Multi-kulturalisme sejatinya dimaksudkan untuk mendukung terjadinya
pengangkatan harkat dan martabat manusia (mencari jalan atas
kusutnya pertautan antara kepentingan dan hak-hak asasi ummat manusia). Mengelola konflik dan keberagaman
(agama, ras, suku, hingga pada tingkatan kebangsaan) kedalam suatu ranah saling
memahami antara satu golongan dengan glongan yang lainnya.
Meski memiliki cita-cita dan tujuan yang sangat suci, Multi-kulturalisme
sendiri belum mampu membebaskan diri dari paradoks-paradoks yang terkandung
dalam tubuh-multikulturalisme itu sendiri. Dalam multi-kulturalisme, tidak boleh ada
pemaksaan pemahaman terhadap yang tidak percaya dengan konsep
multi-kulturalisme.
Di sinilah letak paradoks yang saya maksudkan diatas. Pada satu sisi,
multikulturalisme menawarkan konsep yang sangat suci (menghargai kebebasan,
hak, dan keragaman) namun pada sisi yang lain, multi-kulturalisme sendiri tidak
mampu menjawab sejauh mana batas-batas kebebasan yang ditawarkan. Contoh paling kecil
adalah; sikap seperti apa yang sepantasnya ditempu terhadap orang-orang yang
menolak multikulturalisme itu sendiri. Bagaimana kebebasan individe
ketika berhadapan dengan kebebasan orang banyak, kebebasan orang banyak
berhadapan dengan kebebasan orang banyak. Maslahat yang kompleks dan
membutuhkan pemecahan yang tidak mudah
Pada tataran ide dan konsep, persoalan diatas tidak akan menimbulkan masalah yang kompleks, akan tetapi jika
konsep itu diturunkan pada ruang-ruang terapan, maka yang terjadi adalah munculnya
benturan-benturan yang tidak dapat dihindarkan antara multi-kulturalisme dengan
paham-paham yang menolak multi-kulturalisme itu sendiri, misalkan saja antara
mayoritas dan minoritas, tradisi adat yang menjadi momok dari moderenisme.
Seharusnya multikulturalisme melerai pertentangan-pertentangan, justru pada
titik-titik ekstrim tertentu multikulturalisme tidak menjalankan fungsinya: melerai konflik dan
pertengkaran-pertengkaran—meredakan klaim-klaim
kebenaran yang dengan muda mereduksi bahkan membunu kebenaran lainnya. Multikulturalisme justru serta-merta ikut kedalam konflik dan menjadikan persoalan
semakin konfleks.
Jika multi-kulturalisme bukan upaya untuk mempersamakan dan mempersatukan
(mengkompres keberagaman kedalam universalitas), segala nilai
kebenaran menjadi
satu. Maka, bagaimanakah
mekanisme itu dapat bekerja?, Kapan ia bekerja?, Pada wilayah mana mekanisme itu mampu dan tidak mampu bekerja?, Sejauh mana
kemandirian dan keterkaitannya dengan teori-teori sosial yang telah ada,
Apakah Multi-kulturalisme adalah variable yang independent ataukah dependen?
Dalam hal ini agar dapat menjawab permasalahan-permasalahan multikultural yang selama ini
ada, tanpa
didikte oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Sejatinya multikulturalisme memiliki nilai-nilai independen yang
diharapkan sebagai perekat bagi segala perbedaan dan keragaman yang ada.
Tentunya dengan menghindari upaya-upaya konversi yang dipraktekkan oleh
globalisasi ala moderenisme.
Jika itu tidak dapat disanggupi maka yang terjadi adalah
multikulturalisme sangat rawan untuk dihegemoni dengan kepentingan-kepentingan
tertentu. Namun pada sisi lain, upaya untuk merumuskan nilai akan sangat rawan
sebab upaya-upaya itu akan senantiasa berdekatan dengan rusaknya ide utama dari
pengakuan terhadap multikultur itu sendiri, namun membiarkan multikulturalisme
itu sendiri mengambang justru membuka ruang masuknya hegemoni kedalam tubuh
multikulturalime itu sendiri.
Hak individu
dalam sebuah keberagaman adalah kemaslahatan
Hak individu atau yang kita kenal sebagai hak
asasi, cukup mencuat dibicarakan sepanjang satu abad belakangan ini. Maraknya tragedi
kemanusiaan, menyusul dua perang besar dunia (perang dunia I dan II) seolah melahirkan
suatu kesadaran baru: sebuah kesadaran baru yang menempatkan harkat manusia
jauh lebih berharga ketimbang sekedar tumbal perang demi langgenggnya suatu rezim.
Mula-mula muncul politik apartheid di Afrika
Selatan, yang menyorot soal rendahnya harkat dan martabat orang-orang kulit
hitam di hadapan orang kulit putih—Ras-ras Afrika Selatan kemudian dipisahkan
kedalam wilayah tertentu dan diberi kebebasan dan perlindungan hukum yang sama.
Semua ras memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap negara.
Pengakuan terhadap kultru yang berbeda-beda, dalam
prakteknya tentu jauh lebih mudah ketimbang pengakuan terhadap indentitas
individu yang berbeda-beda. Terlebih lagi jika persangkutannya adalah soal
identitas, sebab bisa jadi dalam
suatu ras, suku, dan golongan terdapat identitas individu yang sangat berbeda
dengan identitas yang umum dijumpai pada masyarakatnya. Hak asasi manusia (humad right)
jika persangkutanya adalah individu (entitas personal), tentu menjadi sangat
sulit untuk didefinisikan.
Ekspresi kebebasan individu seringkali berbantahan
dengan kepentingan khalayak umum, demikian juga tidak jarang seseorang atau
suatu kelompok tertentu kehilangan hak-haknya hanya karena berbantahan dengan
klaim kepentingan khalayak umum. Paling realistis adalah kekerasan yang dialami jemaat Ahmadiyah, tragedi kemanusian Mei 98 yang menimpa etnis Thionghoa, dan banyak lagi kasus yang lainnya.
Kemanakah nurani dan kemanusian itu, masikah ia
ada di setiap individu yang memiliki klaim kebenarannya masing-masing?. Lunturkah
ia akibat perbedaan paham pemikiran yang kini semakin mendapat tempat untuk
berekspresi menurut caranya masing-masing?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar