Minggu, 31 Mei 2009

Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHA

Dilema Munculnya Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHA
Ditengah-tengah Perang Melawan Penyebaran Virus HIV/AIDS


(oleh: Sudarno)

“Setiap orang tidak pernah bercita-cita untuk menyandang stigma, dan tiap-tiap orang benci menjadi objek diskriminasi”


Stima dan diskriminasi tidak hanya melanda orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA), akan tetapi juga melanda persepsi masyarakat terhadap HIV/AIDS itu sendiri. Gejala itu dapat dideteksi dengan adanya kelambanan dalam penyerapan tranformasi informasi terkait dengan HIV/AIDS. Contoh konkret; adanya keengganan untuk memeriksakan diri kepada petugas kesehatan serta meminta informasi yang memadai terkait dengan HIV/AIDS.

Takut sekiranya jika hasil tes menunjukkan hasil positif. Malapetaka seperti apa yang akan menjemput jikalau hal seperti itu benar-benar terjadi?. Kelak, seperti apa kehidupannya dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat?. Seperti apa pandangan masyarakat terhadapnya?. Bagaimana dengan nasib karirnya?. Tentunya ada banyak lagi deretan pertanyaan yang jika semakin dicoba untuk dijawab, perasaan ngerih justru akan semakin akut menggerogoti.

Munculnya perlakuan negativ bagi ODHA jelas lahir bukan karena sesuatu yang tanpa dasar dan tidak beralasan. Disamping itu, bobot hukuman sosial berupa stigma dan diskriminasi bagi ODHA, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan dan menular lainnya.

Jika dikaji secara konperhensib, ada beberapa faktor yang menjadi pemicu munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Dalam hal ini, adanya pandangan miring terhadap HIV/AIDS menjadi polemik tersendiri beserta sejumlah kerumitan-kerumitan tertentu bagi masyarakat.


Opini masayarakat yang menyimpang
Fakta membuktikan; “HIV/AIDS adalah penyakit mematikan” dan “Belum ada obatnya”. Kedua model opini tersebut ibarat momok borok bagi masyarakat dalam mensikapi HIV/AIDS itu sendiri. Tidak tanggung-tanggung, dapak buruk atas opini tersebut mengarah secara langsung terhadap munculnya sikap devensif dan tertutup dari masyarakat.

Fakta memang harus disampaikan kepada masyarakat tanpa harus ditutup-tutupi sebagai sebuah upaya edukasi. Namun justru fakta itulah (HIV/AIDS adalah penyakit mematikan dan belum ada obatnya) yang memunculkan kondisi dilema bagi masyarakat. Pada satu sisi, masyarakat diajak untuk memerangi HIV/AIDS, dan pada sisi yang lain, ODHA sebagai manusia seutuhnya hidup ditengah-tengah masyarakat sambil menyandang suatu penyakit (borok) dalam tubuh mereka yang dibenci dan semestinya diperangi oleh masyarakat.

Efek Informasi yang tidak berimbang
Transformasi informasi yang tidak berimbang adalah motif utama timbulnya efek buruk bagi ODHA serta adanya pemahaman yang salah kapra terhadap HIV/AIDS itu sendiri. Ditengah hingar-bingar usaha memobilisasi masyarakat dalam memerangi penyebaran dan penularan HIV/AIDS, upaya-upaya edukatif justru cenderung tidak mampu mengimbangi gencarnya propaganda itu sendiri. Masyarakat tidak memiliki akses informasi yang berimbang dan memadai tentang apa sesungguhnya HIV/AIDS itu.

Siapa pun selama ia adalah manusia normal seperti manusia pada umumnya, jika diperhadapkan dengan perkara (penyakit) yang bersangkut-paut pada kematian. Pastinya, sikap yang akan muncul adalah kengerian pada tingkatan tertentu. Apalagi jika penyakit itu terbukti belum ada obatnya ­­-- ditengah pesatnya kemajuan teknologi dibidang kesehatan saat ini.

Propokasi memang sangat dibutuhkan sebagai tindakan preventif, ditengah meningkatnya kasus inveksi virus HIV dan semakin bertambahnya korban yang meninggal dunia akibat ganasnya penyakit AIDS akhir-akhir ini. Namun selain propokasi untuk menarik perhatian masyarakat. Upaya-upaya edukatif tentunya harus dilakukan segencar dengan upaya-upaya propokatif yang telah diambil.

Dalam hal ini, perlunya transformasi informasi yang berimbang. Jika masyarakat selalu saja dicecoki tentang kengerian HIV/AIDS tanpa adanya langkah-langkah yang mengarah pada penciptaan pemahaman yang memadai tentang HIV/AIDS itu sandiri, maka yang timbul adalah masyarakat paraboid – masyarakat yang menutup diri. Parahnya lagi jika mereka telah tertular, namun kenyataan itu tidak mereka ketahui.

Aspek Media
Perkembangan pesat IT dewasa ini sangat menggembirakan, informasi dapat disebar dan diakses dengan muda oleh masyarakat tentunya dengan biaya yang cenderung semakin murah dari waktu-kewaktu. Batas teritori, jarak dan waktu seakan diterjemahkan ulang kedalam suatu rumusan -- rumusan maya dan kecepatan.

Seseorang dapat menjadi pahlawan/dipuja-puja hanya dalam waktu yang singkat dan demikian pula sebaliknya, pahlawan dapat dibenci dan dicaci dalam waktu yang singkat pula. Kenyataan ini adalah wujud eksistensi dari media saat ini.

Fakta bahwa HIV/AIDS sangat mematikan dan belum ada obatnya adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Namun ketika fakta tersebut bersentuhan dengan media, maka perlu ada unsur penyeimbang yang menyertai supaya kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS lahir bukan atas dasar hysteria, melainkan sesuatu yang benar-benar lahir dari nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Harapan utamanya, media cukup mampu kompromistis dalam memerangi stigma dan diskriminasi yang terjadi selama ini. Media memiliki peran yang pital dalam penghapusan stigma dan diskriminasi -- Mendorong masyarakat untuk mensikapi permasalahan ini secara wajar dan bertangungjawab.

Secara wajar adalah; mengajak masyarakat supaya tidak tertular atau terinfeksi. Bertanggungjawab dengan cara tidak mendiskreditkan mereka-mereka yang telah tertular/terinfeksi. Masyarakat dewasa ini cenderung terlalu berlebihan dalam ekspresi membentengi diri.

Aspek Moral
Saat ini, tantangan utama dari para petugas kesehatan adalah; masyarakat mengalami ketakutan untuk memeriksakan diri. Jangan-jangan mereka telah tertular oleh virus mematikan itu?. ada ketakutan tersendiri yang menghantui masyarakat sehingga enggan melakukan pemeriksaan kepada pihak berwajib. Padahal sebetulnya sikap seperti inilah yang paling merugikan, tidak hanya bagi individu tersebut, melainkan juga bagi keluarga, dan bahkan bagi lingkungan dan masyarakat secara keseluruhan.

Perlu dipahami. Meskipun tes menunjukkan hasil positif, tidak serta-merta menjadikan segalanya telah berakhir. Epidemi HIV jika ditangani sejak dini dan dengan cara yang benar justru akan menghindarkan pasian dari perkembangan virus (HIV) menuju pada stadium AIDS yang beresiko pada kematian. Menghindarkan pasien dari kematian, terlebih lagi keluarga dan orang-orang terdekat yang dicintai.

Masyarakat terlanjur meng-amini bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang diakibatkan oleh hubungan sex, penyakit yang timbul dari perilaku sex bebas dan konsumsi yang menyimpang atas obat-obatan terlarang (Narkoba). Padahal sebetulnya HIV/AIDS juga menjangkiti manusia yang sama sekali bukan dari golongan free sex dan pengguna narkoba. Ada juga manusia yang berperilaku baik, normal, dan tidak menyimpang (terhindar dari perilaku beresiko1) justru tertular virus HIV.

Kasus seperti itu dapat terjadi di karenakan pemahaman yang sangat minim tetang HIV/AIDS itu sendiri. Korban yang paling banyak dalam golongan ini adalah bayi yang tertular dari orang tuannya, dimana orang tua tersebut tidak tahu menahu jikalau didalam tubuhnya terdapat virus yang sangat mematikan. Perkosaan -- salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan juga dapat menjadi motif terjadinya penularan. Dan sejumlah motif lain yang semestinya telah dipahami oleh masyarakat.

Purlu dipahami bahwa; tidak semua ODHA adalah pelaku seks bebas, pengguna Narkotika, dan pelanggar norma. Sabaliknya, tidak sedikit pula dari mera yang menjadi korban adalah orang-orang yang berperilaku baik dan taat norma. Masyarakat harus diajak berdialog dalam hal ini.

Menolak suatu pertalian (pengucilan, pelecehan, dan kekerasan fisik maupun non-fisik) hanya karena alasan HIV/AIDS, tentunya sikap seperti inilah sebagai bukti nyata akan adanya sikap dan tindakan diskriminasi -- Sikap tidak bertanggungjawab yang hanya berdasar pada ego dan pemahaman yang salah serta menyimpang.

Aspek kultural
Propaganda yang melupakan kondisi rill dan sosiologis masyarakat, tentunya adalah propaganda pepesan dan kosong belaka. Dalam budaya dan kondisi sosiologis ketimuran (ex; Indonesia), pembahasan tentang perkara sex adalah hal yang masih tabu jika dibandingkan dengan masyarakat barat yang telah melalui moderenitas yang sedemikian rupa -- tentunya dengan dasar budaya yang berbeda pula.

Vulgar dalam membahas persolan sex cenderung akan berbenturan dengan reaksi publik yang kadang-kadang berujung pada tindakan kekerasan pada tataran tertentu. Oleh karena itu perlunya aspek pendekatan culture approach dalam memprovokasi dan mengedukasi masyarakat tentang HIV/AIDS.

Kondom adalah contoh kasus yang paling konkrit. Bagi Barat, kondom adalah alat Bantu untuk menghindarkan masyarakat dari penyakit menular dan mematikan seperti HIV/AIDS dan penyakit-penyakit kelamin menular lainnya. Namun bagi Timur (Indonesia), kondom tidak serta merta dapat dipahami dalam konteks seperti itu.
Ketika ATM kondom diberlakukan, maka yang terjadi adalah reaksi masyarakat yang cenderung naik pitam dan merasa terlecehkan dengan adanya mesin tersebut. Kondom dipandang sebagai icon seks bebas. Apakah tradisi Barat telah benar dan Timur salah dalam hal penyikapan itu?. Tentunya tidak!. Barat memiliki keragaman dan keunikannya sendiri. Demikian pula dengan Timur (Indonesia) -- punya keragaman dan keunikannya sendiri.

Persolana krusial yang patut diperhatikan dalam permasalahan ini adalah; Dengan cara apa?, supaya trasformasi informasi (HIV/AIDS) yang disampaikan kepada masyarakat dapat mereka terima tanpa merasa terinjak-injak harkat dan martabatnya. Tentunya, bukan dengan cara menakut-nakuti sembari mengharap agar perhatian mereka terkait pada mata kail ketakutan.

Aspek pemerintah
Stigma dan diskriminasi yang terjadi diberbagai lini masyarakat berupa; tingkat individu, komunitas, masyarakat, institusi, dan opini di berbagai media. Sesegeramungkin dilakukan klarifikasi. Pemerintah dalam hal ini sebagai faktor penentu.

Menghapus diskriminasi tidak cukup dengan mencegah penularan, perawatan serta dukungan moril bagi yang telah terinveksi. Namun tindakan-tindakan yang tidak kalah penting adalah mengajak masyarakat untuk merubah persepsi salah tentang HIV/AIDS yang selama ini dianut oleh mereka. Semua itu hanya dapat dicapai dengan adanya politik-kesehatah yang jelas, berupa kebijakan dan inplementasi yang tepat.

Edukasai
Kasadaran masyarakat adalah kunci utama; objek nyata yang seharusnya menjadi objek perang adalah penularan virus HIV itu sendiri, bukan terhadap ODHA yang menjadi korban HIV/AIDS. Mendorong masyarakat terkait dukungan moril bagi mereka yang telah terinfeksi (ODHA) sebagai bentuk kepedulian sosial. Sekurang-kurangnya membantu mengurangi beban moril yang mereka emban.

Adanaya bimbingan konseling bagi masyarakat; memosisikan masyarakat sebagai bagian integral dari pencegahan, penularan, dan penanggulangan HIV/AIDS. Tentunya, persoalan seperti apa masyarakat memandang HIV/AIDS? dan Sejauh mana pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS?, kedua persoalan ini harus dituntaskan terlebih dahulu sebagai syarat mutlak.

Pemahaman yang salah terhadap HIV/AIDS justru menjadi penghambat utama upaya penanggulangan terhadap HIV/AIDS itu sendiri.

Labels