Minggu, 27 November 2011

Selasa, 31 Mei 2011

Menghargai Karya Anak Bangsa


Sebetulnya ada apa dengan pola fikir kita dewasa ini?. Kita mengenal berbagai merek produk-produk terkenal dunia semisal ; Nike, Reebok, Adidas, Gap, Old Navy. Dan, dengan begitu bangganya kita berburu produk-produk (Made In USA/UK) tersebut. Padahal, jika selidik punya selidik, produk-produk tersebut justru diproduksi dalam negeri sendiri. Konon, hanya labelnya saja yang (Meda In USA/UK).

Diluar negeri, semisal negara-negara Eropa Barat. Merek-merek yang saya sebutkan diatas dan berlabelkan Made In Indonesia dijual dengan harga fantastis. Sementara didalam negeri, buruh-buruh pabrik diupah dengan sangat rendah.

Untuk sepasang sepatu olahraga dijual dengan kisaran harga Rp 1,4 juta, sementara buruh domestik hanya mendapatkan sekitar 5.000 perak dari harga jual itu.

Barangkali kemiskinan yang mendera menjadikan masyarakat indonesia terpuruk dan rela bekerja apa saja untuk mendapatkan penghidupan, meski penghidupan tersebut sangat jauh dari penghidupan yang layak. Dalam hal ini, kontraktor-kontraktor perusahaan asing yang beroperasi dalam negeri,  mempekerjakan buruh domestik dengan upah yang sangat rendah untuk memproduksi merek-merek terkenal dunia. Lantas, menjual produk-produk tersebut dengan harga yang tinggi lewat kekuatan jaringan bisnis trans-nasional yang cenderung monopilistik.

Rendahnya apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa menjadikan kondisi semacam ini terus saja menjadi permasalahan yang berlarut-larut dan tak kunjung terselesaikan. Sekedar contoh saja, soal betapa mengenaskannya apresiasi terhadap karya anak bangsa; Tiger Wood pe-golf profesional dunia itu. Cuman sekedar mempromosikan merek Nike pada dunia, tapi Tiger Wood mendapatkan bayaran yang jauh lebih tinggi ketimbang jumlah upah yang diterima oleh keseluruh buruh domestik yang memproduksi produk-produk Nike di Indonesia.

Lantas, kapankah kemandirian bangsa itu dapat terwujud?. Sementara jutaan anak bangsa terjebak sebagai kuli kasar dengan upah ala kadarnya (sekedar cukup untuk  menyambung hidup) bagi setiap karya-karya terbaik mereka. Tak ayal lagi, bagi sebagian anak-anak bangsa jenius ini, yang memiliki wawasan global yang cukup memadai, memilih untuk migrasi ke negara lain demi mendapat penghidupan yang lebih layak.

Fenomena Brain Drain (Migrasinya orang-orang jenius dari suatu daerah/negara) yang melanda negeri ini disebabkan oleh tidak adanya supporting system yang memadai. Karya-karya anak bangsa  terpinggirkan dan putra-putri bangsa yang jenius tidak mendapat ruang yang memadai untuk berkarya demi bangsa dan negerinya.

Sekedar berkaca pada  PT.  Dirgantara yang dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat (4/9/07), baru berselang sebulan kemudian, keputusan itu dicabut kembali (24/10/07) dan PT. Dirgantara pun beroperasi kembali, hanya saja tidak dengan sokongan modal yang memadai seperti sebelumnya. Saat ini, industri strategis tersebut mengalami nasib “tak enggan mati dan tak enggan hidup” .

Padahal, semenjak tahun 2000, PT. Dirgantara menunjukkan kinerja yang cukup baik. Sudah banyak pesanan dari luar negeri seperti Thailand, Malaysia, Brunei, Korea, Filipina dan lain-lain. Alhasil, karena tidak adanya dukungan sporting system yang jelas, banyak dari serikat pekerja (tenaga ahli) melarikan diri keluar negeri dikarenakan oleh tidak adanya jaminan penghidupan yang layak didalam negeri. Kini tenaga-tenaga ahli tersebut tersebar diberbagai negara seperti Amerika, Jerman, dan negara-negara lain yang maju dibidang industri teknologi.

Membangun Sporting System yang memadai
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan ekonomi perlu meninjau ulang sistem kebijakan investasi domestik yang ada saat ini, selain itu pemerintah juga perlu menganut politik-ekonomi yang membuka ruang-ruang apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa.

Ruang apresiasi yang saya maksudkan dalam hal ini ialah; setiap investor asing yang hendak atau sedang beroperasi di Indonesia semestinya diharuskan untuk menggunakan tenaga-tenaga ahli domestik. Bahkan jika perlu, transfer teknologi sesuai yang diamanatkan dalam Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) segera direalisasikan. Dengan begitu, bukan hanya sekedar menghidarkan negara dari kompetisi pasar global yang tidak adil, tapi sekaligus menggali dan memberdayakan potensi  ekonomi dan sumber daya manusia (SDM) domistik.

Kebijakan semacam inilah yang menjadi kunci kesuksesan pembangunan ekonomi China dewasa ini. Negara-negara sedang berkembang dewasa ini banyak yang tercengan oleh dampak dari implikasi kebijakan investasi dan politik-ekonomi yang memberdayakan masyarakat lokal (China). Saat ini, hampir semua merek komputer terkenal dunia berlabelkan Made In China. Perusahaan komputer raksasa semisal; DEL, Toshiba, Acer, dan berbagai merek terkenal lainnya kini semuanya diproduksi di China dengan memberdayakan masyarakat lokal sebagai tenaga ahlinya. Dipasaran domestik, semua merek komputer yang kini diperjual-belikan berlabel Made In China.

Menggali Potensi Bangsa
Saat ini, jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta. Menurut proyeksi BKKBN pertumbuhan jumlah penduduk domesti berpotensi untuk mengusur Amerika sebagai urutan ketiga Negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Sekitar 16% dari jumlah tersebut hidup dalam kemiskinan diatas tanah subur dan potensi alam yang melimpah.

Siapa pun tahu, jumlah penduduk sebanyak itu adalah keniscayaan atas potensi pasar (potensi ekonomi). Dalam hal ini, potensi dasar telah kita miliki SDM maupun SDA, tinggal bagaimana mengelola potensi itu sehingga tercipta suatu kemandirian.

Kemandirian yang saya maksudkan disini adalah: putra-putri bangsa mendapat ruang apresiasi atas segala karya inovatifnya, sekaligus mendapatkan penghidupan yang layak. Tidak lagi menjadi kuli yang harus bekerja ekstra demi penghidupan yang sekedar ala kadarnya (sekedar menyambung hidup).



Referensi
1.       The New Rulers of The World, A Special Report by Jhon Pilger. Film Dokumenter
2.       http://id.wikipedia.org/wiki/Dirgantara_Indonesia
3.       http://berita.kapanlagi.com/tekno/ri-minta-isu-transfer-teknologi-lebih-diperhatikan.html
4.       http://en.wikipedia.org/wiki/Agreement_on_Trade-Related_Aspects_of_Intellectual_Property_Rights


Rabu, 13 April 2011

Agar Tidak Sekedar “Wacana Menggelegar!”


Mahasiswa mampu beropini di koran. Saya kira, sebelum membahas lebih jauh terkait wacana ini, perlu ada klasifikasi terlebih dahulu terkait mahasiswa mana yang dimaksud. Dalam hal ini, telah menjadi pemahaman umum bahwa; Siapa pun yang sedang menempu studi pada suatu perguruan tinggi, entah ia muda atau tua, belum kerja atau sudah bekerja (menyandang profesi tertentu; jurnalis, kolomnis, editor, dll). Statusnya tetap mahasiswa. Bahkan bila seorang rektor universitas ternama sekali pun sedang menempu studi lanjutan pada universitas tertentu, tetap saja ia berstatus sebagai mahasiswa pada universitas yang bersangkutan.

Pada awal tulisan ini, perlu kiranya dipertegas bahwa mahasiswa yang dimaksud disini barangkali mereka yang sedang menempu study pada jenjang strata I (S1), D1, D2, D3, atau yang setingkat dengan gelar ini.

Persoalan Kapasitas Intelektual
Fakta dilapangan menunjukkan; Diantara 10 orang mahasiswa, belum tentu ada satu orang yang secara sukarela mau menempa diri untuk menumbuhkan budaya menulis. Jangankan untuk itu, iven-iven kampus yang bersifat edukasi semisal; seminar, loka karya, kuliyah tamu, jarang sekali mendapat peminat. Bahkan tak jarang acara-acara semacam ini digratiskan alias tak ada kontribusi materil dari peserta. Nyatanya masih kurang peminat juga – Lain cerita bila ada persangkutan dengan SKS yang sedang ditempuh.

Bila menilik mahasiswa jaman dulu, sekedar tolak untuk bercermin. Sebutlah nama semisal; Hatta, Adi Sasono, dan Adam Malik. Dunia pers ibarat kampus kedua bagi meraka. Universitas sebagai tempat untuk bergulat dengan teori-teori ilmiah, sedangkan media massa sebagai wahana untuk bergulat wacana dan pemikiran. Menariknya lagi, pada jaman itu, media publikasi masih sangat jarang dan tidak semoderen sekarang. Belum lagi soal tindakan bredel-membredel yang intens dilakukan oleh oknum tertentu.

Jaman sekarang. Ada banyak ruang untuk mengasah bakat menulis, menuangkan ide, dan memberi sumbangsi pemikiran kepada khalayak umum. Situs jejaring sosial (Blog, FB, Twitter) misalnya. Disisi lain, harian Kompas sendiri meluncurkan Kompassiana/Kompas Muda sebagai ajang kretifitas. Ditambah lagi, rata-rata kampus ternama yang ada sekarang ini memiliki koran sendiri. Peluang yang sangat potensial untuk diapresiasi mahasiswa.

Oleh karena duduk persoalan kita disini adalah koran yang menjadi bacaan khalaya umum. Maka, media-media yang saya sebutkan diatas hanya sekedar stimulus untuk mengasah dan meningkatkan kapasitas cakrawala berfikir.

Masih Adakah Kolom Untuk Mahasiswa?
Tentu bukan perkara mustahil bila ada karya tulis seorang mahasiswa, sanggup bersaing dengan karya tulis para; guru besar, tokoh politik, pakar, akademisi, kolomnis pada meja redaktur koran yang memiliki mekanisme kerja yang begitu rumit. 
 
Hanya saja, sekedar untuk dicatat bahwa: setiap koran memiliki mekanisme penerbitannya sendiri. Disamping itu, tidak semua koran menyediakan kolom khusus untuk opini. Terlebih lagi kolom khusus untuk opini mahasiswa -- Rata-rata koran berskala nasional boleh dikata tak satu pun mempuni untuk itu.

Harian Jawa Pos pernah menyediakan ruang khusus untuk opini mahasiswa, yang diberi nama “Suara Mahasiswa” kala itu. Tapi, itu sekitar dua tahun yang lalu dan umurnya pun sangat singkat.

Sejauh yang saya ikuti kala itu. Rata-rata karya tulis mahasiswa yang muncul dikolom itu, terkesan miskin mutu. Entah karena ia disandingkan dengan karya tulis para pakar yang ahli dibidangnya, maka karya yang semestinya cukup bermutu menciut mutunya lantaran ada karya lain pada halaman sama yang jauh lebih bermutu.

Kiranya, harian Jawa Pos menyediakan kolum khusus “Suara Mahasiswa” untuk menstimulusi lahirnya karya mahasiswa yang bermutu. Dan barangkali setelah menilik perkembangan yang ada, kolom itu pun akhirnya raib dari kolom utama. Alhasil, hanya sesekali saja muncul opini hasil buah fikiran mahasiswa pada kolom “Radar”. Intensitasnya pun sangat jarang.

Barangkali, kolom itu semacam proyek uji coba. Tentu, ini sekedar perkiraan subjektif penulis dalam menilik kondisi yang ada. Terlepas bahwa perkiraan ini tepat atau tidak. Namun sudah seyogyanya, mahasiswa sebagai insan akademisi dan calon penerus tongkat estafeta mampu menjawab teka teki semacam ini.
Sudah barang tentu, jawaban yang paling konkret untuk persoalan ini tak lain dan tak bukan bahwa; Mahasiswa harus mampu menghasilkan karya yang patut disandingkan dengan karya para pakar dan kolomnis pada koran-koran yang ada saat ini.

Tentu tidak mudah mencapai kapasitas semacam ini. Barangkali sama sulitnya dengan usaha seseorang untuk mencantolkan gelar; kolumnis, budayawan, sejarawan, cendikia, dsb keatas pundaknya. Butuhkan pengorbanan, ketekunan, proses yang tidak instan, dan disiplin belajar yang tinggi.

Meski sulit, bukan berarti mustahil. Sebab, sudah banyak orang yang sanggup membuktikan itu. Contoh konkret; Mereka yang buah pemikirannya telah tertuang dalam kolom-kolom media cetak (koran) dan menjadi bacaan khalayak ramai.

Malang; 10 April 2011

Minggu, 13 Februari 2011

Narasi Tentang Kesadaran Hidup Manusia




Tafsir Bencana Alam “Tanda-tanda Alam”
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, bencana beruntun melanda seakan menunjukkan bahwa; Sebenarnya manusia hidup diatas sesuatu yang amat sangat tidak aman untuk ditinggali, sewaktu-waktu lapisan tanah yang setiap harinya dipijaki dapat saja terbelah dan menelan apa saja yang ada diatas permukaannya, termasuk manusia itu sendiri. Bahwa pantai yang begitu cantik, sejauh pesisirnya terbentang -- terhampar pasir putih yang teramat cantik -- dibalik airnya yang membiru, hidup berjuta satwa dan keanekaragaman hayati yang tak terhitung jumlahnya. Siapa sangka ombaknya yang biasanya tenang, berubah menjadi ganas dan menelan ratusan ribu nyawa dalam kurun waktu yang teramat singkat. Tsunami, tentu masih sangat akrab ditelinga kita (bagi sebagian orang barangkali masih menyimpan trauma, terutama kerabat korban bencana itu).

Belum lagi redah pedih dan kesedihan dihati. Gempa tektonik, gunung meletus, kebakaran, banjir lahar dingi, banjir bandang, seakan sudah terjaduwal – datang susul-menyusul.

Tidak tanggung-tanggung, manusia pun berdalih ditengah-tengah kemalangan dan ketidak berdayaannya. Krisis ekologi dituduh sebagai penyebab dari segala kesengsaraan itu. Paskah bencana-bencana itu melanda dan menelan korban jiwa. Maka ramailah pemberitaan-pemberitaan dimendia. Media seakan berlomba-lomba menayangkan peristiwa-peristiwa naas itu; “Bencana alam lagi-lagi menelan korban jiwa”. Gejala alam pun disematkan sebagai penyebab hilangnya nyawa manusia -- Siklus alam dituduh dengan semena-mena sebagai penyebab jatuhnya korban jiwa.

Lantas bagaimana dengan banjir musiman yang hampir dipastikan melanda seluruh kota-kota besar di Indonesia dan beberapa kota besar dibelahan dunia, kebakaran yang membumihanguskan rumah-rumah warga, bencana kekeringan dan gagal panen sebagai efek samping dari berubahnya siklus iklim. Tanah yang dulunya subur kini semakin sulit ditanami kecuali dengan menambahkan zat-zat kimia tertentu dalam skala yang besar agar optimalisasi hasil produksi dapat tercapai. Terkesan, alam tak lagi bersahabat bagi manusia. Betulkah, bencana semacam ini merupakan bagian dari gejala alam yang memang sudah sewajarnya terjadi?.

Bagaimana pula dengan bencana Lumpur Sidoarjo, anjloknya Situgintung, lelehan lahar Merapi yang menelan korban lantaran manusia menolak menggunakan akal rasionalnya. Salahkah jika segolongan orang tertentu menyimpan semacam curiga pada tingkat tertentu pula; Bahwa ada semacam kongkalikong yang begitu rumit dan rapi dibalik semua itu – Dan itu semua, cermin dari ketidak pedulian dan ketidak pahaman manusia pada kondisi lingkungannya – manusia gagal membaca tanda-tanda alam.

Kita pun menjadi bingung, mana musibah yang murni disebabkan oleh gejala alam dan mana musibah yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Mengutip pernyataan Rousseau (gempa tsunami Lisabon, 1756) “Nature did not build the house which collapsed” (Alam tidak pernah membangun rumah yang runtuh menimpa penghuninya)[i]. Barangkali tafsirnya kurang lebih begini; Alam tidak sedang mengemban tugas untuk mencabut nyawa ummat manusia.  Sekedar contoh sederhana. Akal rasional manusia mengajarkan bahwa; Kebakaran hutan tidak mungkin terjadi begitu saja, ia terbakar bukan karena panas matahari, bukan pula karena ulah binatang nakal semacam naga dalam mitos-mitos film Hollywood yang dapat menyemburkan api dari dalam mulutnya. Pengetahuan rasional dan fakta mengajarkan bahwa tak ada satupun makhluk hidup biologis dimuka bumi ini yang berani bermain-main dengan api kecuali manusi itu sendiri. Dan tentu lebih tidak masuk akal lagi jika ada tumbuhan yang sanggup membakar diri dan sesama tumbuhan yang lain.

Agaknya, tafsir tentang bencana alam yang selama ini kita pahami perlu diluruskan. Gejala alam memiliki konteks yang sama sekali berbeda dengan “bencana alam” (istilah yang menjadi ngetren saat ini) atupun bencana kemanusiaan. Selama ini telah menjadi semacam pemakluman umum dan diterima apa adanya oleh nalar fikir konfensional masyrakat.

Bencana itu tentu persangkutannya adalah manusia, tapi gejala alaman sendiri merupakan faktor  mandiri yang sudah semestinya terjadi apa adanya (sudah dari sananya). Meski saat ini, akibat kecanggihan pengetahuan dan teknologi, manusia sanggup mempengaruhi ataupun melakukan memodifikasi pada alam. Namun apa yang dilakukan oleh manusia hanyalah memodifikasi hukum yang sebenarnya sudah ada. Semisal saja; Hujan, hujan terjadi karena hukum alam memang sudah menggariskan demikian, akan tetapi manusia dan kecanggihan teknologinya dapat saja membuat hujan buatan jikalau itu memang diperlukan – campur tangan itu hanya sebatas menguba jaduwal turunnya hujan.

Berangkat dari kenyataan yang ada. Maka, tidak ada salahnya untuk mengkaji ulang tentang bagaimana sebetulnya hubungan yang ideal (harmonis) antara manusia dengan alam (lingkungannya) – Kalau si kakek tua buta dalam cerita diawal tulisan menamainya “Dua buah piringan timbangan yang saling bergantung pada posisi masing-masing”. Saya sendiri menamainya nalar (kesadaran) manusia.

Biosfir (Lingkungan Hidup)
Sampai saat ini, ilmu pengetahuan paling mutakhir sekalipun belum sanggaup mengungkap/menemukan tempat lain selain biosfir sebagai habitat (lingkungan hidup) bagi seleruh spiesis makhluk hidup yang ada saat ini. Satu-satunya planet dijagat raya yang diketahui memeiliki kehidupan, barulah planet bumi.

Tanah kering, air, serta udara tipis yang menyelimuti bumi sebagai unsurnya. Adapun cakupan wilayahnya sangatlah terbatas. Batasan atasnya merupakan ketinggian maksimum yang dapat dicapai stratosfir, batas bawahnya merupakan permukaan bagian solid tanah yang masih bisa ditambang dan dibor oleh para insinyur.

Materi-materi yang terkandung dalam biosfir (lingkungan hidup) selalu bertukar tempat atau didaur ulang kembali. Misalkan saja, tumbuhan mengambil materi dari tanah berupa unsur-unsur mineral, ketika hewan memakan tumbuhan tersebut maka sebagian dari material yang ada pada tumbuhan berpindah pada hewan, begitulah selanjutnya ketika hewan dimakan oleh manusia atau hewan lain. Bila manusia meninggal maka materi kembali lagi pada tanah. Siklus -- bertukar tempat (daur ulang).

Telah menjadi pemahaman umum bahwa; Di dalam biosfir terdapan materi yang dapat diperbaharui dan juga materi yang tak dapat diperbaharui (tak tergantikan). Materi-materi ini kemudian dieksplorasi, dikelola, dan dimodifikasi sedemkian rupa oleh manusia guna memenuhi kebutuhannya untuk bertahan hidup – kondisi semacam itu sudah terjadi sejak dari masa lampau (nenek moyang manusia yang pertama) hingga manusia jaman sekarang, hanya caranya sajalah yang berbeda.  Di abad moderen, manusia mencipta mesin-mesin -- bekerja menggantikn tenaga manusia yang dinilai sangat terbatas kapasitasnya. Alhasil produksi meningkat secara drastis sekaligus di ikuti oleh krisis ekologi. Ketergantungan mesin pada bahan bakar ternyata memproduksi gas karbon secara massif. Semantara itu, eksplorasi hutan malampaui batas kewajaran.

Revolusi Industri menyumbang manfaat yang sedemikian besar bagi manusia. Penerapan teknologi moderen disegala bidang kehidupan manusia, menjadi jembatan tercapainya penghidupan yang lebih maju; proses produksi dapat dilakukan secara massal, trasformasi informasi dan komunikasi mengglobal. Hanya saja, dampak buruk dari penerapan teknologi ternyata sama kaburnya dengan meramal masa depan ummat manusia itu sendiri. Persoalan semacam ini baru dapat dimengerti belakangan ini, setelah sifat terjang manusia mendapat koreksi yang teramat keras dari alam. Perubahan siklus iklim menimbulkan kecemasan bagi para ilmuan dibidang lingkungan. Ibarat efek domino, perubahan iklim berimbas pada gagal panen – mengancam kelangsungan hidup ummat manusaia.

Belajar dari Alam
Salah satu keajaiban yang dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk biologis lainnya adalah; Manusia mampu memikirkan diri, dan alam disekitarnya. Si kakek tua buta yang hendak mengembalikan tongkatnya pada alam adalah cermin kadar kemanusiaan yang tak mungkin miliki oleh makhluk biologis lain.

Lantas bagaimanakah manusia menemukan atau membangkitkan fajar sadarannya?.

Dipercaya bahwa, sebelum manusia menemukan potensi dirinya (Fajar Kesadaran). Ada jarak interval waktu yang cukup lama (yang didalamnya melibatkan proses mekanis-biologis yang begitu rumit). Sebagaimana yang di istilahkan oleh sejarawan Arnold Toynbee sebagai “kejatuhan pertama manusia” Peristiwa itu ditandai dengan bermigrasinya nenek moyang manusia meninggalkan rumahnya (berlindung diatas pohon) – Turun ke tanah untuk berkompetisi dengan makhluk hidup yang lain. Dalam konotasi lain; manusia mengalami kejatuhan moral ketika kesadarannya bangkit (makhluk yang sadar, selain berpotensi untuk menjadi makhluk yang baik juga memiliki potensi lain yang sama kadar porsinya yaitu potensi menjadi makhluk yang jahat dan perusak)[ii]

Mitos-mitos kehancuran ummat dimasa lalu; Masa paceklik dijaman nabi Yusuf, Ummat Nabi Nuh yang di musnahkan oleh banjir  mahadahsyat, kaum sodom di jaman Nabih Luth musnah oleh wabah penyakit,  Medium dari semua peristiwa mahadahsyat itu adalah alam. Alam seakan-akan hendak menujukkan suatu pertanda pada manusia.

............
Bukankah, Filsafat sebagai hasil karya kesadaran tertua manusia, pada awal mulanya di ilhami oleh prinsip-prinsip alam. Alam sadar manusia terus berkembang, tidak hanya mencakupi diri dan segala sesuatu yang kasat mata selain dirinya, tapi juga pada suatu entitas yang tak kasat mata (Tuhan). Belakangan, sang didaktik revolusioner Paulo Preire mengidentifikasi alam kesadaran manusia menjadi; kesadaran naif, kesadaran kritis, dan kesadaran mistis.

Jika ingin merubah perilaku, maka rubahlah pola fikir terlebih dahulu. Setali tiga uang dengan pepatah; seseorang tidak mungkin bisa berbuat adil, jikalau ia tidak sanggup adil sejak dari cara berfikirannya -- Seseorang tidak akan mungkin peduli pada diri dan lingkungan disekitarnya, jikalau kepedulian/kesadaran itu bukan berada pada alam fikirnya, melainkan terdapat diluar diri dan lingkungan disekitarnya. Bukankah kepedulian/kesadaran tercermin dari setiap tindakan, maka orang yang tak pernah bertindak adalah orang yang paling miskin kesadaran dan kepedulian. 

Sejatinya seperti apa hubungan yang ideal antara manusia dengan alam (lingkungan hidup) apakah biner, linear, meraut manfaat sebanyak-banyaknya setelah itu mati pada waktunya. Tentu yang dapat menjewab pertanyaan ini adalah manusia itu sendiri, alam hanya sanggup merespon lewat sikapnya yang liar dan cenderung tak bersahabat. Sementara, kesadaran tentu bukanlah sesuatu yang secara otomatis terwariskan lewat genetika atau pertalian darah secara turun temurun. Ia hanya dapat diwariskan lewat pembentukan karakter dan eksplorasi nalar kritis manusia, setelah itu, visi penyadaran yang bermuara pada pemberdayaan bisa bekerja.


[i]   Baca Alam tak pernah membangun rumah. Harian Kompas, 15-september-2007
[ii]  Baca Sejarah umat manusia, hal 29


Daftar Bacaan
  1. Arnold Toynbee, Sejarah Ummat Manusia (Uraian analitis,kronologis, naratif, dan komparatif). Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2007
  2. Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikutural. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PASP) Muhammadiyah, Jakarta 2005
  3. PiÖtr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media, Jakarta 2004
  4. Denis Collins, Paulo Freire (Kehidupan, Karya & Pemikirannya). Komunitas Apiru bekerjasama dengan Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta 1999
  5. Korban lapindo Menyerah, Harian Kompas 6-juli-2007
  6. Reforestasi Global, Harian Kompas 19-juli-2007
  7. transisi Musim kemarau, Harian Kompas 23-juli-2007
  8. Khashiwazaki dan Energi Abadi Kita, Harian Kompas 28-juli-2007
  9. tanggungjawab sosial dan etis, Harian Kompas 23-Agustus-2007
  10. Alam Tak pernah membangun rumah, Harian Kompas 15-September-2007
  11. Kebangkita Moral, Harian Kompas 19-Mei-2008
  12. Manusia “Linuwih” Dalam Reformasi, Harian Kompas 31-Mei-2008
  13. Bahan bakar Air menyalahi Hukum Alam, Harian Kompas 31-Mei-2008
  14. Menakar Rasionalitas Bangsa, Harian Kompas 7-Juni-2008
  15. narasi dan “dogmatisasi”, Harian Kompas 25-Oktober-2008

Labels