Rabu, 13 April 2011

Agar Tidak Sekedar “Wacana Menggelegar!”


Mahasiswa mampu beropini di koran. Saya kira, sebelum membahas lebih jauh terkait wacana ini, perlu ada klasifikasi terlebih dahulu terkait mahasiswa mana yang dimaksud. Dalam hal ini, telah menjadi pemahaman umum bahwa; Siapa pun yang sedang menempu studi pada suatu perguruan tinggi, entah ia muda atau tua, belum kerja atau sudah bekerja (menyandang profesi tertentu; jurnalis, kolomnis, editor, dll). Statusnya tetap mahasiswa. Bahkan bila seorang rektor universitas ternama sekali pun sedang menempu studi lanjutan pada universitas tertentu, tetap saja ia berstatus sebagai mahasiswa pada universitas yang bersangkutan.

Pada awal tulisan ini, perlu kiranya dipertegas bahwa mahasiswa yang dimaksud disini barangkali mereka yang sedang menempu study pada jenjang strata I (S1), D1, D2, D3, atau yang setingkat dengan gelar ini.

Persoalan Kapasitas Intelektual
Fakta dilapangan menunjukkan; Diantara 10 orang mahasiswa, belum tentu ada satu orang yang secara sukarela mau menempa diri untuk menumbuhkan budaya menulis. Jangankan untuk itu, iven-iven kampus yang bersifat edukasi semisal; seminar, loka karya, kuliyah tamu, jarang sekali mendapat peminat. Bahkan tak jarang acara-acara semacam ini digratiskan alias tak ada kontribusi materil dari peserta. Nyatanya masih kurang peminat juga – Lain cerita bila ada persangkutan dengan SKS yang sedang ditempuh.

Bila menilik mahasiswa jaman dulu, sekedar tolak untuk bercermin. Sebutlah nama semisal; Hatta, Adi Sasono, dan Adam Malik. Dunia pers ibarat kampus kedua bagi meraka. Universitas sebagai tempat untuk bergulat dengan teori-teori ilmiah, sedangkan media massa sebagai wahana untuk bergulat wacana dan pemikiran. Menariknya lagi, pada jaman itu, media publikasi masih sangat jarang dan tidak semoderen sekarang. Belum lagi soal tindakan bredel-membredel yang intens dilakukan oleh oknum tertentu.

Jaman sekarang. Ada banyak ruang untuk mengasah bakat menulis, menuangkan ide, dan memberi sumbangsi pemikiran kepada khalayak umum. Situs jejaring sosial (Blog, FB, Twitter) misalnya. Disisi lain, harian Kompas sendiri meluncurkan Kompassiana/Kompas Muda sebagai ajang kretifitas. Ditambah lagi, rata-rata kampus ternama yang ada sekarang ini memiliki koran sendiri. Peluang yang sangat potensial untuk diapresiasi mahasiswa.

Oleh karena duduk persoalan kita disini adalah koran yang menjadi bacaan khalaya umum. Maka, media-media yang saya sebutkan diatas hanya sekedar stimulus untuk mengasah dan meningkatkan kapasitas cakrawala berfikir.

Masih Adakah Kolom Untuk Mahasiswa?
Tentu bukan perkara mustahil bila ada karya tulis seorang mahasiswa, sanggup bersaing dengan karya tulis para; guru besar, tokoh politik, pakar, akademisi, kolomnis pada meja redaktur koran yang memiliki mekanisme kerja yang begitu rumit. 
 
Hanya saja, sekedar untuk dicatat bahwa: setiap koran memiliki mekanisme penerbitannya sendiri. Disamping itu, tidak semua koran menyediakan kolom khusus untuk opini. Terlebih lagi kolom khusus untuk opini mahasiswa -- Rata-rata koran berskala nasional boleh dikata tak satu pun mempuni untuk itu.

Harian Jawa Pos pernah menyediakan ruang khusus untuk opini mahasiswa, yang diberi nama “Suara Mahasiswa” kala itu. Tapi, itu sekitar dua tahun yang lalu dan umurnya pun sangat singkat.

Sejauh yang saya ikuti kala itu. Rata-rata karya tulis mahasiswa yang muncul dikolom itu, terkesan miskin mutu. Entah karena ia disandingkan dengan karya tulis para pakar yang ahli dibidangnya, maka karya yang semestinya cukup bermutu menciut mutunya lantaran ada karya lain pada halaman sama yang jauh lebih bermutu.

Kiranya, harian Jawa Pos menyediakan kolum khusus “Suara Mahasiswa” untuk menstimulusi lahirnya karya mahasiswa yang bermutu. Dan barangkali setelah menilik perkembangan yang ada, kolom itu pun akhirnya raib dari kolom utama. Alhasil, hanya sesekali saja muncul opini hasil buah fikiran mahasiswa pada kolom “Radar”. Intensitasnya pun sangat jarang.

Barangkali, kolom itu semacam proyek uji coba. Tentu, ini sekedar perkiraan subjektif penulis dalam menilik kondisi yang ada. Terlepas bahwa perkiraan ini tepat atau tidak. Namun sudah seyogyanya, mahasiswa sebagai insan akademisi dan calon penerus tongkat estafeta mampu menjawab teka teki semacam ini.
Sudah barang tentu, jawaban yang paling konkret untuk persoalan ini tak lain dan tak bukan bahwa; Mahasiswa harus mampu menghasilkan karya yang patut disandingkan dengan karya para pakar dan kolomnis pada koran-koran yang ada saat ini.

Tentu tidak mudah mencapai kapasitas semacam ini. Barangkali sama sulitnya dengan usaha seseorang untuk mencantolkan gelar; kolumnis, budayawan, sejarawan, cendikia, dsb keatas pundaknya. Butuhkan pengorbanan, ketekunan, proses yang tidak instan, dan disiplin belajar yang tinggi.

Meski sulit, bukan berarti mustahil. Sebab, sudah banyak orang yang sanggup membuktikan itu. Contoh konkret; Mereka yang buah pemikirannya telah tertuang dalam kolom-kolom media cetak (koran) dan menjadi bacaan khalayak ramai.

Malang; 10 April 2011

Labels