Jumat, 16 Oktober 2009

Rapuhnya Nasionalisme Kita

Oleh; Sam-ka
Berdirinya Indonesia ditopang oleh; budaya, etnis, suku, bahasa, ras, dan agama yang beragam. Mencermati kondisi yang ada saat itu, maka para founding fathers menetapkan Pancasila sebagai landasan ideologi dan perekat dalam berbangsa/bernegara, agar pertalian itu tetap erat dan merekat maka ditumbuhkanlah rasa cinta (Nasionalisme). Dengan harapan, rasa itu mampu berfungsi sebagai jembatan atas segala perbedaan dan keragaman yang ada, secara adil dan tentunya secara damai pula.

Sejak berdirinya bangsa/negara Indonesia hingga sekarang, beragam tantangan, hambatan, dan bahkan hantaman langsung terhadap tali perekat itu datang silih berganti. Dunia kesejarahan Indonesia mencatat berbagai konflik kelam, bagaimanapun kita generasi sekarang sangat menyayangkan adanya komplik-komplik tersebut. Namun dibalik dari itu semua, ada pelajaran penting yang seharusnya mampu kita garis bawahi secara menonjol, sehingga pelajaran itu tidak terus-terusan berlalu dan terlewatkan begitu saja.

Akar Nasionalisme Kita Hendak Membusuk!
Nasionalisme (Rasa memiliki/Cinta tanah air) merupakan ekspresi suatu individu, kelompok, dan segala elemen yang ada dalam suatu kesatuan bangsa/negara.

Mengapa rasa cinta itu muncul? Atau begini saja, mengapa ketertarikan setiap orang berbeda-beda terhadap benda-benda materi maupun non-materi yang ada disekelilingnya?. Ada yang amat cinta kepada boneka dikamar tidurnya sehinnga setiap mau tidur harus didampingi oleh boneka tersebut. Ada yang amat cinta pada motor, tiap hari terus saja dilap sampai mengkilat. Atau seorang pencinta sejati rela menaklukkan hujan, rela kuyup diguyur hujan, dan rela menderita flu demi cinta sejatinya.

Oleh karena ini adalah persoalan rasa, maka rasa itu kadang kurang dan kadang berlebih. Jika seorang pecinta tadi memiliki rasa yang terlalu berlebihan pada pasangannya maka psikologi sebagai disiplin ilmu menyebutnya posesif. Jika kurang, maka disebut tidak perhatian (careless). Hal seperti itu juga dapat saja terjadi pada sikap nasionalisme yang dianut masyarakat Indonesia saat ini. Paham persatuan, ideologi Pancasila sebagai perekat, dan tentunya nasionalisme itu sendiri dapat saja digantikan oleh semangat individualisme, partikularisme, dan semangat desintegrasi. Terlebih lagi bangsa indonesia sangatlah heterogen dan teritorinya terdiri dari ribuan pulau.


Pada aspek lain. Berkembangnya nilai-nilai impor dan runtuhnya nilai lokal akibat arus globalisasi, adopsi nilai yang tak terhindarkan, terutama banyak terjadi dalam percaturan ekonomi dan politik, dan itu terjadi secara besar-besaran sejak pasca ORLA. Dulunya, ORLA menutup diri secara berlebihan dan hampir 100% anti asing, ternyata anti asing juga tidak memecahkan perkara dalam negeri, khususnya perkara ekonomi. Tragedi tahun 65’ muncul untuk menjawab tantangan kegagalan politik-ekonomi ORLA, namun yang terjadi ORBA mengalami nasib yang sama naasnya dengan orde yang ia gulingkan sebelumnya.

Tahun 1965 dan 1998. Mengapa kemarahan masyarakat begitu mencuak kepada pemerintah yang notabebene sebagai simbol pelaksana dan penegak Pancasila, penjaga keamanan dan ketentraman, dan tentunya regulator hukum agar warga (individu/kelompok) tidak mengalami kezaliman dan tindak sewenag-wenang dari individu, komunitas, atau kelompok lain.

Kemiskinan tidak pernah usai dientaskan, pengangguran, angka putus sekolah yang terus meningkat, perlakuan tidak manusiawi terhadap buruh, petani terus saja menjerit-jerit. Sementara itu disisi lain, perusahaan trans-nasional menggurita dan mencengkramkan akarnya ditanah pertiwi. Masyarakat hidup dinegara yang kaya namun bangsa lain yang kaya, sedangkan rakyat yang semestinya berdaulat melarat dinegeri sendiri.

Kekecewaan Berbuah Krisis Kepercayaan (Sinisme)
Papua adalah cerminan paling konkret dalam persoalan ini. Jika selama ini Indonesia didengung-dengungkan sebagai negara kaya dari segi sumberdaya alam. Namun agaknya Papua mengalami “pengecualin” dalam hal ini.

Selama ini orang Papua selalu saja diasosiasikan dengan “Koteka” dan kita menjadi sangat bangga dengan gelar unik itu, imbasnya faktor ketertinggalan yang mereka alami menjadi tersamarkan. Khususnya dijaman ORBA dan barangkali hingga saat ini, politik identitas masih saja menjadi senjata utama untuk mengaburkan ketidak becusan pemerintah dalam mengurusi rakyat.

Faktanya, orang-orang Papua selalu saja diasosiasikan dengan orang-orang tak berbaju, dan ujung-ujungnya adalah konklusi bahwa; orang Papua tidak suka baju, lebih suka pakai koteka saja.

Saat RUU Pornografi pertama kali muncul dan hendak dibahas diperlemen, isu tentang keunikan budaya Papua sangat gencar disorot oleh media, pemirsapun terdecak kagum betapa Indonesia sangat kaya budaya. Tapi sangat disayangkan, khususnya untuk persoalan Papau, kita telah gagal menangkap inti persoalan yang paling mendasar dan justru tersihir oleh “bahasa unik” yang notabene mampu meningkatkan reting kebanggaan kita.

Kesalahan dalam berlogika.
Bagaimana mungkin kita dengan bangga berkata “unik”, padahal nyatanya orang Papua tidak memakai baju dikarenakan mereka memang benar-benar tidak memiliki kain untuk sekedar dililitkan pada tubuh mereka. Sekedar perbandingan untuk menyegarkan pikiran. Misalkan saja, Jakarta sebagai kota metropolitan atau ambillah contoh kota-kota lain yang sebentar lagi hendak menyusul kemegahan Jakarta. Apa yang kita temukan pada kota-kota itu, semua orang memakai baju. Tidak ada pengecualian, kecuali orang gila dan saya dan pembacapun amat yakin bahwa, semua orang tidak senang diasosiasikan dengan orang gila, dan lagi-lagi pengecualian yang ada adalah hanya orang gila saja yang tetap tertawa dan bangga dengan gelar gilanya.

Apa yang biasanya kita jumpai dalam keseharian pada kota-kota besar seperti; Jakarta, Bandung, Jogja, dan kota-kota lain dibelantara nusantara. Dalam hal ini, persempitlah sudut pandang sejenak agar dapat terfokus. Fokuskan perhatian pada ras Afronesia itu. Orang Papua, khususnya para pelajar yang tinggal dan menetap dikota-kota semisal Jakarta dan kota-kota pendidikan lainnya. Jumlah mereka tidaklah sedikit, tapi dapatlah dipastikan bahwa mereka juga berasal dari suku-suku pedalaman di Papua sana, dan sebelumnya meraka adalah bagian dari orang-orang yang selalu kita asosiasikan dengan koteka atau tanpa baju. Faktanya; “tidak satupun dari mereka yang anti pakaian alias tidak memakai baju”. Dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan bagaimana harus menghargai budaya dan norma-norma setempat.

Atau misalkan saja begini, biar pikiran kita jauh lebih jernih lagi. Bagi mereka yang pernah ke Papu; menetap untuk hidup, sekedar bersingga, atau entah untuk keperluan apalah. Masihkah ditemukan manusia-manusia tanpa baju “koteka” pada kota-kota yang relatif lebih maju di Papua?. Beda misalkan jika berkunjung kepedalaman yang sama sekali belum tersentuh akses ekonomi dan pendidikan.

Politik identitas.
Tulisan ini sejatinya tidak bertujuan untuk memprofokasi pihak manapun, namun penulis juga sadar dengan sepenuhnya bahwa contoh yang penulis paparkan diatas sangat potensial untuk memunculkan benih-benih konflik. Sementara itu, pada saat yang sama. Persoalan bangsa semakin pelik saja akhir-akhir ini.

Terlepas dari sejumlah kerumitan-kerumitan yang ada. Kebenaran haruslah tetap diungkap, sebab lewat pemahaman yang benar, seseorang akan cenderung melahirkan sikap dan tindakan yang benar. Dan demikian pula sebaliknya, pemahaman yang salah cenderung menggiring seseorang pada sikap dan tindakan yang salah pula.

Tragisnya jika pemahaman yang salah tersebut berhadapan langsung dengan masalah kebangsaan saat ini, maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami masalah. Jika itu terjadi pada ranah para pemangku kebijakan, maka lahirlah kebijakan yang salah kaprah dan salah sasaran, alih-alih menyelesaikan masalah, justru dengan kemunculannya masalah menjadi tambah rumit.

Menyinggung soal Politik Identitas. Kota Jakarta dengan segala kemajuan dan kemegahannya menjadi potret sebuah rezim ekonomi dan politik. Jakarta yang selama ini muncul dimedia bersama sihir kemegahannya, nyatanya mengubur sisi-sisi lain yang sama sekali bertolak belakang dengan simbol metropolitan yang selama ini disandangkan padanya. Kemiskinan, gembel jalanan, kemacetan, banjir, dsb.

Mengapa tidak sekalian gembel-gembel jalanan dan pemukiman-pemukiman kumuh kita asosiasikan juga dengan kata “unik”. Dengan begitu reting kebanggaan kita semakin meningkat lagi. Apakah karena kata unik tidak cocok untuk disandingkan dengan kota sekaliber Jakarta?. Apa kata unik yang sama pula harus disesuaikan dengan geografis tertentu?. Ataukah, kata unik itu memang sudah diperhususkan untuk golongan, etnis, dan suku tertentu saja?.

Persoalan lain. Mengapa label sampah kota amat erat kaitannya dengan gembel jalanan, pemukiman kumuh dikolom jembatan dan pinggir-pinngir kali diperkotaan?. Jadinya membersihkan mereka sama halnya dengan membersihkan sampah. Apa sebabnya, kata unik sama sekali tidak cocok untuk perkara yang satu ini? Padahal dengan mengasosiasiakn mereka dengan kata unik, Jakarta maupun kota-kota lain yang ada dinusantara justru akan semakin bertambah seksi dimata publik.

Kita semua tahu. Orang Papua, orang Jakarta, maupun orang-orang dikota-kota lain dalam lingkup nusantara, kesemuanya itu sama-sama orang Indonesia juga. Bedanya, yang satu tinggal dihutan belantara, dipinggir kali dan kolom jembatan, sedangkan yang laginya lagi barangkali tinggal digedung pencakar langit.

Di Papua, koteka dilestarikan untuk menutupi ketidak mampuan dalam membangun akses yang selaras, sedangkan di Jakarta dan kota-kota lainnya gembel dan pemukiman kumuh diberantas. Diberantas bukan dalam artian tanda kutip, tapi benar-benar diberantas sesuai dengan makna hakiki kata itu. Ironisnya, setelah pemberantasan itu usai, bermunculanlah gedung-gedung pencakar langit.

Jika Papua terlampau jauh sebagai contoh. Isenglah bertanya pada gembel-gembel jalanan, mengapa mereka berpakaian compang-cangping dan seadanya saja?. Akhir-akhir ini, kita sering-sering menyinggung soal martabat bangsa. Tapi dengan bahasa apa?, agar martabat itu dapat tersampaikan bagi mereka yang selama ini diperlakukan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan bermartabat.

Kekecewaan Politik “Politik Kecewa”
Jangan heran jika Pilpres 2009 sepi dari apresiasi masyarakat, padahal pemilu sebelumnya mencatat rekor sukses dengan angka pemilih menghampiri 80% dari total penduduk nasional. Perkara Pilkada diberbagai daerah, nasibnya tidak jauh berbeda. Golput menang mutlak, meski sebelumnya telah ada fatwa yang mengharamkan golput. Ibarat; anjing menggonggong, kabilah terus berlalu. Pertambahan angka golput seakan-akan mau mencetak rekornya sendiri.

Atas sebab apa? lahir pengabaian dari masyarakat, dan pengabaian itu tidaklah tanggung-tanggung, tidak hanya mengarah pada institusi-institusi (daerah) tertentu yang ruang lingkupnya kecil dalam percaturan sosial, politik, dan ekonomi. Tetapi langsung menuju pada jantung persatuan (institusi negaran). Negara, khususnya rezim pemerintahan telah kehilangan daya tariknya dimata masyarakat.

Sudah menjadi pemahaman umum. Demograsi, tumpuan utamanya adalah rakyat. Ketika rakyat menyatakan diri ogah-ogahan dalam artian kasar tidak berpartisipasi dalam momentum politik seperti Pilpres/Pilkada. Sebetulnya rakyat tidak sedang menghindarkan diri dari politik saat itu, melaikan mereka sedang berpolitik. Berpolitik untuk tidak dikecewakan, sebuah keputusan politik yang lahir atas dasar kekecewaan politik yang terus saja berlarut-larut tampa penyelesaian. Salahkah jika rakyat bersikap demikian?

Persoalannya ada pada tubuh rezim pemerintah, pemerintah dan politikus sebagai faktor penentu arah perpolitikan bangsa tentunya yang paling berhak untuk menjawab persoalan ini. Namun penekanan yang perlu diingat, Jika persoalan krusial itu terus saja dibiarkan berlarut-larut, maka ramalan akan datangnya bencana terhadap sistem domograsi yang dianut sekarang ini barangkali benar-benar akan terjadi.

Sungguh sangat ironi. Pada satu sisi masyarakat diajak untuk cinta dan loyal secarah pamrih pada bangsa dan negaranya. Namun disisi lain, imbal balik yang mereka dapatkan hanyalah kekecewaan semata, aspirasi politik mereka hanya didengar saat hendak berkampanye. Dengan demikian, masyarakat terdorong untuk mencari tatanan nilai baru, kalau perlu membuat tata nilainya sendiri, dan barangkali tata nilai itu tidak menutup kemungkinan berhadapan langsung dan siap berhantaman secara frontal dengan semangat dan nilai-nilai persatuan yang telah sejak lama bangsa ini pupuk dengan susahpaya.

Lahirlah akspresi dan tindakan spontan masyarakat sebagai respon terhadap perjalanan roda pemerintahan yang mengarah pada praktek disfungsi, korup, dan terdistorsi dari nilai persatuan itu sendiri. Agaknya, analisis ini terlalu berlebihan, namun dengan cara apa seharusnya kita menjelaskan malapetaka yang akhir-akhir ini semakin sering muncul dan sangat potensial dalam menggerogoti persatuan dan keutuhan bangsa. Saya yakin, kita semua mafhum bahwa; Tuhan tidaklah zalim seperti yang selama ini kita kira.

Pilpres/Pilkada sepatutnya dapat dipahami sebagai media paling menonjol dan mampu secara langsung mengukur tingkat kekecewaan politik dimasyarakat. Golput sebagai wujut “Politik Kecewa” sejatinya memang patut untuk diwaspadai. Sebab, meski wujutnya masih berupa benih, namun jika benih potensial itu bersentuhan dengan tanah nusantara yang notabene subur-makmur, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertumbuh, berurat-berakar dalam tubuh bangsa/negara. Tongkat dan batu saja bisa jadi tanaman, apalagi jika itu adalah benih unggul dan subur. Tidak lama lagi akan lahir bangsa baru, Bangsa Kecewa.

Nasionalisme ataukah Posesifisme
Pada rezim reformasi, OTODA muncul sebagai jawaban atas ketimpangan dan ketidak adilan kususnya dibidang ekonomi yang terjadi selama ORBA berkuasa. Persis seperti gaya ORBA melahirkan rezim pembangunan sewaktu usai menggulingkan ORLA, barangkali muatan suptansinya berbeda. Namun, fakta menunjukkan bahwa ternyata semangat OTODA cenderung kebablasan. Nasionalisme tidak lagi menjadi semangat bersama melainkan tergantikan oleh partikulareime akut, cenderung tertutup dalam bersikap, dan pragmatisme serta posesif dalam berekspresi menurut lingkup kakuasaan masing-masing (raja-raja kecil). Daerah dan pusat bertengkar. Daerah menuduh pusat pelit dan terlalu mendikte, sedangkan pusat ikut-ikutan terpancing dan terjerumus kedalam komplik kepentingan pemotongan kue ekonomi.

Jika pada bagian awal tadi disinggung soal rasa, maka disini! “Marilah kita menyoal rasa yang ada diantara kita”. Tentunya pertautannya adalah nilai-nilai kebangsaan, sebab kita memang sama-sama berbangsa dan bernegara satu (Indonesia). Bahasa ibu bolelah berbeda-beda, tapi tetaplah kita satu dalam bahasa kebangsaan.

Tes pertama; “Indonesia Raya”, lagu ciptaan W.R, Supratman. Masihkah ada penghayatan. Atau tergetarkah dada kita ketika mendengar syair pemersatu itu. Tes kedua; “Merdeka”. Samakah rasa yang ada diantara kita?. Antara; “Saya sebagai seorang pelajar dan anda barangkali adalah seorang pelajar pula, atau mungkin anda adalah petani, guru, budayawan, buruh, PNS, jurnalis, seniman, aktor, konglomerat, saudagar, olahragawan, nelayan, polisi, ABRI, dan apapun anda”. Apakah rasa itu masih tetap sama dengan rasa yang lalu-lalu?. Maksud saya; Rasa yang diwariskan oleh para leluhur dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Tes selanjutnya adalah; Introspeksilah pada diri masing-masing.

Penyakit dan Upaya Penyembuhan/Penyadaran
Inti penyakit bangsa ini sejak diprolamirkan hingga pada masa sekarang sebetulnya hanyalah satu; Kekecewaan. ORLA berhadapan dengan kontra-revolusi (orang-orang kecewa), ORBA berhadapan dengan subpersif (orang-orang kecewa), dan Reformasi berhadapan dengan ancaman disentegrasi bangsa dan barangkali juga dengan ancaman terorisme (orang-orang yang kecewa pula). Toleransi tidaklah cukup, sebab tiap-tiap kita tidaklah ingin manjadi bagian dari orang-orang yang ditolerir terus-menerus.

Karena kekecewaan itu terus saja dibiarkan belarut-larut, maka persoalan menjadi semakin rumit dan kompleks. Atau mungkin saja, selama ini kita memang terlalu takut untuk bekata jujur karena persoalannya tak ingin mengecap rasa pahit. Terkadang rasa pahit memang harus dirasakan supaya ada nilai penghayatan dan pembelajaran padanya.

Pemerintah, adalah tumpuan utama dalam menjawab persoalan ini, dan tentunya segala institusi yang ada semisal gerakan moral keagamaan, tokoh adat, serta lembaga-lembaga yang konseren terhadap isu-isu nasional diharap tidak sekedar berpangkuh tangan dan memilih menajdi penonton saja.

Masyarakat harus dicerdaskan!. Harga mati yang tak boleh ditawar-tawar lagi, terutama paham persatuan dan kesatua bangsa harus terus menerus dipupuk. Kita harus sadar diri, bangsa ini adalah bangsa paling heterogen didunia. Tentunya, karena kekayaan perbedaan dan keragaman yang ada, maka butuh penyesuain-penyesuaian yang banyak pula, tidak terkecuali untuk urusan politik, ekonomi, hukum, dan segala tata nilai penopang keutuhan berbangsa dan bernegara.

Keberagaman harus terus dikaji secara komperhensif, mendalam, dan berkelanjutan. Nasionalisme ibarat bahasa cinta, namun betapapun indahnya, tidaklah serta-merta cukup untuk mengobati kekecewaan yang terjadi selama ini. Tantangan nyatanya; Studi keilmuan yang spesifik mengarah pada “Studi khazanah nilai dan kultur lokal” diperguruan tinggi, nampaknya sepi-sepi saja hingga saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Labels