Oleh; Samudra La-kawan
Mendung pertanda langit sedih, awan gelap pertanda kematian mendekat, angin selatan pertanda banyak jasad yang akan berpisah dengan rohnya. Pelajaran itu datang entah berantah. Anehnya, semua orang dengan cepat memahaminya, tidak hanya orang-orang dewasa dan berpendidikan, tapi bocah-bocah kecil yang belum berusia baliq pun telah paham dengan hikmat. Begitulah potret manusia-manusia kota Angin Mamiri. Cerdas?...
Pukul 16.45...
Besse’ berkali-kali mengitari setiap jendela berkaca bening dirumahnya, kadang-kadang berlari kecil dan kadang pula memahat diri pada ambang jendela-jendela itu. Mengamati lagit yang kian muram.
Disebelah barat. Matahari seperti hendak tertelan awan. Sudah beberapa jam yang lalu awan dari arah timur itu menyerbu langit, membawa petir penggores langit. Langit menjadi rapuh seperti kaca retak. Setelah itu disusul dengan suara mengelegar dan gemuruh panjang, mengalahkan segala kebisingan kota. Sudah beberapa hari akhir-akhir ini Besse’ menjadi pengamat langit yang tekun.
Tepat diatas ubun-ubunnya. Awan raksasa seperti ular naga meliliti cakrawala, mengusik fantasi dan rasa takut kedalam benaknya. Rasa-rasanya, mata awan itu manangkap sosoknya. Agak tergesah ia hampiri setiap jendela dan menjatuhkan gulungan-gulungan gorden. “Mata itu tidak boleh menangkap sosokku”, bisiknya dalam hati.
Meski kain gorden telah menutupi kaca-kaca bening itu, namun perasaan khawatir seakan-akan sanggup menyelinap dari balik kain-kain itu, menjangkau serta merabah bulu-bulu halus disekujur tubuh Besse’.
“Mata itu teramat sakti!. Pastilah mampu menangkap sosokku yang sedang mengintip dari balik gorden ini. Harus bersembunyi!”. Benaknya berkata demikian sambil berlari kecil menuju kamar pengantinnya, mengambil selimut pemberian suami tercinta, lalu ia menutup seluruh tubuhnya.
Dari balik selimut, Besse’ mengintip keadaan. “Belumlah aman!”. Disambarnya simpul-simpul tali pada gulungan kelambu. Pintu-pintu kelambu yang selalu menggantung pada menara-menara dipan kini munutup tabirnya. Kelambu usang serta beberapa tambalan kecil pada dinding-dindingnya. Warisan almarhumah ibunya.
Seusai merapikan pintu kelambu dan mencantolkal beberapa peniti secara tergesah, Besse’ kembali menyelipkan tubuh kedalam selimut tebalnya. Dari balik kegelapan itu, tangan-tangan halusnya menumpuk beberapa buah bantal pada sisi-sisi tubuhnya. Laksana hendak memasang zirah perang.
“Kelambu adalah tameng tersakti dan tak dapat ditembus oleh hantu-hantu penghisap darah, menghalau hantu penyebar penyakit. Segala jenis hantu tidaklah memiliki kesaktian untuk menembus perisai yang bernama kelambu itu”. Begitulah kata ibunya dahulu ketika Besse mungil merengek agar pintu-pintu kelambu dibiarkan tetap tergulung. Sebab, jika pintu kelambu diuntaikan, jadilah Besse kecil terperangkap dalam sangkar kecil berbentuk kubus itu – Tubuh mungilnya selalu kuyup oleh keringat. Ibunya ketika itu tersenyum kecil padanya, lalu meniup ubun-ubunya sebanyak tiga kali, dan menggulung pintu-pintu kelambu itu hingga menggantung pada tempatnya sediakala. Penggalan-penggalan dongeng dikisahkan sebagai pengantar tidur. Ketika Besse kecil telah lelap, hantu-hantu penghisap darah dan penyebar penyakit dihalau keluar dari dalam kelambu dan pintu-pintu kelambu pun disegel.
Pukul 16.45...
Besse’ berkali-kali mengitari setiap jendela berkaca bening dirumahnya, kadang-kadang berlari kecil dan kadang pula memahat diri pada ambang jendela-jendela itu. Mengamati lagit yang kian muram.
Disebelah barat. Matahari seperti hendak tertelan awan. Sudah beberapa jam yang lalu awan dari arah timur itu menyerbu langit, membawa petir penggores langit. Langit menjadi rapuh seperti kaca retak. Setelah itu disusul dengan suara mengelegar dan gemuruh panjang, mengalahkan segala kebisingan kota. Sudah beberapa hari akhir-akhir ini Besse’ menjadi pengamat langit yang tekun.
Tepat diatas ubun-ubunnya. Awan raksasa seperti ular naga meliliti cakrawala, mengusik fantasi dan rasa takut kedalam benaknya. Rasa-rasanya, mata awan itu manangkap sosoknya. Agak tergesah ia hampiri setiap jendela dan menjatuhkan gulungan-gulungan gorden. “Mata itu tidak boleh menangkap sosokku”, bisiknya dalam hati.
Meski kain gorden telah menutupi kaca-kaca bening itu, namun perasaan khawatir seakan-akan sanggup menyelinap dari balik kain-kain itu, menjangkau serta merabah bulu-bulu halus disekujur tubuh Besse’.
“Mata itu teramat sakti!. Pastilah mampu menangkap sosokku yang sedang mengintip dari balik gorden ini. Harus bersembunyi!”. Benaknya berkata demikian sambil berlari kecil menuju kamar pengantinnya, mengambil selimut pemberian suami tercinta, lalu ia menutup seluruh tubuhnya.
Dari balik selimut, Besse’ mengintip keadaan. “Belumlah aman!”. Disambarnya simpul-simpul tali pada gulungan kelambu. Pintu-pintu kelambu yang selalu menggantung pada menara-menara dipan kini munutup tabirnya. Kelambu usang serta beberapa tambalan kecil pada dinding-dindingnya. Warisan almarhumah ibunya.
Seusai merapikan pintu kelambu dan mencantolkal beberapa peniti secara tergesah, Besse’ kembali menyelipkan tubuh kedalam selimut tebalnya. Dari balik kegelapan itu, tangan-tangan halusnya menumpuk beberapa buah bantal pada sisi-sisi tubuhnya. Laksana hendak memasang zirah perang.
“Kelambu adalah tameng tersakti dan tak dapat ditembus oleh hantu-hantu penghisap darah, menghalau hantu penyebar penyakit. Segala jenis hantu tidaklah memiliki kesaktian untuk menembus perisai yang bernama kelambu itu”. Begitulah kata ibunya dahulu ketika Besse mungil merengek agar pintu-pintu kelambu dibiarkan tetap tergulung. Sebab, jika pintu kelambu diuntaikan, jadilah Besse kecil terperangkap dalam sangkar kecil berbentuk kubus itu – Tubuh mungilnya selalu kuyup oleh keringat. Ibunya ketika itu tersenyum kecil padanya, lalu meniup ubun-ubunya sebanyak tiga kali, dan menggulung pintu-pintu kelambu itu hingga menggantung pada tempatnya sediakala. Penggalan-penggalan dongeng dikisahkan sebagai pengantar tidur. Ketika Besse kecil telah lelap, hantu-hantu penghisap darah dan penyebar penyakit dihalau keluar dari dalam kelambu dan pintu-pintu kelambu pun disegel.