Rendahnya kesadaran masyarakat akan arti penting sanitasi air
dan tingginya resiko mengkonsumsi air tidak higenis belum menjadi
perhatian serius bagi warga yang tinggal di sepanjang pesisir Kali Brantas.
Sungai yang membentang ditengah-tengah Kota Malang ini berada dalam kondisi
tingkat pencemaran yang menghawatirkan.
Sejauh yang penulis amati (disekitar area penulis bermukim
saat ini), sekitar 90 % warga yang tinggal di sepanjang pesisir sungai
mengarahkan saluran pembuangan rumah tangganya langsung menuju sungai, limbah rumah
tangga berupa air sabun bekas mandi, deterjen ketika mencuci, pipa savetytank, bahkan sungai menjadi tempat paling praktis
untuk membuang sampah.
Begitu juga dengan peternak-peternak yang letak kandang
ternaknya berdekatan dengan aliran sungai Brantas. Rata-rata peternak sapi dan
ayam ras membuang limbah (kotoran ternak ketika membersikan kandang) langsung menuju
sungai. Padahal, disisi lain, warga yang masih memegang teguh tradisi setempat:
sungai sebagai tempat untuk bersuci rata-rata memanfaatkan air sungai untuk
mandi.
Saban hari, penulis iseng bertanya pada beberapa warga
sekitar: Kok mandinya di sungai, airnya kan kotor?. “Lah, udah dari sononya mas…”.
Begitulah rata-rata jawaban yang saya dapati. Bagi masyarakat setempat, terutama
diwilayah kecamatan DAU, ada semacam hari-hari tertentu dimana orang-orang tua
memandikan anak dan cucu-cucunya disungai, dan mereka sama sekali tidak mempersoalkan
sungai yang kini tercemar dalam tingkat cemaran yang sangat parah. Lapak-lapak
dari kain atau terpal yang berbaris disepanjang aliran anak sungai adalah
pemandangan yang lumrah dijumpai.
Masyarakat yang tak paham arti penting sanitasi tentu tidak
memprehatikan hal-hal semacam ini, dan merekalah orang-orang yang paling rentan
terserang penyakit. Bayangkan saja, berbagai jenis bakteri dan jenis cacing
tertentu yang terkandung dalam kotoran hewan dan limbah yang terbuang menuju
sungai digunakan untuk mandi dan
mencuci pakaian.
Soal Tradisi
Di kecamatan DAU, Malang. Menjumpai orang yang mandi di kali
hal yang masih sangat lumrah, sama lumrahnya dengan menjumpai “si kuning” mengambang
dan terseret arus, padahal tak jauh dari si kining tadi, ada yang sedang mandi
sambil keramas, mencuci pakaiaan, atau yang sekedar bersih-bersih sehabis
beraktifitas keseharian.
Menyadarkan masyarakat semacam ini tentang arti penting
sanitasi dan pola hidup bersih tentu bukan dengan melabrak tradisi yang sudah
berurat dan berakr dalam tubuh mereka. Bagi sebagian masyarakat tertentu, tidak
terkecuali masyarakat setempat (Kecamatan DAU); Tradisi tak lain dari urat dan
nadi kehidupan, tradisi adalah warna dan identitas mereka; Mandi sekaligus
buang hajat dikali tak mungkin secara serta merta dihilangkan dengan alasan
menjaga kesehatan atau hidup bersih. Ini sama halnya dengan tradisi kebanyakan
masyarakat Indonesia yang gampang membuang sampah sembarangan, butuh waktu
untuk merubah watak semacam ini.
Tentu tak ada yang salah dengan mandi di kali, selama airnya
bersih dan tidak mengandung bakteri penyebar penyakit yang mengganggu
kesehatan. Hanya saja, dilema kemudian muncul, saat ini kebanyakan sumber air
yang ada cenderung tercemar dalam tingkat cemaran yang menghawatirkan seiring
dengan pesatnya pertumbuhan populasi manusia; limbah industri, rumah tangga,
sampah plastik, dll. Persoalan ini terutama terdapat dikota-kota besar, yang
kemudian diperparah lagi oleh buruknya saluran drynase, rendahnya
kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, ditambah lagi lembaga
yang khusus menangani persoalan-persoalan semacam ini belum mampu beroperasi
secara optimal.
Upaya Konservasi
Setidaknya upaya konservasi terhadap sumber daya air
merupakan agenda yang harus segera diseriusi, setidaknya tiga elemen penting sebagai
aktor utama yang harus mengambil peran sekaligus saling bersinergi antara satu
dengan yang lainnya. Tiga aktor utama ini tak lain adalah: (1). Pemerintah
sebagai regulator (2). Masyarakat (3). Swasta (Kalangan pengusaha yang
bisnisnya bergerak dibidang pelayanna air bersih)
Di Malang, kadang-kadang penulis jumpai warga yang mengeluh
soal tagihan air yang terlampau mahal. Padahal kalau dicermati secara seksama;
Kali Brantas dengan debit airnya yang besar, jika dikelola dengan baik
(masyarakat tidak membuang sampah dan limbah kesungai) tentu tagihan dari jasa
pengelolaan air setiap bulannya tidak akan membebani masyarakat. Bahkan mungkin
masyarakat yang tersebar disepanjang pesisir Kali Brantas mendapat akses airbersih secara gratis.
Menurut hemat penulis: Beberapa tahun mendatang, air yang
saat ini sebagai barang murah (gratis) bisa saja menjadi barang yang semakin
mahal harganya bila tidak dikelola dengan baik. Masyarakat yang tinggal
dipusat-pusat perkotaan tentu paham betul akan hal ini—Setiap mili liter debit
air harus dihargai dengan satuan rupiah tertentu.
Pola menjaga lingkungan yang bersih perlu ditumbuhkan sebagai
bagian dari kebiasaan masyarakat yang berurat dan berakar dalam pola
berkehidupan sehari-hari. Persoalan pengelolaan sumber daya air bukan saja
persoalan ekonomi, akan tetapi juga terkait soal kesehatan dan kualitas hidup
masyarakat. Upaya konservasi yang paling efektif tentunya adalah upaya
konservasi yang melibatkan masyarakat; menyadarkan masyarakat akan pentingnya
menjaga sumberdaya air, baik soal kelestarian sumber dayanya, terlebih lagi
soal menjaga agar air tidak terkontaminasi oleh berbagai jenis limbah tertentu yang
berpotensi menurunkan kadar kualitas kegunaan air itu sendiri.
Pemerintah sebagai pemegang regulasi tentunya perlu untuk
segera membuka ruang-ruang dialog dengan pihak-pihak swasta, termasuk
institusi-istitusi yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dalam mengelolah
sumber-sumber air bersih yang ada saat ini, dan tidak terkecuali juga untuk
sumber-sumber air lainnya yang potensial dan belum dikelola kemamfaatanya. Dan yang
tidak kalah pentingnya lagi adalah kesediaan data baku tentang pola dan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi air, sejauh mana kesadaran masyarakat
terkait soal pentingnya mengonsumsi air bersih serta kesadaran dalam menjaga
sumber air yang terbatas adanya.
Data baku merupakan rujukan penting dalam merumuskan kebijakan serta optimalisasi terhadap sumber-sumber pendukung semisal teknologi. Usaha Dopot Air Minum (Galon) yang sudah menjamur diberbagai perkotaan rata-rata memiliki kualitas jauh dibawa kualitas air kemasan yang dipayungi oleh brand perusahaan besar, terlebih lagi usaha dopot air minum banyak yang tidak sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah, entah karena persoalan rendahnya kesadaran akan pentingnya mengonsumsi air yang bersih atau demi meraup keuntungan, maka kualitas tidak lagi diperhatikan. Padahal. dewasa ini, kecanggihan teknologi sanggup memproses air yang tak layak konsumsi menjadi air yang higenis dan layak untuk dikonsumsi, produk penjernih air semakin banyak dijumpai dipasaran dengan jenis dan harga yang cukup beragam.
Data baku merupakan rujukan penting dalam merumuskan kebijakan serta optimalisasi terhadap sumber-sumber pendukung semisal teknologi. Usaha Dopot Air Minum (Galon) yang sudah menjamur diberbagai perkotaan rata-rata memiliki kualitas jauh dibawa kualitas air kemasan yang dipayungi oleh brand perusahaan besar, terlebih lagi usaha dopot air minum banyak yang tidak sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah, entah karena persoalan rendahnya kesadaran akan pentingnya mengonsumsi air yang bersih atau demi meraup keuntungan, maka kualitas tidak lagi diperhatikan. Padahal. dewasa ini, kecanggihan teknologi sanggup memproses air yang tak layak konsumsi menjadi air yang higenis dan layak untuk dikonsumsi, produk penjernih air semakin banyak dijumpai dipasaran dengan jenis dan harga yang cukup beragam.
Edukasi dan penyadaran yang terus-menerus dan berkelanjutan tentu
akan sangat membantu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Semoga, dimasa
yang akan datang, mindset masyarakat terbentuk, setelah itu muncul
dalam tindakan, dan lestari dalam tradisi. Tradisi untuk hidup bersih, menjaga
kebersihan diri dan lingkungan tempat hidup dan beranak-cucu.