Rabu, 30 Mei 2012

Multi-kulturalisme; Memupuk Nurani dan Kemanusiaan


Multi-kulturalisme sejatinya dimaksudkan untuk mendukung terjadinya pengangkatan harkat dan martabat manusia (mencari jalan atas kusutnya pertautan antara kepentingan dan hak-hak asasi ummat manusia). Mengelola konflik dan keberagaman (agama, ras, suku, hingga pada tingkatan kebangsaan) kedalam suatu ranah saling memahami antara satu golongan dengan glongan yang lainnya.

Meski memiliki cita-cita dan tujuan yang sangat suci, Multi-kulturalisme sendiri belum mampu membebaskan diri dari paradoks-paradoks yang terkandung dalam tubuh-multikulturalisme itu sendiri. Dalam multi-kulturalisme, tidak boleh ada pemaksaan pemahaman terhadap yang tidak percaya dengan konsep multi-kulturalisme.

Di sinilah letak paradoks yang saya maksudkan diatas. Pada satu sisi, multikulturalisme menawarkan konsep yang sangat suci (menghargai kebebasan, hak, dan keragaman) namun pada sisi yang lain, multi-kulturalisme sendiri tidak mampu menjawab sejauh mana batas-batas kebebasan yang ditawarkan. Contoh paling kecil adalah; sikap seperti apa yang sepantasnya ditempu terhadap orang-orang yang menolak multikulturalisme itu sendiri. Bagaimana kebebasan individe ketika berhadapan dengan kebebasan orang banyak, kebebasan orang banyak berhadapan dengan kebebasan orang banyak. Maslahat yang kompleks dan membutuhkan pemecahan yang tidak mudah

Pada tataran ide dan konsep, persoalan diatas tidak akan menimbulkan masalah yang kompleks, akan tetapi jika konsep itu diturunkan pada ruang-ruang terapan, maka yang terjadi adalah munculnya benturan-benturan yang tidak dapat dihindarkan antara multi-kulturalisme dengan paham-paham yang menolak multi-kulturalisme itu sendiri, misalkan saja antara mayoritas dan minoritas, tradisi adat yang menjadi momok dari moderenisme.

Seharusnya multikulturalisme melerai pertentangan-pertentangan, justru pada titik-titik ekstrim tertentu multikulturalisme tidak menjalankan fungsinya: melerai konflik dan pertengkaran-pertengkaran—meredakan klaim-klaim kebenaran yang dengan muda mereduksi bahkan membunu kebenaran lainnya. Multikulturalisme justru serta-merta ikut kedalam konflik dan menjadikan persoalan semakin konfleks.

Jika multi-kulturalisme bukan upaya untuk mempersamakan dan mempersatukan (mengkompres keberagaman kedalam universalitas), segala nilai kebenaran menjadi satu. Maka, bagaimanakah mekanisme itu dapat bekerja?, Kapan ia bekerja?, Pada wilayah mana mekanisme itu mampu dan tidak mampu bekerja?, Sejauh mana kemandirian dan keterkaitannya dengan teori-teori sosial yang telah ada, Apakah Multi-kulturalisme adalah variable yang independent ataukah dependen? Dalam hal ini agar dapat menjawab permasalahan-permasalahan multikultural yang selama ini ada, tanpa didikte oleh kepentingan-kepentingan tertentu.

Sejatinya multikulturalisme memiliki nilai-nilai independen yang diharapkan sebagai perekat bagi segala perbedaan dan keragaman yang ada. Tentunya dengan menghindari upaya-upaya konversi yang dipraktekkan oleh globalisasi ala moderenisme.

Jika itu tidak dapat disanggupi maka yang terjadi adalah multikulturalisme sangat rawan untuk dihegemoni dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Namun pada sisi lain, upaya untuk merumuskan nilai akan sangat rawan sebab upaya-upaya itu akan senantiasa berdekatan dengan rusaknya ide utama dari pengakuan terhadap multikultur itu sendiri, namun membiarkan multikulturalisme itu sendiri mengambang justru membuka ruang masuknya hegemoni kedalam tubuh multikulturalime itu sendiri.

Hak individu dalam sebuah keberagaman adalah kemaslahatan
Hak individu atau yang kita kenal sebagai hak asasi, cukup mencuat dibicarakan sepanjang satu abad belakangan ini. Maraknya tragedi kemanusiaan, menyusul dua perang besar dunia (perang dunia I dan II) seolah melahirkan suatu kesadaran baru: sebuah kesadaran baru yang menempatkan harkat manusia jauh lebih berharga ketimbang sekedar tumbal perang demi langgenggnya suatu rezim.

Mula-mula muncul politik apartheid di Afrika Selatan, yang menyorot soal rendahnya harkat dan martabat orang-orang kulit hitam di hadapan orang kulit putih—Ras-ras Afrika Selatan kemudian dipisahkan kedalam wilayah tertentu dan diberi kebebasan dan perlindungan hukum yang sama. Semua ras memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap negara.

Pengakuan terhadap kultru yang berbeda-beda, dalam prakteknya tentu jauh lebih mudah ketimbang pengakuan terhadap indentitas individu yang berbeda-beda. Terlebih lagi jika persangkutannya adalah soal identitas, sebab bisa jadi dalam suatu ras, suku, dan golongan terdapat identitas individu yang sangat berbeda dengan identitas yang umum dijumpai pada masyarakatnya. Hak asasi manusia (humad right) jika persangkutanya adalah individu (entitas personal), tentu menjadi sangat sulit untuk didefinisikan.

Ekspresi kebebasan individu seringkali berbantahan dengan kepentingan khalayak umum, demikian juga tidak jarang seseorang atau suatu kelompok tertentu kehilangan hak-haknya hanya karena berbantahan dengan klaim kepentingan khalayak umum. Paling realistis adalah kekerasan yang dialami jemaat Ahmadiyah, tragedi kemanusian Mei 98 yang menimpa etnis Thionghoa, dan banyak lagi kasus yang lainnya.

Kemanakah nurani dan kemanusian itu, masikah ia ada di setiap individu yang memiliki klaim kebenarannya masing-masing?. Lunturkah ia akibat perbedaan paham pemikiran yang kini semakin mendapat tempat untuk berekspresi menurut caranya masing-masing?

Labels