Sabtu, 31 Oktober 2009

Cerpen "Petaka Bermusim"

Oleh; Samudra La-kawan

Mendung pertanda langit sedih, awan gelap pertanda kematian mendekat, angin selatan pertanda banyak jasad yang akan berpisah dengan rohnya. Pelajaran itu datang entah berantah. Anehnya, semua orang dengan cepat memahaminya, tidak hanya orang-orang dewasa dan berpendidikan, tapi bocah-bocah kecil yang belum berusia baliq pun telah paham dengan hikmat. Begitulah potret manusia-manusia kota Angin Mamiri. Cerdas?...

Pukul 16.45...
Besse’ berkali-kali mengitari setiap jendela berkaca bening dirumahnya, kadang-kadang berlari kecil dan kadang pula memahat diri pada ambang jendela-jendela itu. Mengamati lagit yang kian muram.

Disebelah barat. Matahari seperti hendak tertelan awan. Sudah beberapa jam yang lalu awan dari arah timur itu menyerbu langit, membawa petir penggores langit. Langit menjadi rapuh seperti kaca retak. Setelah itu disusul dengan suara mengelegar dan gemuruh panjang, mengalahkan segala kebisingan kota. Sudah beberapa hari akhir-akhir ini Besse’ menjadi pengamat langit yang tekun.

Tepat diatas ubun-ubunnya. Awan raksasa seperti ular naga meliliti cakrawala, mengusik fantasi dan rasa takut kedalam benaknya. Rasa-rasanya, mata awan itu manangkap sosoknya. Agak tergesah ia hampiri setiap jendela dan menjatuhkan gulungan-gulungan gorden. “Mata itu tidak boleh menangkap sosokku”, bisiknya dalam hati.

Meski kain gorden telah menutupi kaca-kaca bening itu, namun perasaan khawatir seakan-akan sanggup menyelinap dari balik kain-kain itu, menjangkau serta merabah bulu-bulu halus disekujur tubuh Besse’.

“Mata itu teramat sakti!. Pastilah mampu menangkap sosokku yang sedang mengintip dari balik gorden ini. Harus bersembunyi!”. Benaknya berkata demikian sambil berlari kecil menuju kamar pengantinnya, mengambil selimut pemberian suami tercinta, lalu ia menutup seluruh tubuhnya.

Dari balik selimut, Besse’ mengintip keadaan. “Belumlah aman!”. Disambarnya simpul-simpul tali pada gulungan kelambu. Pintu-pintu kelambu yang selalu menggantung pada menara-menara dipan kini munutup tabirnya. Kelambu usang serta beberapa tambalan kecil pada dinding-dindingnya. Warisan almarhumah ibunya.

Seusai merapikan pintu kelambu dan mencantolkal beberapa peniti secara tergesah, Besse’ kembali menyelipkan tubuh kedalam selimut tebalnya. Dari balik kegelapan itu, tangan-tangan halusnya menumpuk beberapa buah bantal pada sisi-sisi tubuhnya. Laksana hendak memasang zirah perang.

“Kelambu adalah tameng tersakti dan tak dapat ditembus oleh hantu-hantu penghisap darah, menghalau hantu penyebar penyakit. Segala jenis hantu tidaklah memiliki kesaktian untuk menembus perisai yang bernama kelambu itu”. Begitulah kata ibunya dahulu ketika Besse mungil merengek agar pintu-pintu kelambu dibiarkan tetap tergulung. Sebab, jika pintu kelambu diuntaikan, jadilah Besse kecil terperangkap dalam sangkar kecil berbentuk kubus itu – Tubuh mungilnya selalu kuyup oleh keringat. Ibunya ketika itu tersenyum kecil padanya, lalu meniup ubun-ubunya sebanyak tiga kali, dan menggulung pintu-pintu kelambu itu hingga menggantung pada tempatnya sediakala. Penggalan-penggalan dongeng dikisahkan sebagai pengantar tidur. Ketika Besse kecil telah lelap, hantu-hantu penghisap darah dan penyebar penyakit dihalau keluar dari dalam kelambu dan pintu-pintu kelambu pun disegel.


Pukul 17.45…
Gemercik hujan menerpa atap-atap rumah, menghantam seng diloteng yang biasanya berfungsi sebagai tempat berjemur pakaian. Bunyi keras memekak seperti botol air mineral yang diremas-remas -- Awalan yang agak berlebihan untuk musim penghujan yang baru saja akan tiba. Sementara itu, Besse amat cemas. Cemas dengan kondisi dirinya, dan cemas oleh hasil percakapan lewat telepon bersama suaminya beberapa jam yang lalu.

Pekerjaan menumpuk dikantor, hanya lembur sebagai solusi!. Kata Lemang, kemudian telepon pun terputus. Setelah itu, berulang kali Besse’ memencet angka-angka pada gagangan telepon, beharap agar tersambung lagi dengan suaminya. Namun, kenyataan justru berkata lain, tak seorangpun yang mau mengangkat telpon diseberang sana. Tak ingin putus harapan, Besse’ mencoba lewat saluran pada ponsel Lemang. Beberapa kali sudah ia mencoba, tetap saja tak ada jawaban dari seberang sana. Sekali lagi ia mencoba, saluran itu telah non-aktif. “Lemang, ada apa dengan dirimu!”. Ucapnya halus sambil mengelus dada saat itu.

“Barangkali, saat ini Lemang sedang konsentrasi pada pekerjaan dan tidak ingin mendapat gangguan”

Lemang, begitulah ia memanggil suaminya. Padahal bukan itu nama suaminya yang sesungguhnya. Lemang termasuk tipe lelaki yang berperawakan biasa dan wajahnya pun biasa-biasa pula, namun hati dan sikapnya selembut benang-benang selimut pemberiannya saat malam pengantin mereka yang pertama. Lelaki yang selalu setia disisi Besse’ ketika kecemasan-kecemasan datang menghantui. Kecuali saat ini, ya...kecuali saat ini!. Saat ini hanya ada selimut!. Ah... tidak apa-apalah, masih ada selimut cantik ini!.

Selimut bermotif mawar merah, tanpa daun, dan bertangkai kuning keemasan. Jika di pembaringan, tiada bosan-bosanya Besse’ mengelus-eluskan pipi serta punggung jejemarinya pada rajutan wol itu, memuji kecantikan kelopak-kelopak mawarnya. Kelopak-kelopak yang mengalir seperti aliran sungai Saddang pada momen tertentu, dan mengalir seperti daun-daun kering yang tersapu angin pada momen yang lain. Sepertinya, motif mawar pada selimut itu pandai menyesuaikan keadaan mengikuti suasana hati Besse’ yang cepat berubah.

Mungkinkah Lemang telah berselingkuh dengan perempuan lain?. Dengan teman sekantor misalnya!, dengan bawahan, ataukah dengan atasan ditempat Lemang bekerja saat ini. Ah...itu hal yang mustahil!. Meski Besse’ amat paham jikalau perkara seperti itu telah amat lumrah terjadi diluar sana, namun ia juga sangat yakin bahwa; Perkataan jujur merupakan bukti cinta seorang suami terhadap istri, dan berbohong kepada istri adalah bukti pengkhianatan terbesar seorang suami.

Sampai saat ini, Lemang sangat paham akan hal itu, buktinya ia tidak pernah marah jika dipanggil demikian. Meski nama itu bukanlah namanya yang sesungguhnya, melainkan nama kakek Besse’ yang wafat setelah berhasil mempersunting sembilan orang istri. Wafat setelah menunaikan nazarnya sebagai pejantan tangguh.

Setiap pagi pula, sebelum berangkat ke kantor, Lemang selalu memahat kecupan hangat di kening Besse’ dan ketika pulang dari kantor, sebelum sempat melangkahkan kaki memasuki rumah, Lemang terlebih dahulu mengambil titipannya lewat kecupan hangat pada kening itu, persis seperti yang terjadi pada pagi harinya. Pada kening yang sama dan kehangatan yang sama pula.

Pukul 21.45…
Malam semakin larut, seakan hendak menghapus wajah kota pesisir itu dari peta dunia. Semua menjadi tampak samar, atap-atap rumah, trotoar jalanan, pohon-pohon yang tumbuh berjauhan, tanaman hias pada halaman-halaman rumah, lampu-lampu jalan, dan cahaya yang menyelinap dari balik jendela. Cahaya-cahaya itu hanya mampu menjangkau jarak beberapa meter saja.

Sementara itu, binatang malam seperti kelelawar berseliweran menembus bias-bias cahaya redup. Beberapa burung bertengger pada ranting pohon yang telah ranggas daunnya, ada juga jenis tertentu yang bertengger pada kabel-kabel listrik yang berseliweran seperti jaring kusut dilangit, mengamati pekatnya malam dan lebatnya jentik air dari langi. Bertengger dalam kebisuan dan sesekali mengibaskan bulu-bulu disekujur tubuh -- Menghapus kelembaban akibat jentik air.

Sebentar saja, genangan air telah tampak dimana-mana. Selokan-selokan kecil yang bertebaran dalam kota itu ibarat pembulu-pembulu darah yang menjalar dalam tubuh manusia. Ada banyak pembulu yang tersumbat oleh sampah kota. Warga kota amat terbiasa membuang sampah sekehandaknya saja. Tong-tong sampah diletakkan serampangan dan tak terurus, kini kaleng-kaleng itu terapung seperti buih. Kanal-kanal utama meluap. Air merambat menyerupai tumbuhan rambat dan menjalar kesegala arah. Bedanya, rambatan air jauh lebih gesit -- Trotoar tak ubahnya pematang sawah dalam kota.

Sebentar saja, rambatan air telah mencapai pekarangan pada tiap-tiap rumah, merambati celah rumput yang baru saja dipangkas beberapa saat yang lalu sebelum matahari terbenam, merambat menuju garasi-garasi rumah yang lebih rendah. Tergenang sejenak, kemudian menuju pintu-pintu rumah. Merambat dengan cepat, halus, dan tak bersuara. Menyapa keset disetiap pintu-pintu hingga benda mungil itu terapung-apung, kemudian karam setelah kuyup.

Tuan-tuan rumah panik dan histeris. Banjir!…Teriak mereka. Lampu-lampu kamar yang telah padam beberapa saat yang lalu kembali dinyalakan. Tak berselang beberapa saat kemudian, cahaya-cahaya itu berganti dengan batang-batang lilin dan mencair disetiap sudut-sudut ruangan yang belum terjangkau oleh air. Aliran listrik tampaknya diputus secara kasar oleh petugas jaga malam. Listik, jika bertemu dengan air tak ubahnya malaikat pencabut nyawa.

Pukul 21.45
Pak…banjir! Teriak seorang ibu rumah tangga pada suaminya dari arah seberang. Banjir! Teriak tetangga yang lain lagi, kemudian teriak yang lain lagi. Lagi dan lagi. Suara-suara itu bersileweran diteliga Besse’, hampir mirip deruh kendaraan kota yang melajuh kesegala arah. Terkadang suara anak-anak dan lebih sering suara orang dewasa – Panik.

Besse’ seakan tak peduli dengan teriakan-teriakan itu, ia lantas menyumbat lubang pendengarannya dengan jari-jari lentiknya. Dalam hening, ia menghibur diri, mencoba merajut ulang kenangan masa-masa bulan madunya yang belumlah berumur setahun. Berjuang keras mengusir kecemasan dan rasa takut. Entah sebab apa, setiap kali mendengar kata banjir, bulu roma disekujur tubuhnya merinding. Genangan air tampak bagai sarang hantu dan predator haus darah baginya.

Ingatannya masih sangat jelas. Dulu, ketika Lemang hendak memboyong dirinya kekota. Kota Angin Mamiri, kata Lemang saat itu. Besse’ meresponnya dengan anggukan dikedua bahunya. Rumah yang megah!. Timpal Lemang antusias. Lantas, Besse’ pun berucap kalau ia sesungguhnya tidak mempermasalahkan seperti apa dan dimana kelak ia akan hidup. Lembut dan halus, ia bisikkan sesuatu pada telinga Lemang. Sejurus kemudian, lelaki itu tersipu dan manggut-manggut kecil pertanda setuju, sedangkan perkara yang dibisikkan oleh Besse’ menjadi rahasia diantara mereka berdua.

Setibanya di kota Angin Mamiri, berbulan-bulan lamanya Besse’ terkagum-kagum atas rumah yang dijanjikan Lemang. Dihari pertama menempati istananya itu, Besse’ selaksana paripurna menjelmahi ratu-ratu kelas bangsawan. Kadang-kadang sifat iseng itu muncul dan sering tak terbendung begitu tubuhnya berhadapan-hadapan dengan cermin pahat dikamar pengantinnya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut dapat ia amati lewat cermin itu, lantas tubuhnya menjadi lebih centil ketimbang biasanya. Berjalan lembut dalam langkah yang kecil-kecil, bagai seorang putri yang sedang dinanti oleh pengeran tampan dalam sebuah pesta jamuan yang agung.

Karaeng Besse’!. Ia berucap pada sosok yang lain dalam cermin. Andi’ Besse’!. Ucapnya lagi ketika berganti pose. Pada pose yang lain lagi. Andi’ Karaeng Besse’!, ia berucap. Karaeng Andi’ Besse’!, ucapnya pada pose yang lainnya lagi. Hal itu ia lakukan berulang-ulang hingga berhenti dengan sendirinya ketika betis rampingnya mulai kesemutan.

Keceriaan pada wajahnya pudar seketika saat angin mulai berhambus dari arah selatan kota, seakan hendak membawa aroma lumut laut kedalam kota, dan Itu terjadi hanya berselang beberapa saat yang lalu. Saat itu, daun-daun hampir seluruhnya telah rontok dari pohonnya, mengotori atap-atap rumah dan jalannan, menyisakan pucuk-pucuk layu dan pucat kekuuningan pada ranting-ranting setengah keropos. Saat yang sama pula, kilatan petir bermunculan pada tepi-tepi langit, awan-awan kecil yang dulunya seputih kapas berganti menjadi awan hitam kelam. Di bibir Losari, golambang laut lebih ganas dari biasanya.

Pukul 22.45…
Udara panas serta kepulan asap memaksa Besse beranjak dari tempat tidurnya, kamar pengantinnya telah sesak oleh kabut-kabut hitam. Kabut yang menyesesakkan dada ketika bernafas dan manitipkan rasa perih pada pupil-pupil mata ketika kelopaknya berkedip. Agaknya, kelambu warisan mediang ibunya tak lagi mampu berfungsi sebagai tameng baginya.

Dari balik jendela kamar, Besse mengamati situasi diluar istananya. Ratusan warga bertarung melawan kobaran api yang membumbung keangkasa seperti raksasa. Berbekal timba-timba kecil ditangan, mereka melontar air sekuat tenaga lewat senjata-senjata kecil itu, melontar air got berbauh pesing yang didalamnya hidup berjuta-juta jentik nyamuk dan belatung bangkai. Tubuh-tubuh itu timbul tenggelam kedalam genangan air dengan wajah pucat serta pasi.

Sebesar apapun usaha mereka, api telah menyalak dengan garang. Butiran air yang jatuh dari langit serta lontaran dari ketapel-ketapel kecil itu tak sanggup menjinakkan ganasnya api yang menari-nari bersama tiupan angin. Barangkali tarian itu hendak mengejek makhluk-makhluk dungu itu.

Sangat tidak masuk diakal, ternyata api dapat menyalak pada musim penghujan!. Malahan dengan cepat melahab rumah-rumah yang ada dalam jangkauannya, padahal bintik-bintik air yang berjatuhan dari langit belumlah redah. Warga kian panik sebab, saat sore menjelang petang, warga telah mengungsikan harta benda mereka ketempat-tempat yang tak terjangkau oleh air ketika banjir musiman itu tiba. Warga sebetulnya telah terbiasa dengan “Petaka Bermusim”. Petaka banjir ketika musim penghujan dan petaka Api ketika kemarau. Namun, kali ini jaduwal seperti itu tidak lagi berlaku seperti biasanya. Warga yang telah merasa aman dari ancaman banjir justru disambut dengan bencana lain yang datang tanpa disangka-sangka. Barangkali, sudah saatnyalah meruba kebiasaan yang lalu-lalu. Ia telah runtuh dan tak berlaku lagi.

Pukul 23.45…
Seorang lelaki muda memarkir mobil disisi trotoar jalan yang tak ubahnya sungai berarus deras. Keluar dengan tergesah-gesah dan membanting pintu Jaguar miliknya. Berlari menghampiri kepulan asap bercampur uap air yang membumbung ke angkasa. Didapatinya warga telah berbondong-bondong mengangkut harta benda yang sempat terselamatkan.

Wajah-wajah yang lusuh, anak kecil menangis melengking seperti kehilangan induknya, suami-istri berdekapan sambil merangkul erat pada bahu masing-masing. Para petugas pemadam kebakaran kehilangan ketangguhannya, sebab separuh dari tubuh mereka tertelan oleh air. Teknologi yang mereka miliki tidak mampu menghalau air sekaligus menjinakkan api.

Lelaki itu berlari terus tanpa menghiraukan genangan air yang menghambat setiap langkahnya, berlari sekencang dan sekuat tenaga yang ia miliki. Berhenti tepat pada puing-puing hitam yang telah runtuh. Tak ada yang tersisa kecuali tembok-tembok bernoda hitam dan kelam. Atap dan kemewahan pada gedung itu raib seperti kabut keangkasa, sementara ampasnya gugur menjadi debu.

Ia kalut. Bertanya kepada setiap orang yang dijumpainya. Kepada lelaki dan perempuan, tua atau muda. Para petugas pun tak luput ia tanya. Tak seorang pun dari mereka tahu tentang perihal yang ia tanyakan, bahkan para tetangga yang akrab dengannya pun hanya mampu bergeleng kepala.

Dalam sesalnya, suara lembut seorang wanita memanggil dari balik punggungnya. Ketika menoleh, didapatinya wanita muda berparas cantik disana. Babarapa saat yang lalu ia memang sangat cantik dan menggiurkan. Tapi sekarang ia tidak lebih dari sekedar barang murahan yang dapat diperjualbelikan dalam suatu urusan tawar menawar harga. Meski begitu, pemuda itu mencoba menerka sosok Besse pada wajah itu. Sia-sia, sosok Besse’ tadaklah ia temukan pada wanita itu.

Tertunduklah lelaki itu dalam sesal yang amat mendalam, seluit kemudian secarik kain wol mengapung dan mengalir bersama arus air tak jauh dari tempatnya berdiri. Lalaki itu terjun menangkapnya. Dibentangkannya kain yang tinggal sejengkal itu -- tetepiannya telah bernoda hitam. Diamatinya kain itu dengan seksama; tentang rajutan wol bermotif mawar, tentang mawar merah bertangkai kuning keemasan dan tak berdaun itu. Tidak salah lagi. Air matanya pun berguguran. Gugur seperti butiran air yang masih saja berjatuhan dari langit -- Air mata galau dipenghujung malam.


Catatan: Tanda petik satu (‘) disetiap akhiran nama dan gelar tokoh, menandakan bunyi huruf “k” kecil dalam pengucapan. Pengucapannya agak disamarkan.


Malang, 5 September 2009
Sebuah persembahan dari tanah rantau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Labels