Syamsul Abdillah, itulah namaku. Terlahir dalam asuhan keluarga yang mapan secara ekonomi, anak pertama dari tiga bersaudara dan satu-satunya sebagai anak laki-laki. Kasih sayang orang tuah yang tertuju padaku melebihi kasih sayang yang diterima oleh tiap-tiap adik perempuanku. Barangkali anggapanku ini amat berlebihan, namun siapapun boleh berangngapan lain dan berbeda tentang persoalan itu padaku.
Dirumah milik ayah-ibuku terbentuk sebuah geng. Teman-temanku sebagai anggotanya memberinya nama “Komunitas 58”. Itu karena plat nomor rumah tempat mangkalnya adalah angka 58.
Sebetulnya aku tidak begitu senang ketika dinobatkan sebagai ketua geng. “Hanya lantara tempat mangkalnya adalah rumah orangtuaku kemudian dengan sereta-merta aku terangkat menjadi ketua”. Tapi belakangan, aku baru tahu bagaimana enaknya menjadi pimpinan. Apalagi dirumah, ayah dan ibuku membebaskan aku sepenuhnya. Hanya sesekali saja mereka menengok gedung tempat mangkal gengku yang letaknya terpisah dari rumah utama itu. Itupun jika aku tidak mereka temukan dikamar tidurku dilantai tiga.
Kebiasaan yang kami lakukan ketika sedang berkumpul adalah cerita sepuasnya, mulai dari yang konyol hingga pada persoalan yang lebih seriuas, misalkan tentang kisah asmara anggota geng, menyelesaikan tugas sekolah. Jika tidak ada topik perbincangan yang menarik maka bermain game dan musik kadang-kadang kami lakukan sampai larut malam. Malahan jika malam minggu tiba, begadang sampai pagi dan barulah tidur ketika matahari menyingsing diufuk timur dan tentunya sehabis menyantap nasi goreng racikan kedua pembantu yang dipekerjakan oleh ayah-ibuku dirumah.
Ayah dan ibuku sama sekali tidak mempermasalahkan kegiatan kami “Ketimbang keluyuran diluar rumah, minum alkohol, terlibat narkoba”. Begitulah kira-kira sikap dan anggapan mereka padaku serta geng bawahanku. Dan anggapan itu kami kukuhkan dengan berpantang pada rokok, alkohol, dan terlebih lagi pada Narkoba.
Anggota gengku umumnya adalah para jagoan berkelahi disekolah, sajak kelas satu SMA hingga kini telah barada pada tingkat tinggi pada jenjang pendidikan menegah itu. Setiap kali ada peristiwa pemukulan siswa oleh siswa, sebagian besar selalu saja ada sangkut pautnya dengan kelompokku. Bahkan menghajar kakak kelas yang lebih senior sudah sering kami lakukan.
Aku sendiri pernah mempecundangi ketua OSIS sampai-sampai ia menangis seperti anak kecil dihadapan teman-teman sekelasku, aku duduk dibangku kelas dua saat itu. Waktu itu, ketua osis yang kebetulan adalah seorang cewek, ia setahun lebih senior ketimbang aku. Barangkali ia hendak menyempaikan sesuatau mengenai kegiatan ekstra-kurikuler menjelang masa liburan. Lantaran menurut pengamatanku ia berpakaian terlalu mecolok. Lantas, aku meneriakinya pelacur dan mengusir ketua OSIS itu keluar dari kelasku lewat sebuah sepakan pada pantatnya. Sebagai ganjarannya, aku dihukum berjemur hingga jam pelajaran usai, ditambah skors selama tiga hari, serta ayah dan ibuku mendapat surat panggilan dari kepala sekolah.
Berselang beberapa minggu kemudian, seorang siswa pindahan baru bergabung kedalam kelompokku, sejak saat itu reputasi buruk gengku sedikit-demi sedeikit berubah.
Awalnya, seluruh anggota geng tidak setuju ketika ia kuterima sebagai anggota Geng pimpinanku. Alasannya bermacam-macam; kolot, kutu buku, tidak bisa diajak bersenang-senang, dan banyak lagi alasan yang ada. Pada akhirnya alasan-alasan itu terbantahkan dengan sendirinya ketika keakraban telah terjadi diantara kami.
Aku sendiri memiliki pemahaman yang berbeda waktu itu, dengan bergabungnya ia kedalam Geng, nama Komunitas 58 akan semakin dikenal disekolah. Lagipula ia adalah teman yang paling tepat untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang selalu saja merepotkan. Oh aku hampir lupa. Biasanya anggota geng memanggil kawan cerdas kami ini dengan inisial Kutu, tentu itu bukan namanya yang sesungguhnya.
Wajahnya amatlah biasa-biasa saja namun dengan cepat ia menjadi incaran cewek-cewek disekolah. Barangkali mereka berharap kecipratan otaknya yang encer itu. Aku dan anggota geng yang lain semakin salut saja padanya, meski mendapat perlakuan lebih ia tetap bersikap apa adanya dan tidak lupa diri.
Sehabis jam sekola biasanya ia tidak langsung pulang kerumah, ia justru membonceng disadel motorku dan langsung menuju tempat nongkrong menunggu teman-teman yang lain untuk diajak ribut-ribut, bersenda gurau, dan bermain musik. Kecuali untuk bermain game, ia sama sekali tidak bisa diandalkan, padahal sejak ia bergabung para ahli gemer dalam geng telah mewariskan segala trik yang mereka kuasai padanya.
Sore selepas Ashar, ketika ayahku telah berpulang dari kantor, biasanya ayahku terlibat obrolan dengannya diserambi rumah hingga menjelang magrib tiba, kadang-kadang juga obrolan itu berlanjut hingga waktu makan malam tiba. Ayahku pun memberinya duplikat kunci untuk lemari tempat buku-buku kesayangannya terpajang. Ia diberinya kebebasan untuk mengutak-atik isi lemari itu.
Suatu hari saat sedang menungggu teman-teman yang lain untuk persiapan konvoi sepeda motor keliling kota. Aku mengobrol berduaan saja dengannya, tepatnya diberanda rumah. Sebetulnya waktu itu aku bermaksud sekedar iseng saja untuk menanyainya beberapa pertanyaan, hitung-hitung mengenal lebih jauh tentang anggota baruku itu. Lagipula, akhir-akhir ini aku menjadi agak sentimentil dengan kejeniusan kawanku ini, lantaran kehadirannya dalam komunitas, ayah ibuku semakin sering-sering suka berceramah padaku.
“Saya sebetulnya tidaklah pintar-pintar amat. Hanya saja, barangkali sedikit lebih tekun ketimbang siswa lain pada umumnya”.
“Tapi bagaimana dengan Arditya, ia selalu saja menganggapmu sebagai rival dan bertekat untuk merebut kembali rekor siswa terpandai disekolah yang telah kau rebut darinya sejak kepindahanmu kemari”.
“Dia anak yang pandai, cerdas, rajin, dan tekun belajar. Barangkali hanya karena persoalan ia belum menemukan metode belajar yang paling sesuai untuk dirinya saja, dengan begitu potensi yang ada padanya tidak muncul secara maksimal.”
“Maksudmu, kau sudah menemukan metode yang kamu maksud tadi dan dengan metode itu kau mendepak bintang disekolah yang selama ini merasa kecerdasannya sudah diatas awan itu?”
Mungkin terlalu sombong jika berkata “ya”. Namun yang pastinya, setiap mata pelajaran yang kita pelajari setiap harinya, sebetulnya tidaklah aku serap segampang dan semuda anggapan orang-orang selama ini. Ada banyak matapelajaran yang sebetulnya tidak aku mengerti sepenuhnya, padahal sebelumnya sudah aku telaah mati-matian, bahkan tidak jarang bleng sama sekali ketika materi-materi itu diajarkan langsung oleh guru yang bersangkutan. Namun setiap kali mengalami itu, dengan cepat materi-materi itu kuulang-ulangi ketika berada dalam keadaan rileks, dan itu kulakukan dimana saja dan kapanpun ketika kondisi rileks itu datang tanpa harus menunda-nunda. Meski amat sangat repot membawa buku dan tas kemana-mana, dan juga amat tidak menyenangkan dilabeli kutu buku. Namun bagi orang yang berotak pas-pasan seperti saya ini, tidak ada jalan lain untuk bersaing dengan orang cerdas dan jenius seperti Arditya selain dengan jalan seperti itu.
“Jikalau begitu!. Kenapa kamu malahan bergabung dengan Geng yang kerjanya hanya ribut, berkelahi, hura-hura, dan ngelantur sampai pagi jika tujuan utamamu adalah belajar?”.
“Kita memang kumpulan orang-orang yang ribut, tapi kondisi yang ada disini ternyata jauh lebih rileks dan nyaman ketimbang suasana kelas yang tenang dan tertib”.
“Ayolah, kau jangan ngaco kawan!. Mana ada orang yang bisa rileks belajar dalam keadaan ribut-ribut”.
Justru itulah yang aku sebut dengan metode tadi. Ada sebagian orang yang mampu mengembangkan potensi dirinya justru ketika menghindari sistem yang telah teratur dan mapan. Ada yang mampu mengikat makna hanya dengan melihat, sebagian yang lain dengan cara mendengar, dan sebagian yang lainnya lagi dengan bercakap-cakap dan interaksi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang yang membutuhkan keadaan tenang dan hening untuk belajar dan mengikat makna, namun ada juga orang yang justru mengantuk dan kehilangan gairah jika berada dalam kondisi seperti itu.
..................
Perubahan akan selalu kekal dan kukuh lewat perubahan itu sendiri. Dan itulah yang terjadi padaku dan anggota gengku. Semuanya bermula pada hari itu. Hari ketika adik perempuanku yang paling sulung mendatangiku sambil menangis tersedu-sedu. Kawan karibku itu datang menyusul kemudian dan serta-merta meminta maaf layaknya orang yang bersalah. Aku sebagai laki-laki yang hendak melindungi adik perempuanku memukul wajahnya berkali-kali. Seminggu lamanya ia tidak muncul disekolah. Belakangan aku baru tahu jikalau kejadian itu sebetulnya hanyalah salah paham saja. Adik perempuanku sendiri yang mengaku salah padaku dikemudian hari. Ia menangis waktu itu lantara shock. Kata cintanya menggantung tanpa ada kepastian.
Setelah peristiwa pemukulan itu, beberapa bulan ia tidak lagi bergabung dengan anggota geng, beberapa kali saja terjadi obrolan ringan antara aku dengan dia, apatahlagi kelas kami berbeda, aku dan anggota geng yang lain menempati kelas reguler sedangkan ia menempati kelas khusus .
Sehabis mengikuti ujian nasional, ia menghilang bagai ditelan bumi. Padahal sekolah menjadi harum namanya lantara ia mendapat nilai sempurna. Kepala sekolah sampai-sampai diundang langsung oleh staf kementrian dibidang pendidikan.
Pak Mahfuz demikiannlah panggilan akrab kami sehari-hari pada pimpinan sekolah tempat kami bersekolah itu. Pak Mahfuz mendatangiku dalam suatu urusan yang amat serius. Bertanya tentang perihal sahabat dan anggota gengku itu. Lewat pak Mahfuz, aku menjadi tahu jikalau sahabatku itu mendapat beasiswa penuh untuk kuliah S1 di Sorbone, Perancis. Lewat sponsor salah satu yayasan pendidikan dalam negeri.
Ketika aku mengantar pria paruh baya yang sebentar lagi bergelar mantan kepala sekolahku itu. Kenyataan lain justru lebih mengagetkan lagi. Ternyata kawan karibku itu hanyalah penumpang sementara untuk rumah yang memiliki tokoh kelontong sederhana itu. “Ia adalah anak seorang petani kampung” Kata tante-tante bermasker bedak setebal satu senti dan beberapa gulungan rambut menggantung acak-acakan dikepalanya. Aku agak ragu dengan ucapan tante-tante itu, namun ayahku sendiri membenarkan itu ketika aku dengan iseng bertanya padanya.
Aku amat irih padanya, semua orang seakah-akan telah ia curi hatinya, ayah dan ibuku, kedua adik perempuanku, yang paling bungsu senang sebab tugas-tugas sekolah tidak lagi membuatnya repot, sementara adik perempuanku yang tertuah betul-betul telah tercuri hatinya. Aku sendiripun, entah sejak kapan kurasakan ada sesuatu yang kosong ketika ia tidak lagi berseliweran dan ribut-ribut didepan hidungku.
Untaian kata yang pernah ia ucapkan padaku dulu semakin sering membuatku merenung. “Seburuk apapun perigai seorang sahabat, pastilah akan tetap terkenang sebab ia telah menempati sesuatu ruang pada hati manusia. Ketika sahabat itu pergi, ruang itu menjadi hampa dan kosong, sedangkan kosong itu akan selalu cenderung mendengung dengan keras”.
Rasa bersalahku semakin bertamba, kukira aku telah mengenal dengan baik anggota gengku yang satu ini, apatah lagi sejak peristiwa pemukulan waktu itu, aku sama sekali belum meminta maaf padanya. Barangkali seperti inilah ganjaran bagi orang yang selalu saja ringan tangan dalam bertindak, ia akan dijauhi dan dibenci. Disekolah, siswa lain tunduk dan patuh bukan karena segan, akan tetapi agar tidak terlibat lebih jauh dengan kehidupan kami yang penuh kekerasan. Semua orang tertunduk, simpatih, namun hati mereka setiap saat bergerak manjauhi kami.
................
Aku dan anggota geng yang lainnya berkunjung kedusun sesuai dengan arahan yang dikatakan oleh tente-tante berbaju daster dan berbedak setebal satu senti itu. Hampir tujuh jam lamanya kupacu Esscudo milik ayahku. Amat letih rasanya, namun ketika kotak besi yang kukemudi itu memasuki daerah pegunungan, segala letih dibadan dengan cepat terobati oleh suasana alam yang sejuk nan alami. Rasa-rasanya sulit dipercaya ada tempat seindah ini, tersembunyi jauh dipelosok serta belum terjamah oleh tangan-tangan manusia.
Rombonganku tiba disambut oleh wajah orang-orang pedalaman; senyum, ramah, dan santun. Anak-anak pelosok bermain dalam komedi kejar-kejaran. Saat mendatangi sebuah rumah ditengah-tengah bukit, seorang wanita tuah yang tengah mungunyah daun sirih memandu kami menuju sebuah lembah, melewati dua hingga tiga bukit yang lainnya, dan saat berada pada bukit yang terakhir. Dari situlah aku dan kawan-kawanku menyaksikan hamparan sawah yang jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dibawah kaki kami.
Perempuan tua pengunya sirih itu berseruh, serta-merta seseorang menghampiri kami dalam langkah yang cepat, sepasang kakinya amat lincah mendaki bukit yang kami pijaki pujuknya itu. Rasanya sulit untuk dipercaya, orang berotak cerdas dan birlian ini sekarang bukan lagi bermandi ilmu melainkan bermandikan lumpur dan kotoran-kotoran kerbau.
Salah satu betisnya dibabat kain dengan sekenanya saja, ketika kutanya kenapa kakinya dibalut seperti itu ia lantas berkata, jikalau sewaktu memandu kerbau pembajak kaki kirinya itu terpleset dari pelana palang pada mata bajak. Barangkali luka itu amatlah perih dengan begitu aku berencana mengobatinya dengan kabar gembira yang aku antarkan padanya.
Ia amat terkejut ketika kukatakan padanya kalau ia mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan studi diluar negeri. Lantas ia menjadi bingung, sebab untuk empat hari kedepan jasanya telah dikontrak oleh perempuan pengunya sirih itu, membajak sawah-sawah miliknya yang sebentar lagi ditanami. Lantas kuajukan solusi padanya untuk meminta agar kontrak itu dapat ditinjau ulang dan ternyata usulan itu berhasil, namun sebagai konsekuensinya sahabatku ini hanya mendapatkan upah seseuai dengan jam kerjanya sejak dua hari yang lalu, dan ia juga diminta untuk mengembalikan uang lebih yang sebelumnya telah ia terima dimuka.
Saat aku memintanya untuk berpamitan pada ayah-ibunya hari itu juga, lantaran deadline untuk registrasi ulang atas beasiswa yang ia terima tinggal satu hari lagi, besok pukul 14.00 siang. Nyatanya kawan kami ini adalah seorang yatim-piatu, ibunya gugur saat berjuang melahirkan kawan kami ini dahulu, dan ayahnya pun telah wafat lima tahun yang lalu. Jadinya, kami hanya berpamitan pada paman dari keluarga ibunya. Letak rumahnya kebetulan persis disamping rumah kawanku itu. Seakan-akan kedua rumah itu handak bersanding dalam suatu pelaminan.
Saat kutanya atas sebab apa ia mampu melanjutkan studi hingga ke jenjang sekolah menengah. Dengan menjual sawah warisan ibu-bapaknya katanya. Sawah yang ia bajak beberapa saat yang lalu, tambahnya lagi.
Maski badan amat letih, namun aku tetap memacu mobil sambil beberapakali siff dengan Dalo yang kebetulan cukup pandai menyetri mobil. Lagi pula, kapan lagi ada kesempatan untuk melakukan hal-hal yang lebih berarti seperti ini.
Aku memecah tabunganku, ternyata kelakuanku itu ditiru oleh kawan-kawanku yang lain; Dalo, Basir, Anas, Rudi, dan Lias. Mereka melakukan hal yang sama, seperti tidak mau kehilangan peran masing-masing. Jumlah yang terkumpul tidaklah seberapa, namun kulihat teman-temanku itu amat berbeda perigainya ketimbang sebelum-sebelumnya. Mungkin memeng sudah saatnya bagi kami untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti ketimbang sekedar hura-hura saja. Barangkali sudah terlampau terlambat, tapi lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali.
Selama empat hari menunggu jadwal pemberangkatan, waktu yang singkat itu tidak lagi kami gunakan untuk ribut-ribut dan bersendagurau seperti biasanya. Entahlah, kawan-kawanku menjadi lebih pendiam ketimbang biasanya, aku sendiri baru menyadari itu ketika ayah dan ibuku menegur kelakuan kami yang tidak biasa itu. Adik perempuanku yang paling tua tampak sangat senang sebab ada tamu berkunjung dan menginap dirumah, sikap feminim kini semakin menonjol padanya.
.................
25 tahun kemudian, tepatnya disebuah gubuk dipinggir kota........
Dulu, aku sudah menyangka. Suatu saat ia akan menjadi orang yang hebat, namun tidaklah pernah sekalipun aku menyangka jikalau ia akan menjadi sehebat seperti sekarang ini.
Dulu pula, ketika kami asyik pacaran ia justru bernostalgia pada forum-forum diskusi. Ketika kami terkapar dalam tidur, ia terkantuk-kantuk dihadapan buku seperti hendah malahap buku-buku itu tanpa sisa. Muda-mudi lain bersenda gurau, ia justru bersusah-susah berkenalan dengan formula-formula ilmu alam. Muda-mudi seusianya hura-hura, ia justru bermandi peluh untuk menyambung hidup, memanggul barang-barang yang beratnya berkilo-kilo, setelah itu pemiliki kedai kelontong mengupahnya dengan beberapa perak saja. Ketika siswa-siswi sibuk memilih aneka jajanan dikantin, ia sendiri rela bersakit punggung membolak-balik buku-buku lama pada deretan toko loakan tuah, pengap, dan berbauh debu. Teman-temanku bersepakat memanggilnya kutu, sebab hampir semua buku hendak dilahapnya.
Hingga pada acara-acara ulang tahunpun selalu saja ada kaitan dengan buku, hal itu kuketahui saat pesta ulang tahunku digelar meriah disalah satu kafe yang pintu dan tangganya berhadapan langsung dengan bibir pantai dipinggir kota. Bingkisan yang ia berikan sebagai kado ulang tahun untukku saat itu adalah sebuah novel. Berkisah tentang perjuangan hidup haru-membiru seorang perempuan cerdas peraih penghargaan Nobel duakali semasa hidupnya. Ayah dan ibuku juga mendapa hadia yang sama untuk ulang tahun mereka, bahkan dua adik perempuankupun tidak ia beda-bedakan. Anggota geng yang lainnya juga bernasib sama. “Buku adalah harta paling berharga yang aku miliki”, Setelah berkata begitu, tak seorangpun lagi dari kami mau menyinggung-nyinggung soal kado berisi buku untuk ulang tahu masing-masing. Meski sangat aneh dan menggelikan, tapi begitulah kira-kira kawanku itu memberi respek pada orang-orang disekitarnya.
Dia bilang amat prihatin atas apa yang menimpa ayahku baru-baru ini. Tapi kukatakan padanya bahwa “Manusia-manusia korup sudah sepantasnya untuk dikandangkan saja, dengan begitu penyakitnya tidak akan menular kemana-mana”.
“Apa kau datang kemari hendak membawaku juga?”. Aku iseng saja bertanya seperti itu padanya.
“Kukira amatlah tidak bijaksana menimpahkan kesalahan seseorang pada anak-anaknya. Lagipula, ayahmu hanyalah korban dari kebiasaan buruk yang telah dianggap biasa dan lumrah oleh generasi semasanya”.
“Masa muda poya-poya, masa tua kaya-raya. Nyatanya hanya sekedar ungkapan utopis semata”. Ia tersenyum padaku dan berkata jikalau aku ternyata belumlah lupa dengan ikrar cita-cita yang dulu pernah kami sumpahkan. Kutanya ia perihal cita-cita menjadi guru. Ia tersenyum lantas berkata “Pendidikanlah yang mempu memanusiakan manusia. Kerja keras dan bersungguh-sungguh pastilah akan membawa seseorang pada hasil”.
Engkau memang seorang guru sejati!. Namun ia menepis anggapanku itu dan berkata “Tiap-tiap kita adalah guru bagi yang lain, dan tiap-tipa kita pula adalah murid bagi yang lain. Sekali kau menolong orang tanpa pamrih, tak akan luntur kebaikan yang kamu bagikan pada orang itu”. “Selamat Ulang tahun kawan”. Itu ungkapan terakhir yang ia ucapkan padaku sebelum berpamitan. Sebuah bingkisan ia tinggalkan untukku, saat kubuka. Isinya masih tetap seperti dulu....Buku.
Beberapa saat kemudian, warga kampung berbondong-bondong mendatangi rumahku dan bertanya perihal. Betulkah presiden yang baru saja terpilih itu mendatangi rumahku beberapa saat yang lalu? Aku mafhum mengapa mereka bertanya-tanya demikian padaku, wajah-wajah itu seakan-akan hendak berkata; Mana mungkin orang nomor satu itu mau mendatangi gubuk paling miskin didusun ini. Lantas kukatakan pada mereka jikalau orang yang datang bersama lusinan pengawal beberapa saat yang lalu, tak lebih dari sekedar anggota Gengku. “Geng Komunitas 58” kataku.
Warga tertawa terbahak-bahak dan meninggalkan rumahku yang sepi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar