Sabtu, 29 Desember 2012

Menumbuhkan Kesadaran


Rendahnya kesadaran masyarakat akan arti penting sanitasi air dan tingginya resiko mengkonsumsi air tidak higenis belum menjadi perhatian serius bagi warga yang tinggal di sepanjang pesisir Kali Brantas. Sungai yang membentang ditengah-tengah Kota Malang ini berada dalam kondisi tingkat pencemaran yang menghawatirkan.

Sejauh yang penulis amati (disekitar area penulis bermukim saat ini), sekitar 90 % warga yang tinggal di sepanjang pesisir sungai mengarahkan saluran pembuangan rumah tangganya langsung menuju sungai, limbah rumah tangga berupa air sabun bekas mandi, deterjen ketika mencuci, pipa savetytank, bahkan sungai menjadi tempat paling praktis untuk membuang sampah.

Begitu juga dengan peternak-peternak yang letak kandang ternaknya berdekatan dengan aliran sungai Brantas. Rata-rata peternak sapi dan ayam ras membuang limbah (kotoran ternak ketika membersikan kandang) langsung menuju sungai. Padahal, disisi lain, warga yang masih memegang teguh tradisi setempat: sungai sebagai tempat untuk bersuci rata-rata memanfaatkan air sungai untuk mandi.

Saban hari, penulis iseng bertanya pada beberapa warga sekitar: Kok mandinya di sungai, airnya kan kotor?. “Lah, udah dari sononya mas…”. Begitulah rata-rata jawaban yang saya dapati. Bagi masyarakat setempat, terutama diwilayah kecamatan DAU, ada semacam hari-hari tertentu dimana orang-orang tua memandikan anak dan cucu-cucunya disungai, dan mereka sama sekali tidak mempersoalkan sungai yang kini tercemar dalam tingkat cemaran yang sangat parah. Lapak-lapak dari kain atau terpal yang berbaris disepanjang aliran anak sungai adalah pemandangan yang lumrah dijumpai.

Masyarakat yang tak paham arti penting sanitasi tentu tidak memprehatikan hal-hal semacam ini, dan merekalah orang-orang yang paling rentan terserang penyakit. Bayangkan saja, berbagai jenis bakteri dan jenis cacing tertentu yang terkandung dalam kotoran hewan dan limbah yang terbuang menuju sungai  digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian.

Soal Tradisi
Di kecamatan DAU, Malang. Menjumpai orang yang mandi di kali hal yang masih sangat lumrah, sama lumrahnya dengan menjumpai “si kuning” mengambang dan terseret arus, padahal tak jauh dari si kining tadi, ada yang sedang mandi sambil keramas, mencuci pakaiaan, atau yang sekedar bersih-bersih sehabis beraktifitas keseharian.

Menyadarkan masyarakat semacam ini tentang arti penting sanitasi dan pola hidup bersih tentu bukan dengan melabrak tradisi yang sudah berurat dan berakr dalam tubuh mereka. Bagi sebagian masyarakat tertentu, tidak terkecuali masyarakat setempat (Kecamatan DAU); Tradisi tak lain dari urat dan nadi kehidupan, tradisi adalah warna dan identitas mereka; Mandi sekaligus buang hajat dikali tak mungkin secara serta merta dihilangkan dengan alasan menjaga kesehatan atau hidup bersih. Ini sama halnya dengan tradisi kebanyakan masyarakat Indonesia yang gampang membuang sampah sembarangan, butuh waktu untuk merubah watak semacam ini.

Tentu tak ada yang salah dengan mandi di kali, selama airnya bersih dan tidak mengandung bakteri penyebar penyakit yang mengganggu kesehatan. Hanya saja, dilema kemudian muncul, saat ini kebanyakan sumber air yang ada cenderung tercemar dalam tingkat cemaran yang menghawatirkan seiring dengan pesatnya pertumbuhan populasi manusia; limbah industri, rumah tangga, sampah plastik, dll. Persoalan ini terutama terdapat dikota-kota besar, yang kemudian diperparah lagi oleh buruknya saluran drynase, rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, ditambah lagi lembaga yang khusus menangani persoalan-persoalan semacam ini belum mampu beroperasi secara optimal.

Upaya Konservasi
Setidaknya upaya konservasi terhadap sumber daya air merupakan agenda yang harus segera diseriusi, setidaknya tiga elemen penting sebagai aktor utama yang harus mengambil peran sekaligus saling bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Tiga aktor utama ini tak lain adalah: (1). Pemerintah sebagai regulator (2). Masyarakat (3). Swasta (Kalangan pengusaha yang bisnisnya bergerak dibidang pelayanna air bersih)  

Di Malang, kadang-kadang penulis jumpai warga yang mengeluh soal tagihan air yang terlampau mahal. Padahal kalau dicermati secara seksama; Kali Brantas dengan debit airnya yang besar, jika dikelola dengan baik (masyarakat tidak membuang sampah dan limbah kesungai) tentu tagihan dari jasa pengelolaan air setiap bulannya tidak akan membebani masyarakat. Bahkan mungkin masyarakat yang tersebar disepanjang pesisir Kali Brantas mendapat akses airbersih secara gratis.

Menurut hemat penulis: Beberapa tahun mendatang, air yang saat ini sebagai barang murah (gratis) bisa saja menjadi barang yang semakin mahal harganya bila tidak dikelola dengan baik. Masyarakat yang tinggal dipusat-pusat perkotaan tentu paham betul akan hal ini—Setiap mili liter debit air harus dihargai dengan satuan rupiah tertentu.

Pola menjaga lingkungan yang bersih perlu ditumbuhkan sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat yang berurat dan berakar dalam pola berkehidupan sehari-hari. Persoalan pengelolaan sumber daya air bukan saja persoalan ekonomi, akan tetapi juga terkait soal kesehatan dan kualitas hidup masyarakat. Upaya konservasi yang paling efektif tentunya adalah upaya konservasi yang melibatkan masyarakat; menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga sumberdaya air, baik soal kelestarian sumber dayanya, terlebih lagi soal menjaga agar air tidak terkontaminasi oleh berbagai jenis limbah tertentu yang berpotensi menurunkan kadar kualitas kegunaan air itu sendiri.

Pemerintah sebagai pemegang regulasi tentunya perlu untuk segera membuka ruang-ruang dialog dengan pihak-pihak swasta, termasuk institusi-istitusi yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dalam mengelolah sumber-sumber air bersih yang ada saat ini, dan tidak terkecuali juga untuk sumber-sumber air lainnya yang potensial dan belum dikelola kemamfaatanya. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kesediaan data baku tentang pola dan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi air, sejauh mana kesadaran masyarakat terkait soal pentingnya mengonsumsi air bersih serta kesadaran dalam menjaga sumber air yang terbatas adanya.

Data baku merupakan rujukan penting dalam merumuskan kebijakan serta optimalisasi terhadap sumber-sumber pendukung semisal teknologi. Usaha Dopot Air Minum (Galon) yang sudah menjamur diberbagai perkotaan rata-rata memiliki kualitas jauh dibawa kualitas air kemasan yang dipayungi oleh brand perusahaan besar, terlebih lagi usaha dopot air minum banyak yang tidak sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah, entah karena persoalan rendahnya kesadaran akan pentingnya mengonsumsi air yang bersih atau demi meraup keuntungan, maka kualitas tidak lagi diperhatikan. Padahal. dewasa ini, kecanggihan teknologi sanggup memproses air yang tak layak konsumsi menjadi air yang higenis dan layak untuk dikonsumsi, produk penjernih air semakin banyak dijumpai dipasaran dengan jenis dan harga yang cukup beragam.

Edukasi dan penyadaran yang terus-menerus dan berkelanjutan tentu akan sangat membantu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Semoga, dimasa yang akan datang, mindset masyarakat terbentuk, setelah itu muncul dalam tindakan, dan lestari dalam tradisi. Tradisi untuk hidup bersih, menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat hidup dan beranak-cucu.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Labels