Sabtu, 22 Juni 2013

Citizen6, Bukan Sekedar Kolom Yang Terpojok!

Sudah menjadi rahasia umum, Liputan6 yang mulai tayang sejak tahun 1994 bersama semboyannya: "Aktual, Tajam, Terpercaya" selalu tampil konsisten dalam memegang teguh kaidah-kaidah jurnalisme yang bertanggungjawab. Hal ini terbukti lewat segudang prestasi yang telah beberapa kali menyematkan Liputan6 sebagai Program Berita Televisi nasional paling populer sejak 2001 hingga sekarang.

Liputan6 yang pada mulanya tayang di salah satu stasiun televisi swasta nasional (SCTV) setiap pukul 18.00 WIB atau jam 6 sore ini, hadir sebagai setu-satunya program berita televisi dengan gaya dan karakter menonjol, sesuai dengan semboyan "Aktual, Tajam, Terpercaya", Liputan6 betul-betul tampil aktual, tajam, dan terpercaya. Alhasil, sampai saat ini, Liputan6 mendapat tempat tersendiri di hati pemirsanya.

Seiring dengan perkembangan zaman serta kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat, liputan6 merespon segala perkembangan ini dengan menghadirkan berita-berita aktual, tajam, serta terpercaya tidak hanya di waktu petang saja, Liputan6 kini memiliki jaduwal tayang: pagi, siang, sore, dan malam. Terlebih lagi, sejak tahun 2000 PT. Surya Citra Media, Tbk sebagai pemilik stasiun televisi swasta nasional (SCTV) meluncurkan portal berita online yang diberi nama: liputan6.com. Dengan demikian, kapan pun dan dimanapun, bila didukung oleh perangkat teknologi yang memadai, Liputan6.com dapat di akses secara gratis.

Liputan6.com lahir sebagai jawaban atas tantangan zaman dimana manusia dalam setiap satuan hentakan waktu semakin mobile dari waktu-kewaktu. Saat ini, perangkat komunikasi sudah sangat canggih dan fleksibel dibawah kemana saja. Lewat satu perangkat komunnikasi sederhana, seorang petani yang sedang duduk mashuk ditengah-tengah hamparan sawah yang menghijau dapat mengobrol dengan kawan lama di ibukota sembari sesekali melirik tayangan sepak bola yang sedang tayang secara live di genggaman tangannya.

Bagi para pemirsa Liputan6, yang tidak sempat on-time atau merasa ketinggalan berita penting karena waktu dan kesibukan yang terlampau padat, Ketinggalan berita bukan lagi alasan yang patut dibuat-buat. Sekarang dengan kecanggihan teknologi yang ada. Hanya dengan satu klik saja, "berita terkini liputan6.com" hadir dengan segala ragammnya; bola, bisnis, showbiz, live streaming dan segala ragam berita ada pada satu portal berita online ini (liputan6.com), bahkan ada kolom khusus yang disediakan bagi siapapun yang tidak hanya gemar mengomsumsi berita tetapi juga aktif mewartakan berita yang diberi nama citizen6. Citizen6 merupakan kolom khusus yang disediakan bagi masyrakat untuk menyampaikan ragam berita (peristiwa maupun opini).

Citizen tentu fenomena unik yang seakan-akan menterjemahkan dirinya sendiri dihadapan kecenderungan laten media massa yang ada saat ini dimana; acap kali terkesan tampil dengan berita-berita yang selalu seragam. Keunikan ini tak boleh dipandang sebelah mata.

Citizen6, walau sekedar kolom yang terpojok (sepatutnya tampil dalam laman tersendiri bersanding dengan laman lain; news, bola, bisni, dll), tapi kehadirannya membawa warna tersendiri terhadap liputan6.com. Ada kalanya pemirsa jenuh dengan berita yang itu-itu saja, meskipun berita itu merupakan "berita terbaru" dan paling up to date sekalipun (berita terkini). Dengan hadirnya citizen6 bersama topik-topik yang betul-betul beragam, yang seakan-akan membentang secara utuh cakrawala keragaman wawasan nusantara. Hanya denangan sepintas menelusuri topik-topik yang ada pada kolom ini, nusantara seolah-olah menyapa secara utuh dihadapan pemirsanya.

Hal yang sama juga acap kali saya jumpai pada portal-portal berita yang lain (tanpa perlu menyebutkan nama), ketika kolom-kolom seperti kolom "Berita Sepekan, Berita Hari Ini, dll" memuat info yang itu-itu saja dan cenderung seragam. Citizen justru tampil dengan warnanya sendiri.

Sudah saatnya masyarakat melek informasi, sudah saatnya pula masyarakat berhenti menjadi sekedar konsumen informasi yang pasif, masyarakat harus merangkai informasi demi kemaslahatan bersama, demi kemajuan bersama, dan demi kemajuan bangsa dan negara.

Citizen6 tidak boleh menjadi kolom yang terpojok, apatah lagi menjadi kolom yang sunyi tanpa penghuni.


Sabtu, 29 Desember 2012

Menumbuhkan Kesadaran


Rendahnya kesadaran masyarakat akan arti penting sanitasi air dan tingginya resiko mengkonsumsi air tidak higenis belum menjadi perhatian serius bagi warga yang tinggal di sepanjang pesisir Kali Brantas. Sungai yang membentang ditengah-tengah Kota Malang ini berada dalam kondisi tingkat pencemaran yang menghawatirkan.

Sejauh yang penulis amati (disekitar area penulis bermukim saat ini), sekitar 90 % warga yang tinggal di sepanjang pesisir sungai mengarahkan saluran pembuangan rumah tangganya langsung menuju sungai, limbah rumah tangga berupa air sabun bekas mandi, deterjen ketika mencuci, pipa savetytank, bahkan sungai menjadi tempat paling praktis untuk membuang sampah.

Begitu juga dengan peternak-peternak yang letak kandang ternaknya berdekatan dengan aliran sungai Brantas. Rata-rata peternak sapi dan ayam ras membuang limbah (kotoran ternak ketika membersikan kandang) langsung menuju sungai. Padahal, disisi lain, warga yang masih memegang teguh tradisi setempat: sungai sebagai tempat untuk bersuci rata-rata memanfaatkan air sungai untuk mandi.

Saban hari, penulis iseng bertanya pada beberapa warga sekitar: Kok mandinya di sungai, airnya kan kotor?. “Lah, udah dari sononya mas…”. Begitulah rata-rata jawaban yang saya dapati. Bagi masyarakat setempat, terutama diwilayah kecamatan DAU, ada semacam hari-hari tertentu dimana orang-orang tua memandikan anak dan cucu-cucunya disungai, dan mereka sama sekali tidak mempersoalkan sungai yang kini tercemar dalam tingkat cemaran yang sangat parah. Lapak-lapak dari kain atau terpal yang berbaris disepanjang aliran anak sungai adalah pemandangan yang lumrah dijumpai.

Masyarakat yang tak paham arti penting sanitasi tentu tidak memprehatikan hal-hal semacam ini, dan merekalah orang-orang yang paling rentan terserang penyakit. Bayangkan saja, berbagai jenis bakteri dan jenis cacing tertentu yang terkandung dalam kotoran hewan dan limbah yang terbuang menuju sungai  digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian.

Soal Tradisi
Di kecamatan DAU, Malang. Menjumpai orang yang mandi di kali hal yang masih sangat lumrah, sama lumrahnya dengan menjumpai “si kuning” mengambang dan terseret arus, padahal tak jauh dari si kining tadi, ada yang sedang mandi sambil keramas, mencuci pakaiaan, atau yang sekedar bersih-bersih sehabis beraktifitas keseharian.

Menyadarkan masyarakat semacam ini tentang arti penting sanitasi dan pola hidup bersih tentu bukan dengan melabrak tradisi yang sudah berurat dan berakr dalam tubuh mereka. Bagi sebagian masyarakat tertentu, tidak terkecuali masyarakat setempat (Kecamatan DAU); Tradisi tak lain dari urat dan nadi kehidupan, tradisi adalah warna dan identitas mereka; Mandi sekaligus buang hajat dikali tak mungkin secara serta merta dihilangkan dengan alasan menjaga kesehatan atau hidup bersih. Ini sama halnya dengan tradisi kebanyakan masyarakat Indonesia yang gampang membuang sampah sembarangan, butuh waktu untuk merubah watak semacam ini.

Tentu tak ada yang salah dengan mandi di kali, selama airnya bersih dan tidak mengandung bakteri penyebar penyakit yang mengganggu kesehatan. Hanya saja, dilema kemudian muncul, saat ini kebanyakan sumber air yang ada cenderung tercemar dalam tingkat cemaran yang menghawatirkan seiring dengan pesatnya pertumbuhan populasi manusia; limbah industri, rumah tangga, sampah plastik, dll. Persoalan ini terutama terdapat dikota-kota besar, yang kemudian diperparah lagi oleh buruknya saluran drynase, rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan, ditambah lagi lembaga yang khusus menangani persoalan-persoalan semacam ini belum mampu beroperasi secara optimal.

Upaya Konservasi
Setidaknya upaya konservasi terhadap sumber daya air merupakan agenda yang harus segera diseriusi, setidaknya tiga elemen penting sebagai aktor utama yang harus mengambil peran sekaligus saling bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Tiga aktor utama ini tak lain adalah: (1). Pemerintah sebagai regulator (2). Masyarakat (3). Swasta (Kalangan pengusaha yang bisnisnya bergerak dibidang pelayanna air bersih)  

Di Malang, kadang-kadang penulis jumpai warga yang mengeluh soal tagihan air yang terlampau mahal. Padahal kalau dicermati secara seksama; Kali Brantas dengan debit airnya yang besar, jika dikelola dengan baik (masyarakat tidak membuang sampah dan limbah kesungai) tentu tagihan dari jasa pengelolaan air setiap bulannya tidak akan membebani masyarakat. Bahkan mungkin masyarakat yang tersebar disepanjang pesisir Kali Brantas mendapat akses airbersih secara gratis.

Menurut hemat penulis: Beberapa tahun mendatang, air yang saat ini sebagai barang murah (gratis) bisa saja menjadi barang yang semakin mahal harganya bila tidak dikelola dengan baik. Masyarakat yang tinggal dipusat-pusat perkotaan tentu paham betul akan hal ini—Setiap mili liter debit air harus dihargai dengan satuan rupiah tertentu.

Pola menjaga lingkungan yang bersih perlu ditumbuhkan sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat yang berurat dan berakar dalam pola berkehidupan sehari-hari. Persoalan pengelolaan sumber daya air bukan saja persoalan ekonomi, akan tetapi juga terkait soal kesehatan dan kualitas hidup masyarakat. Upaya konservasi yang paling efektif tentunya adalah upaya konservasi yang melibatkan masyarakat; menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga sumberdaya air, baik soal kelestarian sumber dayanya, terlebih lagi soal menjaga agar air tidak terkontaminasi oleh berbagai jenis limbah tertentu yang berpotensi menurunkan kadar kualitas kegunaan air itu sendiri.

Pemerintah sebagai pemegang regulasi tentunya perlu untuk segera membuka ruang-ruang dialog dengan pihak-pihak swasta, termasuk institusi-istitusi yang ditunjuk langsung oleh pemerintah dalam mengelolah sumber-sumber air bersih yang ada saat ini, dan tidak terkecuali juga untuk sumber-sumber air lainnya yang potensial dan belum dikelola kemamfaatanya. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kesediaan data baku tentang pola dan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi air, sejauh mana kesadaran masyarakat terkait soal pentingnya mengonsumsi air bersih serta kesadaran dalam menjaga sumber air yang terbatas adanya.

Data baku merupakan rujukan penting dalam merumuskan kebijakan serta optimalisasi terhadap sumber-sumber pendukung semisal teknologi. Usaha Dopot Air Minum (Galon) yang sudah menjamur diberbagai perkotaan rata-rata memiliki kualitas jauh dibawa kualitas air kemasan yang dipayungi oleh brand perusahaan besar, terlebih lagi usaha dopot air minum banyak yang tidak sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah, entah karena persoalan rendahnya kesadaran akan pentingnya mengonsumsi air yang bersih atau demi meraup keuntungan, maka kualitas tidak lagi diperhatikan. Padahal. dewasa ini, kecanggihan teknologi sanggup memproses air yang tak layak konsumsi menjadi air yang higenis dan layak untuk dikonsumsi, produk penjernih air semakin banyak dijumpai dipasaran dengan jenis dan harga yang cukup beragam.

Edukasi dan penyadaran yang terus-menerus dan berkelanjutan tentu akan sangat membantu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Semoga, dimasa yang akan datang, mindset masyarakat terbentuk, setelah itu muncul dalam tindakan, dan lestari dalam tradisi. Tradisi untuk hidup bersih, menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat hidup dan beranak-cucu.    

Kamis, 27 Desember 2012

Sumpah, Bukan Sekedar Afirmasi!

Afirmasi tanpa tindakan nyata telah menjadi kecendrungan umum yang menonjol dan sering dijumpai pada sikap para politikus kita saat ini, terutama bila dipersangkutkan  pada persoalan-persoalan seperti: persoalan kenegaraan, partai, penyelewengan jabatan, penunggangan terhadap demokrasi, pendidikan, kisruh agama, de-forestasi, dll.

Sudah terlampau sering kita disuguhi anekdok tentang politikus yang tersangkut suatu perkara yang ujung-ujungnya buntu di pengadilan. Sebelum palu diketok, pernyataan sikap muncul disana-sini, lawan menyerang sengik, kawan berbelah sungkawa, dan mereka yang tak punya kepentingan tapi karena soal citra, lantas merasa jadi punya kepentingan. Terjadilah kehebohan berdasar klaim kebenaran versi masing-masing yang kadang-kadang disadur sana-sini. Al-hasil memancing orang lain untuk ikut ribut-ribut.

Lantas, apakah perkara tuntas hingga keakar-akarnya?

Tuntas tentu banyak tafsirannya. Dan tafsiran yang paling membingungkan adalah tafsir terhadap perkara yang sengaja ditutup-tutupi (sengaja dibuat kabur?) ritual pengadilan disulap sedemikian rupa hingga mendekati realita sinetron yang terus berlanjut, yang sepertinya sengaja digiring hingga “episode tanpa akhir”.

Memang susah diterima akal sehat: Bagaimana mungkin seorang yang disumpah dengan “kitab suci” diatas kepala, nyatanya nyeleneh dan mengambil peran nakal dalam mereduksi kebenaran menuju kebenaran lain (kebenaran yang menguntungkan).

Rabu, 04 Juli 2012

Pertumbuhan dan Kecerdasan Anak, Soal Prioritas Orang Tua!


Soal Prioritas Orang Tua
Rendahnya angka konsumsi susu masyarakat indonesia bukan karena faktor pendapatan perkapita yang kecil. Selama ini merebak wacana bahwa: kemiskinan menjadikan masyarakan hidup dalam pola konsumsi yang kurang sehat—makan untuk kenyang. Padahal yang terjadi dilapangan sebetulnya adalah masyarakat kurang melek gizi.

Contoh paling kecil saja, komoditi komsumsi nomor 2 (dua) orang indonesia setelah nasi adalah rokok. Padahal rokok bukanlah barang yang tergolong murah. Jadi, inti masalahnya bukan soal kemiskinan akan tetapi soal prioritas orang tua. Bayangkan saja, harga satu bungkus rokok jauh lebih mahal ketimbang harga satu kaleng susu kental manis. Terlebih lagi, tidak sedikit kepala rumah tangga yang menghabiskan 2-3 bungkus rokok setiap harinya. Sekedar untuk dicermati bersama: Satu batang rokok (Rp 800-Rp 1.000/batang) kurang lebih sama harganya dengan satu saset susu kental manis (Rp 1.000/saset). Tapi sudah menjadi hal yang lumrah bahwa rata-rata orang tua lebih sering menyuruh anak-anaknya untuk membeli rokok ketimbang membeli susu sebagai asupan gizi keluarga.

Sabtu, 30 Juni 2012

Sarung Lebih dari Sekedar "Orang Kampung atau Orang Ketinggalan Jaman"

Photo diambil dari: Kompas.com
Di berbagai pelosok nusantara, sarung begitu akrab dijumpai dalam kehidupan masyarakat: Di Sumatra misalnya, sarung menjadi identitas adat, corak dan warna sarung yang umumnya cerah, erat hubungannya dengan kesejahteraan atau kesuburan alam; Di pulau Jawa, terutama masyarakat santri, sarung adalah simbol perjuangan melawan imperialisme barat; Masyarakat Bali mengunakan sarung dalam berbagai upacara adat dan ritus keagamaan; Di Samarinda (Kalimantan), sarung Bugis lahir dengan nuansa baru, terutama soal corak dan motifnya; Flores (NTT), sarung menjadi simbol kematangan pribadi perempuan penenunnya; Sementara, sarung Bugis menjadi saksi setia mulai saat mereka dilahirkan, menikah, hingga ajal menjemput.
 
Persoalan urgen yang selama ini kurang disorot publik adalah dibalik proses pembuatan sarung, terutama yang masih menggunakan metode tradisional, unsur kretifitas kaum perempuan ternyata sangat menonjol. Sarung tradisional yang umumnya berasal dari kain tenun, rata-rata dikerjakan oleh kaum perempuan, sementara kaum pria bercocok tanam, melaut (mencari nafkah).

Begitu lekatnya sarung dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidaklah berlebihan bila sarung diletakkan sebagai bagian dari identitas sejarah manusia nusantara. Sarung bukan lagi sebatas busana keseharian, melainkan ia juga merekam nilai-nilai luhur serta falsafah manusia nusantara. Sarung sudah menjadi bagian dari identitas kehidupan masyarakat.

Di sumatra, ada masyarakat yang masih memegang teguh tradisi unik: jual beli dengan menggunakan sarung sebagai media transakasi, pembeli maupun penjual tidak berucap sepatah kata pun, melainkan tangan mereka melakukan transaksi dibawa lindungan sarung, orang lain tentu tidak bakal tahu-menahu soal nilai tawar-menawar kecuali mereka yang terlibat dalam transaksi.

Hal yang sama juga terjadi di Betawi (Jakarta). Tengoklah beberapa pasangan CAGUB dan CAWAGUB Jakarta. Mereka yang mengusung kampaye budaya kerap tampil dihadapan publik dengan busana khas Betawi lengkap dengan kopiah hitam dikepala beserta sarung yang dicantolkan dipundak.

Di Flores, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut. Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan...., Ungkapan ini juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya.[i]

Orang Bugis, Makassar, dan Mandar. Tiga suku besar dari Sulawesi ini memberi motif kotak-kotak pada sarung mereka, motif yang ukurannya pariatif; besar maupun kecil. Petak yang dihasilkan dari garis saling memotong dan membatasi tersebut terkandung falsafah nenek moyang mereka: Siri’ na Pacce (malu dan empati) yang dalam penerjemahannya kurang lebih bermakna sebagai: hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain—Manusia harus memahami mana haknya dan mana yang bukan haknya.

Semetara, Sarung Samarinda merekam peristiwa penting tentang sejarah "Kebhinekaan" manusia nusantara jauh sebelum Indonesia lahir dan merdeka: sebuah sejarah yang berawal dari kedatangan rombongan Orang Bugis Wajo, dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado). Rombongan yang hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai (1668). Para Warga Bugis Wajoini ini masuk Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya, setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Mereka minta suaka dan kemudian diterima baik oleh penguasa Kesultanan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, Sultan Kutai memberikan mereka lahan untuk pertanian dan tempat tinggal. Mereka juga (wajib) tunduk dan siap membela Raja Kutai yang kala itu wilayah pesisirnya sering menjadi sasaran bajak laut dari Filipina. Perkampungan yang landai serta adanya amanah Sultan Kutai, menjadikan penduduk di kawasan itu cukup beragam, namun derajatnya sama, baik pendatang maupun warga lokal, sehingga disebut "sama rendah". Itulah sebabnya, kendati dalam perantauan, namun Orang Bugis Wajo tetap melestarikan budaya leluhurnya dalam hal menenun kain secara tradisional. (Kini istilahnya Alat Tenun Bukan Mesin atau ATBM, Red). Sementara itu, warga setempat menyebut alat itu dengan 'Gedokan'.[ii]


Budaya Moderen
Moderenitas, selain membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan manusia, ia juga acapkali memerangkap manusia kedalam dunia ambigu, terbius oleh praktik-praktik komodifikasi yang massal dan massif. Orang-orang kebingungan, kehilangan landasan, dan semena-mena terhadap nilai-nilai lama dan budaya-budaya lokal yang tak lagi dipahami secara mendalam, kecuali sebatas budaya kuno, ketinggalan jaman, norak, tidak fashionable (kurang modis), dan tidak moderen tentunya.

Jadinya: Orang bersarung identik dengan orang kampung, sementara orang kampung identik dengan orang ketinggalan jaman alias tidak moderen. Konsep dualisme antara rural-urban; desa di interpretasikan dari sudut pandang kota, dan demikian juga sebaliknya. Dampaknya, rural (desa) yang sama sekali tidak memiliki sarana untuk mengekspresikan dirinya, terutama lewat sarana media, secara otomatis ter-subordinasi oleh urban (kota) yang memiliki kekuatan kapital.

Sarung, meskipun tampilannya cukup sederhana, namun jika diselami lebih mendalam, maka akan ditemukan bahwa ia bukan sekedar pernak-pernik dari produk budaya, sarung merekam berbagai tradisi leluhur, terutama nilai-nilai luhur yang saat ini tak lagi banyak diketahui orang.

Apatah lagi, filosofi (kearifan lokal) pada setiap sarung umumnya berbeda-beda tergantung dari masyarakat mana sarung itu berasal. Asal sebuah sarung tentu akan sangat menentukan seperti apa: bentuk, ukuran, terutama corak (motif), warna, dan bahan baku pembuatannya.

Sarung bisa tampil modis?

Inovasi tentu mutlak adanya, tapi inovasi tidak boleh serta-merta melabrak segalanya, apatah lagi sampai meruntuhkan kearifan lokal yang seharusnya menjadi bagian dari identitas bangsa.


Maukah Kita Ber-sarung?
Pengembala Kerbau di Tanah Toraja tak perlu lagi ditanya soal sarung, demikian juga dengan perempuan-perempuan terhormat di Plores (NTT). Tapi bagaimana dengan nasib para penenun asal Wajo beserta saudara-saudara mereka ditanah rantau (Samarinda), mereka pencet kepala karena sarung buatan sendiri tak lagi laku di pasar. Sementara, masyarakat urban enggan berbusana sarung, enggan cap kolot (ketinggalan jaman) melekat di jidat dan pundak. 

Rabu, 30 Mei 2012

Multi-kulturalisme; Memupuk Nurani dan Kemanusiaan


Multi-kulturalisme sejatinya dimaksudkan untuk mendukung terjadinya pengangkatan harkat dan martabat manusia (mencari jalan atas kusutnya pertautan antara kepentingan dan hak-hak asasi ummat manusia). Mengelola konflik dan keberagaman (agama, ras, suku, hingga pada tingkatan kebangsaan) kedalam suatu ranah saling memahami antara satu golongan dengan glongan yang lainnya.

Meski memiliki cita-cita dan tujuan yang sangat suci, Multi-kulturalisme sendiri belum mampu membebaskan diri dari paradoks-paradoks yang terkandung dalam tubuh-multikulturalisme itu sendiri. Dalam multi-kulturalisme, tidak boleh ada pemaksaan pemahaman terhadap yang tidak percaya dengan konsep multi-kulturalisme.

Di sinilah letak paradoks yang saya maksudkan diatas. Pada satu sisi, multikulturalisme menawarkan konsep yang sangat suci (menghargai kebebasan, hak, dan keragaman) namun pada sisi yang lain, multi-kulturalisme sendiri tidak mampu menjawab sejauh mana batas-batas kebebasan yang ditawarkan. Contoh paling kecil adalah; sikap seperti apa yang sepantasnya ditempu terhadap orang-orang yang menolak multikulturalisme itu sendiri. Bagaimana kebebasan individe ketika berhadapan dengan kebebasan orang banyak, kebebasan orang banyak berhadapan dengan kebebasan orang banyak. Maslahat yang kompleks dan membutuhkan pemecahan yang tidak mudah

Pada tataran ide dan konsep, persoalan diatas tidak akan menimbulkan masalah yang kompleks, akan tetapi jika konsep itu diturunkan pada ruang-ruang terapan, maka yang terjadi adalah munculnya benturan-benturan yang tidak dapat dihindarkan antara multi-kulturalisme dengan paham-paham yang menolak multi-kulturalisme itu sendiri, misalkan saja antara mayoritas dan minoritas, tradisi adat yang menjadi momok dari moderenisme.

Seharusnya multikulturalisme melerai pertentangan-pertentangan, justru pada titik-titik ekstrim tertentu multikulturalisme tidak menjalankan fungsinya: melerai konflik dan pertengkaran-pertengkaran—meredakan klaim-klaim kebenaran yang dengan muda mereduksi bahkan membunu kebenaran lainnya. Multikulturalisme justru serta-merta ikut kedalam konflik dan menjadikan persoalan semakin konfleks.

Jika multi-kulturalisme bukan upaya untuk mempersamakan dan mempersatukan (mengkompres keberagaman kedalam universalitas), segala nilai kebenaran menjadi satu. Maka, bagaimanakah mekanisme itu dapat bekerja?, Kapan ia bekerja?, Pada wilayah mana mekanisme itu mampu dan tidak mampu bekerja?, Sejauh mana kemandirian dan keterkaitannya dengan teori-teori sosial yang telah ada, Apakah Multi-kulturalisme adalah variable yang independent ataukah dependen? Dalam hal ini agar dapat menjawab permasalahan-permasalahan multikultural yang selama ini ada, tanpa didikte oleh kepentingan-kepentingan tertentu.

Sejatinya multikulturalisme memiliki nilai-nilai independen yang diharapkan sebagai perekat bagi segala perbedaan dan keragaman yang ada. Tentunya dengan menghindari upaya-upaya konversi yang dipraktekkan oleh globalisasi ala moderenisme.

Jika itu tidak dapat disanggupi maka yang terjadi adalah multikulturalisme sangat rawan untuk dihegemoni dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Namun pada sisi lain, upaya untuk merumuskan nilai akan sangat rawan sebab upaya-upaya itu akan senantiasa berdekatan dengan rusaknya ide utama dari pengakuan terhadap multikultur itu sendiri, namun membiarkan multikulturalisme itu sendiri mengambang justru membuka ruang masuknya hegemoni kedalam tubuh multikulturalime itu sendiri.

Hak individu dalam sebuah keberagaman adalah kemaslahatan
Hak individu atau yang kita kenal sebagai hak asasi, cukup mencuat dibicarakan sepanjang satu abad belakangan ini. Maraknya tragedi kemanusiaan, menyusul dua perang besar dunia (perang dunia I dan II) seolah melahirkan suatu kesadaran baru: sebuah kesadaran baru yang menempatkan harkat manusia jauh lebih berharga ketimbang sekedar tumbal perang demi langgenggnya suatu rezim.

Mula-mula muncul politik apartheid di Afrika Selatan, yang menyorot soal rendahnya harkat dan martabat orang-orang kulit hitam di hadapan orang kulit putih—Ras-ras Afrika Selatan kemudian dipisahkan kedalam wilayah tertentu dan diberi kebebasan dan perlindungan hukum yang sama. Semua ras memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap negara.

Pengakuan terhadap kultru yang berbeda-beda, dalam prakteknya tentu jauh lebih mudah ketimbang pengakuan terhadap indentitas individu yang berbeda-beda. Terlebih lagi jika persangkutannya adalah soal identitas, sebab bisa jadi dalam suatu ras, suku, dan golongan terdapat identitas individu yang sangat berbeda dengan identitas yang umum dijumpai pada masyarakatnya. Hak asasi manusia (humad right) jika persangkutanya adalah individu (entitas personal), tentu menjadi sangat sulit untuk didefinisikan.

Ekspresi kebebasan individu seringkali berbantahan dengan kepentingan khalayak umum, demikian juga tidak jarang seseorang atau suatu kelompok tertentu kehilangan hak-haknya hanya karena berbantahan dengan klaim kepentingan khalayak umum. Paling realistis adalah kekerasan yang dialami jemaat Ahmadiyah, tragedi kemanusian Mei 98 yang menimpa etnis Thionghoa, dan banyak lagi kasus yang lainnya.

Kemanakah nurani dan kemanusian itu, masikah ia ada di setiap individu yang memiliki klaim kebenarannya masing-masing?. Lunturkah ia akibat perbedaan paham pemikiran yang kini semakin mendapat tempat untuk berekspresi menurut caranya masing-masing?

Minggu, 27 November 2011

Selasa, 31 Mei 2011

Menghargai Karya Anak Bangsa


Sebetulnya ada apa dengan pola fikir kita dewasa ini?. Kita mengenal berbagai merek produk-produk terkenal dunia semisal ; Nike, Reebok, Adidas, Gap, Old Navy. Dan, dengan begitu bangganya kita berburu produk-produk (Made In USA/UK) tersebut. Padahal, jika selidik punya selidik, produk-produk tersebut justru diproduksi dalam negeri sendiri. Konon, hanya labelnya saja yang (Meda In USA/UK).

Diluar negeri, semisal negara-negara Eropa Barat. Merek-merek yang saya sebutkan diatas dan berlabelkan Made In Indonesia dijual dengan harga fantastis. Sementara didalam negeri, buruh-buruh pabrik diupah dengan sangat rendah.

Untuk sepasang sepatu olahraga dijual dengan kisaran harga Rp 1,4 juta, sementara buruh domestik hanya mendapatkan sekitar 5.000 perak dari harga jual itu.

Barangkali kemiskinan yang mendera menjadikan masyarakat indonesia terpuruk dan rela bekerja apa saja untuk mendapatkan penghidupan, meski penghidupan tersebut sangat jauh dari penghidupan yang layak. Dalam hal ini, kontraktor-kontraktor perusahaan asing yang beroperasi dalam negeri,  mempekerjakan buruh domestik dengan upah yang sangat rendah untuk memproduksi merek-merek terkenal dunia. Lantas, menjual produk-produk tersebut dengan harga yang tinggi lewat kekuatan jaringan bisnis trans-nasional yang cenderung monopilistik.

Rendahnya apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa menjadikan kondisi semacam ini terus saja menjadi permasalahan yang berlarut-larut dan tak kunjung terselesaikan. Sekedar contoh saja, soal betapa mengenaskannya apresiasi terhadap karya anak bangsa; Tiger Wood pe-golf profesional dunia itu. Cuman sekedar mempromosikan merek Nike pada dunia, tapi Tiger Wood mendapatkan bayaran yang jauh lebih tinggi ketimbang jumlah upah yang diterima oleh keseluruh buruh domestik yang memproduksi produk-produk Nike di Indonesia.

Lantas, kapankah kemandirian bangsa itu dapat terwujud?. Sementara jutaan anak bangsa terjebak sebagai kuli kasar dengan upah ala kadarnya (sekedar cukup untuk  menyambung hidup) bagi setiap karya-karya terbaik mereka. Tak ayal lagi, bagi sebagian anak-anak bangsa jenius ini, yang memiliki wawasan global yang cukup memadai, memilih untuk migrasi ke negara lain demi mendapat penghidupan yang lebih layak.

Fenomena Brain Drain (Migrasinya orang-orang jenius dari suatu daerah/negara) yang melanda negeri ini disebabkan oleh tidak adanya supporting system yang memadai. Karya-karya anak bangsa  terpinggirkan dan putra-putri bangsa yang jenius tidak mendapat ruang yang memadai untuk berkarya demi bangsa dan negerinya.

Sekedar berkaca pada  PT.  Dirgantara yang dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat (4/9/07), baru berselang sebulan kemudian, keputusan itu dicabut kembali (24/10/07) dan PT. Dirgantara pun beroperasi kembali, hanya saja tidak dengan sokongan modal yang memadai seperti sebelumnya. Saat ini, industri strategis tersebut mengalami nasib “tak enggan mati dan tak enggan hidup” .

Padahal, semenjak tahun 2000, PT. Dirgantara menunjukkan kinerja yang cukup baik. Sudah banyak pesanan dari luar negeri seperti Thailand, Malaysia, Brunei, Korea, Filipina dan lain-lain. Alhasil, karena tidak adanya dukungan sporting system yang jelas, banyak dari serikat pekerja (tenaga ahli) melarikan diri keluar negeri dikarenakan oleh tidak adanya jaminan penghidupan yang layak didalam negeri. Kini tenaga-tenaga ahli tersebut tersebar diberbagai negara seperti Amerika, Jerman, dan negara-negara lain yang maju dibidang industri teknologi.

Membangun Sporting System yang memadai
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan ekonomi perlu meninjau ulang sistem kebijakan investasi domestik yang ada saat ini, selain itu pemerintah juga perlu menganut politik-ekonomi yang membuka ruang-ruang apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa.

Ruang apresiasi yang saya maksudkan dalam hal ini ialah; setiap investor asing yang hendak atau sedang beroperasi di Indonesia semestinya diharuskan untuk menggunakan tenaga-tenaga ahli domestik. Bahkan jika perlu, transfer teknologi sesuai yang diamanatkan dalam Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) segera direalisasikan. Dengan begitu, bukan hanya sekedar menghidarkan negara dari kompetisi pasar global yang tidak adil, tapi sekaligus menggali dan memberdayakan potensi  ekonomi dan sumber daya manusia (SDM) domistik.

Kebijakan semacam inilah yang menjadi kunci kesuksesan pembangunan ekonomi China dewasa ini. Negara-negara sedang berkembang dewasa ini banyak yang tercengan oleh dampak dari implikasi kebijakan investasi dan politik-ekonomi yang memberdayakan masyarakat lokal (China). Saat ini, hampir semua merek komputer terkenal dunia berlabelkan Made In China. Perusahaan komputer raksasa semisal; DEL, Toshiba, Acer, dan berbagai merek terkenal lainnya kini semuanya diproduksi di China dengan memberdayakan masyarakat lokal sebagai tenaga ahlinya. Dipasaran domestik, semua merek komputer yang kini diperjual-belikan berlabel Made In China.

Menggali Potensi Bangsa
Saat ini, jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta. Menurut proyeksi BKKBN pertumbuhan jumlah penduduk domesti berpotensi untuk mengusur Amerika sebagai urutan ketiga Negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Sekitar 16% dari jumlah tersebut hidup dalam kemiskinan diatas tanah subur dan potensi alam yang melimpah.

Siapa pun tahu, jumlah penduduk sebanyak itu adalah keniscayaan atas potensi pasar (potensi ekonomi). Dalam hal ini, potensi dasar telah kita miliki SDM maupun SDA, tinggal bagaimana mengelola potensi itu sehingga tercipta suatu kemandirian.

Kemandirian yang saya maksudkan disini adalah: putra-putri bangsa mendapat ruang apresiasi atas segala karya inovatifnya, sekaligus mendapatkan penghidupan yang layak. Tidak lagi menjadi kuli yang harus bekerja ekstra demi penghidupan yang sekedar ala kadarnya (sekedar menyambung hidup).



Referensi
1.       The New Rulers of The World, A Special Report by Jhon Pilger. Film Dokumenter
2.       http://id.wikipedia.org/wiki/Dirgantara_Indonesia
3.       http://berita.kapanlagi.com/tekno/ri-minta-isu-transfer-teknologi-lebih-diperhatikan.html
4.       http://en.wikipedia.org/wiki/Agreement_on_Trade-Related_Aspects_of_Intellectual_Property_Rights


Rabu, 13 April 2011

Agar Tidak Sekedar “Wacana Menggelegar!”


Mahasiswa mampu beropini di koran. Saya kira, sebelum membahas lebih jauh terkait wacana ini, perlu ada klasifikasi terlebih dahulu terkait mahasiswa mana yang dimaksud. Dalam hal ini, telah menjadi pemahaman umum bahwa; Siapa pun yang sedang menempu studi pada suatu perguruan tinggi, entah ia muda atau tua, belum kerja atau sudah bekerja (menyandang profesi tertentu; jurnalis, kolomnis, editor, dll). Statusnya tetap mahasiswa. Bahkan bila seorang rektor universitas ternama sekali pun sedang menempu studi lanjutan pada universitas tertentu, tetap saja ia berstatus sebagai mahasiswa pada universitas yang bersangkutan.

Pada awal tulisan ini, perlu kiranya dipertegas bahwa mahasiswa yang dimaksud disini barangkali mereka yang sedang menempu study pada jenjang strata I (S1), D1, D2, D3, atau yang setingkat dengan gelar ini.

Persoalan Kapasitas Intelektual
Fakta dilapangan menunjukkan; Diantara 10 orang mahasiswa, belum tentu ada satu orang yang secara sukarela mau menempa diri untuk menumbuhkan budaya menulis. Jangankan untuk itu, iven-iven kampus yang bersifat edukasi semisal; seminar, loka karya, kuliyah tamu, jarang sekali mendapat peminat. Bahkan tak jarang acara-acara semacam ini digratiskan alias tak ada kontribusi materil dari peserta. Nyatanya masih kurang peminat juga – Lain cerita bila ada persangkutan dengan SKS yang sedang ditempuh.

Bila menilik mahasiswa jaman dulu, sekedar tolak untuk bercermin. Sebutlah nama semisal; Hatta, Adi Sasono, dan Adam Malik. Dunia pers ibarat kampus kedua bagi meraka. Universitas sebagai tempat untuk bergulat dengan teori-teori ilmiah, sedangkan media massa sebagai wahana untuk bergulat wacana dan pemikiran. Menariknya lagi, pada jaman itu, media publikasi masih sangat jarang dan tidak semoderen sekarang. Belum lagi soal tindakan bredel-membredel yang intens dilakukan oleh oknum tertentu.

Jaman sekarang. Ada banyak ruang untuk mengasah bakat menulis, menuangkan ide, dan memberi sumbangsi pemikiran kepada khalayak umum. Situs jejaring sosial (Blog, FB, Twitter) misalnya. Disisi lain, harian Kompas sendiri meluncurkan Kompassiana/Kompas Muda sebagai ajang kretifitas. Ditambah lagi, rata-rata kampus ternama yang ada sekarang ini memiliki koran sendiri. Peluang yang sangat potensial untuk diapresiasi mahasiswa.

Oleh karena duduk persoalan kita disini adalah koran yang menjadi bacaan khalaya umum. Maka, media-media yang saya sebutkan diatas hanya sekedar stimulus untuk mengasah dan meningkatkan kapasitas cakrawala berfikir.

Masih Adakah Kolom Untuk Mahasiswa?
Tentu bukan perkara mustahil bila ada karya tulis seorang mahasiswa, sanggup bersaing dengan karya tulis para; guru besar, tokoh politik, pakar, akademisi, kolomnis pada meja redaktur koran yang memiliki mekanisme kerja yang begitu rumit. 
 
Hanya saja, sekedar untuk dicatat bahwa: setiap koran memiliki mekanisme penerbitannya sendiri. Disamping itu, tidak semua koran menyediakan kolom khusus untuk opini. Terlebih lagi kolom khusus untuk opini mahasiswa -- Rata-rata koran berskala nasional boleh dikata tak satu pun mempuni untuk itu.

Harian Jawa Pos pernah menyediakan ruang khusus untuk opini mahasiswa, yang diberi nama “Suara Mahasiswa” kala itu. Tapi, itu sekitar dua tahun yang lalu dan umurnya pun sangat singkat.

Sejauh yang saya ikuti kala itu. Rata-rata karya tulis mahasiswa yang muncul dikolom itu, terkesan miskin mutu. Entah karena ia disandingkan dengan karya tulis para pakar yang ahli dibidangnya, maka karya yang semestinya cukup bermutu menciut mutunya lantaran ada karya lain pada halaman sama yang jauh lebih bermutu.

Kiranya, harian Jawa Pos menyediakan kolum khusus “Suara Mahasiswa” untuk menstimulusi lahirnya karya mahasiswa yang bermutu. Dan barangkali setelah menilik perkembangan yang ada, kolom itu pun akhirnya raib dari kolom utama. Alhasil, hanya sesekali saja muncul opini hasil buah fikiran mahasiswa pada kolom “Radar”. Intensitasnya pun sangat jarang.

Barangkali, kolom itu semacam proyek uji coba. Tentu, ini sekedar perkiraan subjektif penulis dalam menilik kondisi yang ada. Terlepas bahwa perkiraan ini tepat atau tidak. Namun sudah seyogyanya, mahasiswa sebagai insan akademisi dan calon penerus tongkat estafeta mampu menjawab teka teki semacam ini.
Sudah barang tentu, jawaban yang paling konkret untuk persoalan ini tak lain dan tak bukan bahwa; Mahasiswa harus mampu menghasilkan karya yang patut disandingkan dengan karya para pakar dan kolomnis pada koran-koran yang ada saat ini.

Tentu tidak mudah mencapai kapasitas semacam ini. Barangkali sama sulitnya dengan usaha seseorang untuk mencantolkan gelar; kolumnis, budayawan, sejarawan, cendikia, dsb keatas pundaknya. Butuhkan pengorbanan, ketekunan, proses yang tidak instan, dan disiplin belajar yang tinggi.

Meski sulit, bukan berarti mustahil. Sebab, sudah banyak orang yang sanggup membuktikan itu. Contoh konkret; Mereka yang buah pemikirannya telah tertuang dalam kolom-kolom media cetak (koran) dan menjadi bacaan khalayak ramai.

Malang; 10 April 2011

Minggu, 13 Februari 2011

Narasi Tentang Kesadaran Hidup Manusia




Tafsir Bencana Alam “Tanda-tanda Alam”
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, bencana beruntun melanda seakan menunjukkan bahwa; Sebenarnya manusia hidup diatas sesuatu yang amat sangat tidak aman untuk ditinggali, sewaktu-waktu lapisan tanah yang setiap harinya dipijaki dapat saja terbelah dan menelan apa saja yang ada diatas permukaannya, termasuk manusia itu sendiri. Bahwa pantai yang begitu cantik, sejauh pesisirnya terbentang -- terhampar pasir putih yang teramat cantik -- dibalik airnya yang membiru, hidup berjuta satwa dan keanekaragaman hayati yang tak terhitung jumlahnya. Siapa sangka ombaknya yang biasanya tenang, berubah menjadi ganas dan menelan ratusan ribu nyawa dalam kurun waktu yang teramat singkat. Tsunami, tentu masih sangat akrab ditelinga kita (bagi sebagian orang barangkali masih menyimpan trauma, terutama kerabat korban bencana itu).

Belum lagi redah pedih dan kesedihan dihati. Gempa tektonik, gunung meletus, kebakaran, banjir lahar dingi, banjir bandang, seakan sudah terjaduwal – datang susul-menyusul.

Tidak tanggung-tanggung, manusia pun berdalih ditengah-tengah kemalangan dan ketidak berdayaannya. Krisis ekologi dituduh sebagai penyebab dari segala kesengsaraan itu. Paskah bencana-bencana itu melanda dan menelan korban jiwa. Maka ramailah pemberitaan-pemberitaan dimendia. Media seakan berlomba-lomba menayangkan peristiwa-peristiwa naas itu; “Bencana alam lagi-lagi menelan korban jiwa”. Gejala alam pun disematkan sebagai penyebab hilangnya nyawa manusia -- Siklus alam dituduh dengan semena-mena sebagai penyebab jatuhnya korban jiwa.

Lantas bagaimana dengan banjir musiman yang hampir dipastikan melanda seluruh kota-kota besar di Indonesia dan beberapa kota besar dibelahan dunia, kebakaran yang membumihanguskan rumah-rumah warga, bencana kekeringan dan gagal panen sebagai efek samping dari berubahnya siklus iklim. Tanah yang dulunya subur kini semakin sulit ditanami kecuali dengan menambahkan zat-zat kimia tertentu dalam skala yang besar agar optimalisasi hasil produksi dapat tercapai. Terkesan, alam tak lagi bersahabat bagi manusia. Betulkah, bencana semacam ini merupakan bagian dari gejala alam yang memang sudah sewajarnya terjadi?.

Bagaimana pula dengan bencana Lumpur Sidoarjo, anjloknya Situgintung, lelehan lahar Merapi yang menelan korban lantaran manusia menolak menggunakan akal rasionalnya. Salahkah jika segolongan orang tertentu menyimpan semacam curiga pada tingkat tertentu pula; Bahwa ada semacam kongkalikong yang begitu rumit dan rapi dibalik semua itu – Dan itu semua, cermin dari ketidak pedulian dan ketidak pahaman manusia pada kondisi lingkungannya – manusia gagal membaca tanda-tanda alam.

Kita pun menjadi bingung, mana musibah yang murni disebabkan oleh gejala alam dan mana musibah yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Mengutip pernyataan Rousseau (gempa tsunami Lisabon, 1756) “Nature did not build the house which collapsed” (Alam tidak pernah membangun rumah yang runtuh menimpa penghuninya)[i]. Barangkali tafsirnya kurang lebih begini; Alam tidak sedang mengemban tugas untuk mencabut nyawa ummat manusia.  Sekedar contoh sederhana. Akal rasional manusia mengajarkan bahwa; Kebakaran hutan tidak mungkin terjadi begitu saja, ia terbakar bukan karena panas matahari, bukan pula karena ulah binatang nakal semacam naga dalam mitos-mitos film Hollywood yang dapat menyemburkan api dari dalam mulutnya. Pengetahuan rasional dan fakta mengajarkan bahwa tak ada satupun makhluk hidup biologis dimuka bumi ini yang berani bermain-main dengan api kecuali manusi itu sendiri. Dan tentu lebih tidak masuk akal lagi jika ada tumbuhan yang sanggup membakar diri dan sesama tumbuhan yang lain.

Agaknya, tafsir tentang bencana alam yang selama ini kita pahami perlu diluruskan. Gejala alam memiliki konteks yang sama sekali berbeda dengan “bencana alam” (istilah yang menjadi ngetren saat ini) atupun bencana kemanusiaan. Selama ini telah menjadi semacam pemakluman umum dan diterima apa adanya oleh nalar fikir konfensional masyrakat.

Bencana itu tentu persangkutannya adalah manusia, tapi gejala alaman sendiri merupakan faktor  mandiri yang sudah semestinya terjadi apa adanya (sudah dari sananya). Meski saat ini, akibat kecanggihan pengetahuan dan teknologi, manusia sanggup mempengaruhi ataupun melakukan memodifikasi pada alam. Namun apa yang dilakukan oleh manusia hanyalah memodifikasi hukum yang sebenarnya sudah ada. Semisal saja; Hujan, hujan terjadi karena hukum alam memang sudah menggariskan demikian, akan tetapi manusia dan kecanggihan teknologinya dapat saja membuat hujan buatan jikalau itu memang diperlukan – campur tangan itu hanya sebatas menguba jaduwal turunnya hujan.

Berangkat dari kenyataan yang ada. Maka, tidak ada salahnya untuk mengkaji ulang tentang bagaimana sebetulnya hubungan yang ideal (harmonis) antara manusia dengan alam (lingkungannya) – Kalau si kakek tua buta dalam cerita diawal tulisan menamainya “Dua buah piringan timbangan yang saling bergantung pada posisi masing-masing”. Saya sendiri menamainya nalar (kesadaran) manusia.

Biosfir (Lingkungan Hidup)
Sampai saat ini, ilmu pengetahuan paling mutakhir sekalipun belum sanggaup mengungkap/menemukan tempat lain selain biosfir sebagai habitat (lingkungan hidup) bagi seleruh spiesis makhluk hidup yang ada saat ini. Satu-satunya planet dijagat raya yang diketahui memeiliki kehidupan, barulah planet bumi.

Tanah kering, air, serta udara tipis yang menyelimuti bumi sebagai unsurnya. Adapun cakupan wilayahnya sangatlah terbatas. Batasan atasnya merupakan ketinggian maksimum yang dapat dicapai stratosfir, batas bawahnya merupakan permukaan bagian solid tanah yang masih bisa ditambang dan dibor oleh para insinyur.

Materi-materi yang terkandung dalam biosfir (lingkungan hidup) selalu bertukar tempat atau didaur ulang kembali. Misalkan saja, tumbuhan mengambil materi dari tanah berupa unsur-unsur mineral, ketika hewan memakan tumbuhan tersebut maka sebagian dari material yang ada pada tumbuhan berpindah pada hewan, begitulah selanjutnya ketika hewan dimakan oleh manusia atau hewan lain. Bila manusia meninggal maka materi kembali lagi pada tanah. Siklus -- bertukar tempat (daur ulang).

Telah menjadi pemahaman umum bahwa; Di dalam biosfir terdapan materi yang dapat diperbaharui dan juga materi yang tak dapat diperbaharui (tak tergantikan). Materi-materi ini kemudian dieksplorasi, dikelola, dan dimodifikasi sedemkian rupa oleh manusia guna memenuhi kebutuhannya untuk bertahan hidup – kondisi semacam itu sudah terjadi sejak dari masa lampau (nenek moyang manusia yang pertama) hingga manusia jaman sekarang, hanya caranya sajalah yang berbeda.  Di abad moderen, manusia mencipta mesin-mesin -- bekerja menggantikn tenaga manusia yang dinilai sangat terbatas kapasitasnya. Alhasil produksi meningkat secara drastis sekaligus di ikuti oleh krisis ekologi. Ketergantungan mesin pada bahan bakar ternyata memproduksi gas karbon secara massif. Semantara itu, eksplorasi hutan malampaui batas kewajaran.

Revolusi Industri menyumbang manfaat yang sedemikian besar bagi manusia. Penerapan teknologi moderen disegala bidang kehidupan manusia, menjadi jembatan tercapainya penghidupan yang lebih maju; proses produksi dapat dilakukan secara massal, trasformasi informasi dan komunikasi mengglobal. Hanya saja, dampak buruk dari penerapan teknologi ternyata sama kaburnya dengan meramal masa depan ummat manusia itu sendiri. Persoalan semacam ini baru dapat dimengerti belakangan ini, setelah sifat terjang manusia mendapat koreksi yang teramat keras dari alam. Perubahan siklus iklim menimbulkan kecemasan bagi para ilmuan dibidang lingkungan. Ibarat efek domino, perubahan iklim berimbas pada gagal panen – mengancam kelangsungan hidup ummat manusaia.

Belajar dari Alam
Salah satu keajaiban yang dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk biologis lainnya adalah; Manusia mampu memikirkan diri, dan alam disekitarnya. Si kakek tua buta yang hendak mengembalikan tongkatnya pada alam adalah cermin kadar kemanusiaan yang tak mungkin miliki oleh makhluk biologis lain.

Lantas bagaimanakah manusia menemukan atau membangkitkan fajar sadarannya?.

Dipercaya bahwa, sebelum manusia menemukan potensi dirinya (Fajar Kesadaran). Ada jarak interval waktu yang cukup lama (yang didalamnya melibatkan proses mekanis-biologis yang begitu rumit). Sebagaimana yang di istilahkan oleh sejarawan Arnold Toynbee sebagai “kejatuhan pertama manusia” Peristiwa itu ditandai dengan bermigrasinya nenek moyang manusia meninggalkan rumahnya (berlindung diatas pohon) – Turun ke tanah untuk berkompetisi dengan makhluk hidup yang lain. Dalam konotasi lain; manusia mengalami kejatuhan moral ketika kesadarannya bangkit (makhluk yang sadar, selain berpotensi untuk menjadi makhluk yang baik juga memiliki potensi lain yang sama kadar porsinya yaitu potensi menjadi makhluk yang jahat dan perusak)[ii]

Mitos-mitos kehancuran ummat dimasa lalu; Masa paceklik dijaman nabi Yusuf, Ummat Nabi Nuh yang di musnahkan oleh banjir  mahadahsyat, kaum sodom di jaman Nabih Luth musnah oleh wabah penyakit,  Medium dari semua peristiwa mahadahsyat itu adalah alam. Alam seakan-akan hendak menujukkan suatu pertanda pada manusia.

............
Bukankah, Filsafat sebagai hasil karya kesadaran tertua manusia, pada awal mulanya di ilhami oleh prinsip-prinsip alam. Alam sadar manusia terus berkembang, tidak hanya mencakupi diri dan segala sesuatu yang kasat mata selain dirinya, tapi juga pada suatu entitas yang tak kasat mata (Tuhan). Belakangan, sang didaktik revolusioner Paulo Preire mengidentifikasi alam kesadaran manusia menjadi; kesadaran naif, kesadaran kritis, dan kesadaran mistis.

Jika ingin merubah perilaku, maka rubahlah pola fikir terlebih dahulu. Setali tiga uang dengan pepatah; seseorang tidak mungkin bisa berbuat adil, jikalau ia tidak sanggup adil sejak dari cara berfikirannya -- Seseorang tidak akan mungkin peduli pada diri dan lingkungan disekitarnya, jikalau kepedulian/kesadaran itu bukan berada pada alam fikirnya, melainkan terdapat diluar diri dan lingkungan disekitarnya. Bukankah kepedulian/kesadaran tercermin dari setiap tindakan, maka orang yang tak pernah bertindak adalah orang yang paling miskin kesadaran dan kepedulian. 

Sejatinya seperti apa hubungan yang ideal antara manusia dengan alam (lingkungan hidup) apakah biner, linear, meraut manfaat sebanyak-banyaknya setelah itu mati pada waktunya. Tentu yang dapat menjewab pertanyaan ini adalah manusia itu sendiri, alam hanya sanggup merespon lewat sikapnya yang liar dan cenderung tak bersahabat. Sementara, kesadaran tentu bukanlah sesuatu yang secara otomatis terwariskan lewat genetika atau pertalian darah secara turun temurun. Ia hanya dapat diwariskan lewat pembentukan karakter dan eksplorasi nalar kritis manusia, setelah itu, visi penyadaran yang bermuara pada pemberdayaan bisa bekerja.


[i]   Baca Alam tak pernah membangun rumah. Harian Kompas, 15-september-2007
[ii]  Baca Sejarah umat manusia, hal 29


Daftar Bacaan
  1. Arnold Toynbee, Sejarah Ummat Manusia (Uraian analitis,kronologis, naratif, dan komparatif). Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2007
  2. Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikutural. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PASP) Muhammadiyah, Jakarta 2005
  3. PiÖtr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media, Jakarta 2004
  4. Denis Collins, Paulo Freire (Kehidupan, Karya & Pemikirannya). Komunitas Apiru bekerjasama dengan Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta 1999
  5. Korban lapindo Menyerah, Harian Kompas 6-juli-2007
  6. Reforestasi Global, Harian Kompas 19-juli-2007
  7. transisi Musim kemarau, Harian Kompas 23-juli-2007
  8. Khashiwazaki dan Energi Abadi Kita, Harian Kompas 28-juli-2007
  9. tanggungjawab sosial dan etis, Harian Kompas 23-Agustus-2007
  10. Alam Tak pernah membangun rumah, Harian Kompas 15-September-2007
  11. Kebangkita Moral, Harian Kompas 19-Mei-2008
  12. Manusia “Linuwih” Dalam Reformasi, Harian Kompas 31-Mei-2008
  13. Bahan bakar Air menyalahi Hukum Alam, Harian Kompas 31-Mei-2008
  14. Menakar Rasionalitas Bangsa, Harian Kompas 7-Juni-2008
  15. narasi dan “dogmatisasi”, Harian Kompas 25-Oktober-2008

Labels