lokal yang tak lagi dipahami secara mendalam, kecuali sebatas
budaya kuno, ketinggalan jaman, norak, tidak fashionable (kurang
modis), dan tidak moderen tentunya.
Jadinya: Orang bersarung identik dengan orang
kampung, sementara orang kampung identik dengan orang ketinggalan jaman alias tidak
moderen. Konsep dualisme antara rural-urban; desa di interpretasikan dari sudut
pandang kota, dan demikian juga sebaliknya. Dampaknya, rural (desa) yang sama
sekali tidak memiliki sarana untuk mengekspresikan dirinya, terutama lewat
sarana media, secara otomatis ter-subordinasi oleh urban (kota) yang memiliki kekuatan
kapital.
Sarung, meskipun tampilannya cukup sederhana, namun jika diselami lebih mendalam, maka akan ditemukan bahwa ia bukan sekedar pernak-pernik dari produk budaya, sarung merekam berbagai tradisi leluhur, terutama nilai-nilai luhur yang saat ini tak lagi banyak diketahui orang.
Apatah lagi, filosofi (kearifan lokal) pada setiap
sarung umumnya berbeda-beda tergantung dari masyarakat mana sarung itu berasal.
Asal sebuah sarung tentu akan sangat menentukan seperti apa: bentuk, ukuran, terutama
corak (motif), warna, dan bahan baku pembuatannya.
Sarung
bisa tampil modis?
Inovasi tentu mutlak adanya, tapi inovasi tidak boleh serta-merta melabrak segalanya, apatah lagi sampai meruntuhkan kearifan lokal yang seharusnya menjadi bagian dari identitas bangsa.
Maukah Kita
Ber-sarung?
Pengembala Kerbau di Tanah Toraja tak perlu lagi ditanya
soal sarung, demikian juga dengan perempuan-perempuan terhormat di Plores
(NTT). Tapi bagaimana dengan nasib para penenun asal Wajo beserta saudara-saudara mereka ditanah rantau
(Samarinda), mereka pencet kepala karena sarung buatan sendiri tak lagi laku di pasar. Sementara,
masyarakat urban enggan berbusana sarung, enggan cap kolot (ketinggalan jaman)
melekat di jidat dan pundak.