Sabtu, 30 Juni 2012

Sarung Lebih dari Sekedar "Orang Kampung atau Orang Ketinggalan Jaman"

Photo diambil dari: Kompas.com
Di berbagai pelosok nusantara, sarung begitu akrab dijumpai dalam kehidupan masyarakat: Di Sumatra misalnya, sarung menjadi identitas adat, corak dan warna sarung yang umumnya cerah, erat hubungannya dengan kesejahteraan atau kesuburan alam; Di pulau Jawa, terutama masyarakat santri, sarung adalah simbol perjuangan melawan imperialisme barat; Masyarakat Bali mengunakan sarung dalam berbagai upacara adat dan ritus keagamaan; Di Samarinda (Kalimantan), sarung Bugis lahir dengan nuansa baru, terutama soal corak dan motifnya; Flores (NTT), sarung menjadi simbol kematangan pribadi perempuan penenunnya; Sementara, sarung Bugis menjadi saksi setia mulai saat mereka dilahirkan, menikah, hingga ajal menjemput.
 
Persoalan urgen yang selama ini kurang disorot publik adalah dibalik proses pembuatan sarung, terutama yang masih menggunakan metode tradisional, unsur kretifitas kaum perempuan ternyata sangat menonjol. Sarung tradisional yang umumnya berasal dari kain tenun, rata-rata dikerjakan oleh kaum perempuan, sementara kaum pria bercocok tanam, melaut (mencari nafkah).

Begitu lekatnya sarung dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidaklah berlebihan bila sarung diletakkan sebagai bagian dari identitas sejarah manusia nusantara. Sarung bukan lagi sebatas busana keseharian, melainkan ia juga merekam nilai-nilai luhur serta falsafah manusia nusantara. Sarung sudah menjadi bagian dari identitas kehidupan masyarakat.

Di sumatra, ada masyarakat yang masih memegang teguh tradisi unik: jual beli dengan menggunakan sarung sebagai media transakasi, pembeli maupun penjual tidak berucap sepatah kata pun, melainkan tangan mereka melakukan transaksi dibawa lindungan sarung, orang lain tentu tidak bakal tahu-menahu soal nilai tawar-menawar kecuali mereka yang terlibat dalam transaksi.

Hal yang sama juga terjadi di Betawi (Jakarta). Tengoklah beberapa pasangan CAGUB dan CAWAGUB Jakarta. Mereka yang mengusung kampaye budaya kerap tampil dihadapan publik dengan busana khas Betawi lengkap dengan kopiah hitam dikepala beserta sarung yang dicantolkan dipundak.

Di Flores, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut. Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan...., Ungkapan ini juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya.[i]

Orang Bugis, Makassar, dan Mandar. Tiga suku besar dari Sulawesi ini memberi motif kotak-kotak pada sarung mereka, motif yang ukurannya pariatif; besar maupun kecil. Petak yang dihasilkan dari garis saling memotong dan membatasi tersebut terkandung falsafah nenek moyang mereka: Siri’ na Pacce (malu dan empati) yang dalam penerjemahannya kurang lebih bermakna sebagai: hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain—Manusia harus memahami mana haknya dan mana yang bukan haknya.

Semetara, Sarung Samarinda merekam peristiwa penting tentang sejarah "Kebhinekaan" manusia nusantara jauh sebelum Indonesia lahir dan merdeka: sebuah sejarah yang berawal dari kedatangan rombongan Orang Bugis Wajo, dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado). Rombongan yang hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai (1668). Para Warga Bugis Wajoini ini masuk Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya, setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Mereka minta suaka dan kemudian diterima baik oleh penguasa Kesultanan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, Sultan Kutai memberikan mereka lahan untuk pertanian dan tempat tinggal. Mereka juga (wajib) tunduk dan siap membela Raja Kutai yang kala itu wilayah pesisirnya sering menjadi sasaran bajak laut dari Filipina. Perkampungan yang landai serta adanya amanah Sultan Kutai, menjadikan penduduk di kawasan itu cukup beragam, namun derajatnya sama, baik pendatang maupun warga lokal, sehingga disebut "sama rendah". Itulah sebabnya, kendati dalam perantauan, namun Orang Bugis Wajo tetap melestarikan budaya leluhurnya dalam hal menenun kain secara tradisional. (Kini istilahnya Alat Tenun Bukan Mesin atau ATBM, Red). Sementara itu, warga setempat menyebut alat itu dengan 'Gedokan'.[ii]


Budaya Moderen
Moderenitas, selain membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan manusia, ia juga acapkali memerangkap manusia kedalam dunia ambigu, terbius oleh praktik-praktik komodifikasi yang massal dan massif. Orang-orang kebingungan, kehilangan landasan, dan semena-mena terhadap nilai-nilai lama dan budaya-budaya lokal yang tak lagi dipahami secara mendalam, kecuali sebatas budaya kuno, ketinggalan jaman, norak, tidak fashionable (kurang modis), dan tidak moderen tentunya.

Jadinya: Orang bersarung identik dengan orang kampung, sementara orang kampung identik dengan orang ketinggalan jaman alias tidak moderen. Konsep dualisme antara rural-urban; desa di interpretasikan dari sudut pandang kota, dan demikian juga sebaliknya. Dampaknya, rural (desa) yang sama sekali tidak memiliki sarana untuk mengekspresikan dirinya, terutama lewat sarana media, secara otomatis ter-subordinasi oleh urban (kota) yang memiliki kekuatan kapital.

Sarung, meskipun tampilannya cukup sederhana, namun jika diselami lebih mendalam, maka akan ditemukan bahwa ia bukan sekedar pernak-pernik dari produk budaya, sarung merekam berbagai tradisi leluhur, terutama nilai-nilai luhur yang saat ini tak lagi banyak diketahui orang.

Apatah lagi, filosofi (kearifan lokal) pada setiap sarung umumnya berbeda-beda tergantung dari masyarakat mana sarung itu berasal. Asal sebuah sarung tentu akan sangat menentukan seperti apa: bentuk, ukuran, terutama corak (motif), warna, dan bahan baku pembuatannya.

Sarung bisa tampil modis?

Inovasi tentu mutlak adanya, tapi inovasi tidak boleh serta-merta melabrak segalanya, apatah lagi sampai meruntuhkan kearifan lokal yang seharusnya menjadi bagian dari identitas bangsa.


Maukah Kita Ber-sarung?
Pengembala Kerbau di Tanah Toraja tak perlu lagi ditanya soal sarung, demikian juga dengan perempuan-perempuan terhormat di Plores (NTT). Tapi bagaimana dengan nasib para penenun asal Wajo beserta saudara-saudara mereka ditanah rantau (Samarinda), mereka pencet kepala karena sarung buatan sendiri tak lagi laku di pasar. Sementara, masyarakat urban enggan berbusana sarung, enggan cap kolot (ketinggalan jaman) melekat di jidat dan pundak. 

1 komentar:

A&K mengatakan...

Semanagat mengindonesiakan indonesia...
semangat Indonesia!!
salam anak negeri

mengundang blogger Indonesia hadir di
Lounge Event Tempat Makan Favorit Blogger+ Indonesia

Salam Spirit Blogger Indonesia

Posting Komentar

Labels