Selasa, 31 Mei 2011

Menghargai Karya Anak Bangsa


Sebetulnya ada apa dengan pola fikir kita dewasa ini?. Kita mengenal berbagai merek produk-produk terkenal dunia semisal ; Nike, Reebok, Adidas, Gap, Old Navy. Dan, dengan begitu bangganya kita berburu produk-produk (Made In USA/UK) tersebut. Padahal, jika selidik punya selidik, produk-produk tersebut justru diproduksi dalam negeri sendiri. Konon, hanya labelnya saja yang (Meda In USA/UK).

Diluar negeri, semisal negara-negara Eropa Barat. Merek-merek yang saya sebutkan diatas dan berlabelkan Made In Indonesia dijual dengan harga fantastis. Sementara didalam negeri, buruh-buruh pabrik diupah dengan sangat rendah.

Untuk sepasang sepatu olahraga dijual dengan kisaran harga Rp 1,4 juta, sementara buruh domestik hanya mendapatkan sekitar 5.000 perak dari harga jual itu.

Barangkali kemiskinan yang mendera menjadikan masyarakat indonesia terpuruk dan rela bekerja apa saja untuk mendapatkan penghidupan, meski penghidupan tersebut sangat jauh dari penghidupan yang layak. Dalam hal ini, kontraktor-kontraktor perusahaan asing yang beroperasi dalam negeri,  mempekerjakan buruh domestik dengan upah yang sangat rendah untuk memproduksi merek-merek terkenal dunia. Lantas, menjual produk-produk tersebut dengan harga yang tinggi lewat kekuatan jaringan bisnis trans-nasional yang cenderung monopilistik.

Rendahnya apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa menjadikan kondisi semacam ini terus saja menjadi permasalahan yang berlarut-larut dan tak kunjung terselesaikan. Sekedar contoh saja, soal betapa mengenaskannya apresiasi terhadap karya anak bangsa; Tiger Wood pe-golf profesional dunia itu. Cuman sekedar mempromosikan merek Nike pada dunia, tapi Tiger Wood mendapatkan bayaran yang jauh lebih tinggi ketimbang jumlah upah yang diterima oleh keseluruh buruh domestik yang memproduksi produk-produk Nike di Indonesia.

Lantas, kapankah kemandirian bangsa itu dapat terwujud?. Sementara jutaan anak bangsa terjebak sebagai kuli kasar dengan upah ala kadarnya (sekedar cukup untuk  menyambung hidup) bagi setiap karya-karya terbaik mereka. Tak ayal lagi, bagi sebagian anak-anak bangsa jenius ini, yang memiliki wawasan global yang cukup memadai, memilih untuk migrasi ke negara lain demi mendapat penghidupan yang lebih layak.

Fenomena Brain Drain (Migrasinya orang-orang jenius dari suatu daerah/negara) yang melanda negeri ini disebabkan oleh tidak adanya supporting system yang memadai. Karya-karya anak bangsa  terpinggirkan dan putra-putri bangsa yang jenius tidak mendapat ruang yang memadai untuk berkarya demi bangsa dan negerinya.

Sekedar berkaca pada  PT.  Dirgantara yang dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat (4/9/07), baru berselang sebulan kemudian, keputusan itu dicabut kembali (24/10/07) dan PT. Dirgantara pun beroperasi kembali, hanya saja tidak dengan sokongan modal yang memadai seperti sebelumnya. Saat ini, industri strategis tersebut mengalami nasib “tak enggan mati dan tak enggan hidup” .

Padahal, semenjak tahun 2000, PT. Dirgantara menunjukkan kinerja yang cukup baik. Sudah banyak pesanan dari luar negeri seperti Thailand, Malaysia, Brunei, Korea, Filipina dan lain-lain. Alhasil, karena tidak adanya dukungan sporting system yang jelas, banyak dari serikat pekerja (tenaga ahli) melarikan diri keluar negeri dikarenakan oleh tidak adanya jaminan penghidupan yang layak didalam negeri. Kini tenaga-tenaga ahli tersebut tersebar diberbagai negara seperti Amerika, Jerman, dan negara-negara lain yang maju dibidang industri teknologi.

Membangun Sporting System yang memadai
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan ekonomi perlu meninjau ulang sistem kebijakan investasi domestik yang ada saat ini, selain itu pemerintah juga perlu menganut politik-ekonomi yang membuka ruang-ruang apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa.

Ruang apresiasi yang saya maksudkan dalam hal ini ialah; setiap investor asing yang hendak atau sedang beroperasi di Indonesia semestinya diharuskan untuk menggunakan tenaga-tenaga ahli domestik. Bahkan jika perlu, transfer teknologi sesuai yang diamanatkan dalam Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) segera direalisasikan. Dengan begitu, bukan hanya sekedar menghidarkan negara dari kompetisi pasar global yang tidak adil, tapi sekaligus menggali dan memberdayakan potensi  ekonomi dan sumber daya manusia (SDM) domistik.

Kebijakan semacam inilah yang menjadi kunci kesuksesan pembangunan ekonomi China dewasa ini. Negara-negara sedang berkembang dewasa ini banyak yang tercengan oleh dampak dari implikasi kebijakan investasi dan politik-ekonomi yang memberdayakan masyarakat lokal (China). Saat ini, hampir semua merek komputer terkenal dunia berlabelkan Made In China. Perusahaan komputer raksasa semisal; DEL, Toshiba, Acer, dan berbagai merek terkenal lainnya kini semuanya diproduksi di China dengan memberdayakan masyarakat lokal sebagai tenaga ahlinya. Dipasaran domestik, semua merek komputer yang kini diperjual-belikan berlabel Made In China.

Menggali Potensi Bangsa
Saat ini, jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta. Menurut proyeksi BKKBN pertumbuhan jumlah penduduk domesti berpotensi untuk mengusur Amerika sebagai urutan ketiga Negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Sekitar 16% dari jumlah tersebut hidup dalam kemiskinan diatas tanah subur dan potensi alam yang melimpah.

Siapa pun tahu, jumlah penduduk sebanyak itu adalah keniscayaan atas potensi pasar (potensi ekonomi). Dalam hal ini, potensi dasar telah kita miliki SDM maupun SDA, tinggal bagaimana mengelola potensi itu sehingga tercipta suatu kemandirian.

Kemandirian yang saya maksudkan disini adalah: putra-putri bangsa mendapat ruang apresiasi atas segala karya inovatifnya, sekaligus mendapatkan penghidupan yang layak. Tidak lagi menjadi kuli yang harus bekerja ekstra demi penghidupan yang sekedar ala kadarnya (sekedar menyambung hidup).



Referensi
1.       The New Rulers of The World, A Special Report by Jhon Pilger. Film Dokumenter
2.       http://id.wikipedia.org/wiki/Dirgantara_Indonesia
3.       http://berita.kapanlagi.com/tekno/ri-minta-isu-transfer-teknologi-lebih-diperhatikan.html
4.       http://en.wikipedia.org/wiki/Agreement_on_Trade-Related_Aspects_of_Intellectual_Property_Rights


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Labels