Sudah terlampau
sering kita disuguhi anekdok tentang politikus yang tersangkut suatu perkara
yang ujung-ujungnya buntu di pengadilan. Sebelum palu diketok, pernyataan sikap
muncul disana-sini, lawan menyerang sengik, kawan berbelah sungkawa, dan mereka
yang tak punya kepentingan tapi karena soal citra, lantas merasa jadi punya
kepentingan. Terjadilah kehebohan berdasar
klaim kebenaran versi masing-masing yang kadang-kadang disadur sana-sini. Al-hasil
memancing orang
lain untuk ikut ribut-ribut.
Lantas, apakah
perkara tuntas hingga keakar-akarnya?
Tuntas tentu
banyak tafsirannya. Dan tafsiran yang paling membingungkan adalah tafsir
terhadap perkara yang sengaja ditutup-tutupi (sengaja dibuat kabur?) ritual
pengadilan disulap sedemikian rupa hingga mendekati realita sinetron yang terus
berlanjut, yang sepertinya sengaja digiring hingga “episode tanpa akhir”.
Memang susah diterima akal sehat: Bagaimana mungkin seorang yang disumpah dengan “kitab suci” diatas kepala, nyatanya nyeleneh dan mengambil peran nakal dalam mereduksi kebenaran menuju kebenaran lain (kebenaran yang menguntungkan).
Memang susah diterima akal sehat: Bagaimana mungkin seorang yang disumpah dengan “kitab suci” diatas kepala, nyatanya nyeleneh dan mengambil peran nakal dalam mereduksi kebenaran menuju kebenaran lain (kebenaran yang menguntungkan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar