Oleh: Sam-ka
Suatu senja, ketika langit sore yang merona berganti dengan gelap, menjalar dengan cepat keseluruh daratan disebelah timur. Alam menggulung terang, berganti gelap dalam kurun waktu yang singkat. Lampu-lampu disetiap rumah-rumah berkadip-kedip untuk pertama kalinya hari itu, mula-mula seperti nyala kunang-kunag dari kejauhan, berselang beberapa saat kemudian, lampu-lampu itu berpijar laksana gugusan bintang dimalam hari pada pertengahan musim kemarau.
Kota menjadi sangat menawan dalam balutan malam dan embun tipis yang berpadu dengan sinar-sinar mungil dari ribuan bola kaca yang menebar pijar keseluruh pelosok kota. Tiang-tiang lampu antik peninggalan rezim yang telah lampau menggantung bola-bola cahaya itu menyusuri jalan protokol, memanjang menyerupai sungai cahaya yang menghubungkan sisi barat dan sisi timur kota. Kota tua yang menyimpan banyak kenangan. Kenangan antara pribumi dan para penjelajah samudra dari arah barat kota, orang-orang dengan kebiasaan hidup menjarah dan menjarah.
Lalu lintas tampaknya lancar malam ini.
Sambil menghisap dalam-dalam sepuntung rokok untuk menghangatkan badan, sosok itu bergerak menuruni lereng bukit dibantu dengan nyala api kecil yang bersumber pada korek bermerek impor kesayangannya. Hampir sebulan sekali ia mengunjungi tempat-tempat yang berdaratan tinggi untuk melepas segala penak yang mengisi rutinitas sehari-harinya yang padat dengan aktifitas.
Kadang-kadang ia mencelah diri sendiri atas segala rutinitas hidupnya yang cukup membosankan, kerja keras demi penghidupan yang lebih layak, tapi setelah yang dicita-citakannya sejak dahulu telah ia capai. Seiring dengan perjalan waktu, sesuatu yang lain justru menghampiri tatkala puncak kejayaan semakin dekat untuk ia raih. Hidup hambar tampa gairah, kehilangan yang tak tergantikan. Seperti itulah kira-kira hidup yang ia jalani saat ini.
“Sial!, hapir seluruh hidupku habis hanya untuk mengejar uang dan uang. Mengejar kemewahan yang sebetulnya hanya perwujudan lain dari kualitas hidup yang murahan”.
Dalam kesal ia terus saja menuruni bukit menuju lereng. Nafasnya tidak beraturan akibat bau lembab tanah serta aroma lumut yang tumbuh liar diatas bebatuan yang tandus menusuk-nusuk kedalam hidungnya, bau seperti itulah yang paling ia benci. Bau busuk tanah seakan berkata padanya jikalau maut telah semakin dekat hingga kedalam ubun-ubunnya. “Sebentar lagi!, dan pasti akan datang, mungkin dalam waktu yang tidak begitu lama lagi, tubuhnya akan terbujur kaku, sekaku peti mati yang akan menghantarkan dirinya ketanah peristirahatan. Barangkali telah ada belatung yang menunggunya disana”.
Betapa sendirinya aku!, barangkali tidak seorangpun yang berkabung dengan kepergianku nantinya?.
Sosok itu terus saja menggerutu hingga sepatu bot-nya beberapa kali tersandung pada batu-batu cadas yang tersebar hampir diseluruh rute yang ia lewati, namun pada akhirnya lelah juahlah yang menghantarkan tubuhnya ke-kaki bukit, mendarat tepat disamping jeep hitam miliknya.
Segera saja, hawa dingin yang sedari tadi menerpa kulit pucatnya yang telah mengeriput akibat termakan usia mendesak tubuhnya untuk cepat-cepat menenggelamkan diri kedalam kotak besi itu. Meski Jeep itu sudah sangat tua, barangkali sudah setua dengan usianya sendiri, akan tetapi yang terpenting Jeep tua itu masih sanggup untuk memberikan kehangatan pada tubuh rentahnya, dan mungkin Jeep itulah barang paling berharga yang ia miliki sekarang. Jeep yang penampilannya lebih cocok dikatakan antik ketimbang artistik, dan barangkali pula rangkanya sudah banyak termakan karat.
Beberapa orang jutawan pernah menaksir Jeep-nya dengan harga yang menggiurkan, namun apalah hendak dikata. Jeep itu seakan telah menyatu dengan dirinya, manjadi bagian dari hidupnya. Sebetulnya ia dapat saja menjual Jeep itu dengan harga yang mahal dan membeli mobil baru yang lebih canggih dan tentunya lebih murah harganya. Namun begitulah ia, dan keras kepala mungkin adalah sifat yang paling sulit untuk ia taklukkan.
Pada suatu malam yang lain, malam yang teramat lampau. Barangkali sudah berpuluh-puluh tahun yang telah lalu. Malam itu suasana tampak meriah pada sebuah rumah megah dengan desain bagunan bergaya Eropa-meditarian. Antik dan menawan. Dibawah penerangan lampu yang megah, beberapa pelayan sibuk menjamu para tamu yang datang berbondong-bondong, seperti tak ada hentinya mereka berdatangan. Datang dan pergi, yang pergi selalu saja berpapasan dengan mereka yang baru saja datang.
“Perayaan ulang tahun yang meriah”. Ucap beberapa tamu undangan pada resepsionis yang tampak anggun dengan sunyuman ramah menjamu para tamu.
Mobil mewah tampak tersusun rapi pada pekarangan yang kira-kira luasnya hampir separuh dari lapangan sepak bola. Kemewahan tampak dengan jelas disana, mengundang decak kagum bagi mereka yang kebetulan melewati daerah itu untuk suatu perjalanan dan urusan.
Sehabis bencengkrama dengan tuan rumah, beramah-tamah barang sejenak, mencicipi aneka hidangan. Para undangan akhirnya berpamitan dengan senyum yang mengembang, takjub serta decak kagum atas jamuan yang mereka jumpai pada malam itu.
Beberapa hari sebelum perayaan ulang tahun. Saat itu suasana kompleks sudah mulai sepi, para tetangga telah memadamkan lampu dirumah masing-masing, kecuali lampu halaman depan yang dibiarkan tetap menyala hingga pajar menyingsing keesokan paginya, serta beberapa lampu ruangan yang memang sudah seharusnya tetap menyala.
Tepat ditengah-tengah kompleks, pada sebuah ruangan yang mewah, nampak lukisan-lukisan bernilai seni tinggi bertebaran dalam bingkai yang kokoh disetiap sisi ruangan. Lantai-lantainya sebagian besar terbalut oleh karpet Persia berhiaskan permadani. Tiga set kursi beserta meja tamu dengan model dan keantikan masing-masing disusun mengikuti struktur ruangan yang berbentuk oval dan sedikit agak melonjong dengan berbagai lekukan-lekukan pada tiap-tiap sisi masing-masing, kesan itu sengaja ditimbulkan untuk menghadirkan nuansa kemegahan dalam ruangan itu.
Pada dilagit-langit kamar terpahat seni grafik dan pahat yang begitu rumit, bentuknya melingkar dan menghadirkan kesan akan adanya balkon pada langit-langit ruangan tersebut. Sumber penerangan utama berasal dari gugusan kaca-kaca kristal yang menggantung dalam rajutan yang bertingkat-tingkat, berkilau-kilau dalam cahaya yang bening. Dari balik kilauan itulah, tersembunyi logam-logam kuningan yang menjulur kesegala arah sebagai tangkai tempat bergelantungan bagi buliran-buliran kristal kecil yang jumlahnya mencapai ratusan bulir itu. Bagai sarang tawon yang menggantung anggun tepat ditengah-tengah seni pahatan pada langit-langit ruanggan. Diantara kemewahan yang tersaji itulah, nampak dua sosok yang sedang terlibat dalam percakapan serius.
Asuransi tak ubahnya bertaruh!, mengundi nasip. Kau tahukan?, mengundi nasip itu haram hukumnya dalam agama.
Iya, tapi tolong dengar penjelasanku sebentar!
Ah masa bodoh. Capek aku membahas persoalan-persoalan yang tidak penting seperti itu.
Dengan sebuah ayunan yang keras, tangan kanan Makhrus mendepak bahu istrinya sehingga tersungkur kearah belakang. Untungnya sebuah kursi empuk menadah tubuh Diana yang terjatu akibat keget dan kehilangan keseimbangan pada tubuhnya.
Siapa yang bisa mengasuransikan kematian atau nyawa seseorang hah?. Suaminya melanjutkan pembicaraannya tanpa memedulikan keaadaan istrinya yang terjerembab diatas sofa hitam penghias ruang tamu mereka.
Hanya kehendak Tuhan-lah sebagai garansinya. Tuhan tidak akan pernah zalim terhadap hambanya.
Ia, perkataanmu benar adanya. Diana berucap lembut sambil mengusap bintik-bintik air yang menghias pada kelopak matanya. Ia tampak shok melihat kondisi suaminya. Ini kali pertama Makhrus marah padanya, membentak-bentak dalam berbicara. Situasi seperti ini sungguh mengerikan baginya.
Sejak pernikahan mereka 11 tahun yang lalu, kini mereka telah dianugerahi seorang putri yang beberapa hari lagi usianya genap sembilan tahun. Selama itu pula, Makhrus tidak pernah bertindak kasar seperti sekarang ini barang sekalipun. Jika terjadi ketersinggungan paling-paling Makhrus menampakkan ketidak sukaannya dalam diam. – Kehilangan canda dan keceriaannya.
Salma nama putrinya, dan mungkin Salma akan menjadi satu-satunya buah hati untuk pernikahan mereka, sebab setelah melahirkan anak pertamanya itu, dokter kandungan memfonis jikalau kelahiran pertama anaknya mengakibatkan terjadinya lemah kandungan pada rahimnya.
Kau harus berhenti dari kegiatanmu itu!, jangan menjadi istri yang bandel, keras kepala dan, membangkang pada kehendak suami. Silakan kerja apa saja, kau boleh melakukan kegiatan apa saja yang penting bukan sesuatu yang kotor dan menghina agama seperti itu. Itu pun jika kau tidak merasa cukup dengan apa yang aku berikan selama ini.
Istri yang sholeha tentunya bersabar, tabah, dan bersyukur atas apa yang diberikan oleh Tuhan lewat keringat dan kerja keras suaminya. Istri yang baik-baik tidak akan meninggalkan rumah tanpa seizing suami, tidak keluyuran tanpa sepengetahuan suaminya.
Diana tampak menunduk hikmat mencermati perkataan suaminya. Memang benar, apa yang diberikan oleh suaminya selama ini jelas telah lebih dari sekedar cukup adanya. Nafkah lahir dan batin sama sekali tidak kurang, namun sebagai manusia biasa tentunya ia mendambakan sesuatu, sesuatu yang berarti. “Ya, mencari arti dalam hidup”. Mungkin semangat itulah yang bersarang dalam dadanya.
Hidup bermanfaat bagi manusia yang lain, tidak hanya bagi keluarga saja melainkan dengan manusia-manusia yang lain juga, tanpa memandang status dan ikatan tertentu, perasaan seperti itulah yang ia idamkan semenjak dahulu, bahkan sebelum dirinya dipersunting oleh Makhrus ia telah memiliki rasa peduli serta jiwa penolong yang tinggi.
Prihatin terhadap sahabat-sahabatnya yang banyak menghadapi masalah dalam urusan finansial menjadi faktor utama sebagai pemicu meluapnya rasa itu.
Marya salah satu tetangganya mengalami penipuan dalam bisnis simpan pinjam. Nyonya Darmanto, tertipu dengan bisnis MLM gadungan. Mila sahabat karipnya sejak SMU merasa terbebani oleh polis asuransi salah satu perusahaan asuransi ternama, hal itu terjadi dikarenakan ia tidak memahami dengan seksama cara kerja polis yang mengikat dirinya. Jadinya pendapatan suaminya yang mengalami beberapa kali mutasi akibat krisis hampir-hampir tidak mencukupi untuk membayar premi yang telah disepakati sebelumnya. Sangat disayangkan jika polis asuransi itu harus kandas ditengah jalan sebab mereka telah membayar preminya sudah sejak lama. Pada satu sisi, Mila dan suaminya sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan negosiasi ulang dengan pihak perusahaan. padahal jalur seperti itu sudah sewajarnya Mila dan suaminya tempu, namun dasar pendidikan yang terlanjur rendahan menjadikan mereka butuh lebih dari sekedar pendamping dalam urusan seperti itu.
Sebetulnya sudah sejak lama Diana berurusan dengan perkara asuransi, almarhum Ayah dan Ibunya mewariskan harta yang lumayan dan hampir-hampir keseluruhan dari harta tersebut telah bersentuhan dengan asuransi, terutama rumah dan sebuah mobil antik kesayangan ayahnya yang kini menjadi miliknya.
Asuransi jiwa yang ia miliki sebelum menikahpun masih sempat ia bayar preminya beberapa kali pada awal-awal usia pernikahannya, namun hal itu kandas setelah suaminya meminta dirinya untuk berhenti. Sebagai istri yang patuh dan cinta pada suami, Diana secara sukarela meluluskan permintaan suminya itu.
Setelah mendapatkan kehangatan dalam Jeepnya, sosok itu meraih kunci dari saku celananya dan membuka laci mobil yang terletak dibagian depan tidak jauh dari tempat ia biasanya menyetir, mencari sesuatu yang dapat dikunya agar otot-otot rahangnya yang kaku dan mengeras akibat hawa dingin mendapat aktifitas gerak, cara yang efektiv untuk menghangatkan otot yang kaku akibat cuaca dingin.
Beberapa kali ia mencari namun tak satupun barang yang dapat dikunya ia jumpai pada laci mobilnya, disana hanya ada beberapa bungkus rokok kretek dan beberapa selebaran yang telah acak-acakan. Ia sendiri tidak tahu persis atas sebab apa brosur-brosur itu berada dalam laci mobilnya. Satu-satunya yang ia ketahui bahwa selebaran-selebaran itu telah amat sangat lama mendiami laci mobil miliknya, bahkan kertas-kertas itu tampak sudah sangat lusuh dan karatan oleh debu. “Barangkali saja karyawan perusahaan asuransi yang meletakkannya disana setelah menyerahkan kunci Jeep itu sebagai pengganti Jeep istrinya yang hangus terbakar puluhan tahun silam”.
Dipandanginya beberapa brosur yang tergeletak pada laci mobil. Beberapa nama perusahaan nampak disanan, ketika pandangannya berhenti pada sebuah brosur sederhana “AJB Bumiputera 1912” begitulah kira-kira kumpulan huruf yang tercetak menonjol oleh ukuran dan penggunaan warna yang berkarakter terbalik dari background yang tercetak pada brosur itu.
Huruf-huruf itu seakan sudah sangat pamiliar dibenaknya. Ada rasah yang tak dapat ia pahami dan tidak dapat untuk diungkapkan. Sepertinya sesuatu yang sudah sangat lampau. Yah, lampau sekali!. Barangkali sesuatu yang amat berharga pada masa mudanya dulu.
Sejak peristiwa kebakaran yang menghancurkan usaha pergudangannya, membumi hanguskan rumah dan harta bendanya. Istri dan anaknya tercintapun meninggal akibat peristiwa itu. Ia sendiri tidak sadarka diri dan terbangun dengan perban yang membalut disekujur tubuh pada salah satu kamar rumah sakit. Ingatannya banyak menumpul sejak saat itu, nama sendiripun kadang-kadang ia lupa, sampai seseorang yang kebetulan berpapasan menegur dirinya. Makhrus!. Demikian orang-orang sering menyapa dirinya.
Uang memang bukanlah segala-galanya, akan tetapi tanpa kemerdekaan finansial siapa saja akan kehilangan orientasi hidupnya, kehilangan kemerdekaannya, kehilangan idealisme, kehilangan hampir dari seluruh pilihan-pilihan yang ia miliki. Waktu berharga yang dimiliki terbuang secara percuma hanya untuk mengurusi persaoalan-persoalan sepeleh dan semraut yang tentunya sama sekali tidaklah penting kecuali karena adanya suatu desakan. – Tidak jarang berupa paksaan untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Hari ini ia baru sadar bahwa kehendak Tuhan sebetulnya telah berada dalam ketetapan-ketetapan-Nya. Angin pasti akan berhembus, air pasti mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, api pasti akan membakar, termasuk masa depan yang tidak terprediksi oleh manusia juga merupakan bagian dari kehendak dan tentunya ketetpan Tuhan. Poin terpenting bagi manusia sebagai hamba-Nya adalah membaca ketetapan-ketetapan itu secara jeli. Belajar, menela’ah, dan memahami bagaimana ketetapan-ketetapan itu bekerja.
Mungkin ini memang sudah sangat terlambat, tapi tidak apa-apalah. Terkadang dalam memahami suatu perkara butuh rentetan waktu yang tidaklah singkat. Mungkin bagi orang lain, waktu berpuluh-puluh tahun yang ia lalui bisa saja hanya dengan setahun atau satu bulan saja, mungkin juga ada yang hanya butuh satu minggu atau satu hari saja untuk mengerti, bahkan mungkin ada juga orang yang dapat memahami perkara seperti itu hanya dalam kurun waktu hitungan jam saja dan mungkin saja ada yang lebih singkat dari sekedar hitungan jam.
Satu-satunya yang ia sesalkan kini adalah mwngapa pemahaman seperti itu baru ia dapatkan ketika nyawa orang lain telah melayang didepan matanya?, apatah lagi nyawa itu adalah miliki orang-orang yang ia cintai dan kasihi.
Dibaringkannya sandaran jok bagian depan mobil secara horizontal hingga ujungnya bersinggungan dengan jok bagian belakang. Mengahisap rokok yang terakhir kalinya kemudian merapikan diri sambil berbaring setengah menekuk lutut supaya kapasitas Jeep dapat manempung tinggi badannya.
Ketika matanya setengah terpejam, jejemarinya meraba jok tempatnya berbaring, mengendus aromahnya untuk terakhir kalinya pada hari itu. Kebiasaan yang sering ia lakukan ketika berbaring bersama almarhum istrinya dahulu. Barangkali begitulah karakter dari kebiasaan, akan selalu saja melekat, tidak ada kompromi pada kondisi apapun. Akan selalu saja terulang, disadari atau tanpa disadari.
Kota menjadi sangat menawan dalam balutan malam dan embun tipis yang berpadu dengan sinar-sinar mungil dari ribuan bola kaca yang menebar pijar keseluruh pelosok kota. Tiang-tiang lampu antik peninggalan rezim yang telah lampau menggantung bola-bola cahaya itu menyusuri jalan protokol, memanjang menyerupai sungai cahaya yang menghubungkan sisi barat dan sisi timur kota. Kota tua yang menyimpan banyak kenangan. Kenangan antara pribumi dan para penjelajah samudra dari arah barat kota, orang-orang dengan kebiasaan hidup menjarah dan menjarah.
Lalu lintas tampaknya lancar malam ini.
Sambil menghisap dalam-dalam sepuntung rokok untuk menghangatkan badan, sosok itu bergerak menuruni lereng bukit dibantu dengan nyala api kecil yang bersumber pada korek bermerek impor kesayangannya. Hampir sebulan sekali ia mengunjungi tempat-tempat yang berdaratan tinggi untuk melepas segala penak yang mengisi rutinitas sehari-harinya yang padat dengan aktifitas.
Kadang-kadang ia mencelah diri sendiri atas segala rutinitas hidupnya yang cukup membosankan, kerja keras demi penghidupan yang lebih layak, tapi setelah yang dicita-citakannya sejak dahulu telah ia capai. Seiring dengan perjalan waktu, sesuatu yang lain justru menghampiri tatkala puncak kejayaan semakin dekat untuk ia raih. Hidup hambar tampa gairah, kehilangan yang tak tergantikan. Seperti itulah kira-kira hidup yang ia jalani saat ini.
“Sial!, hapir seluruh hidupku habis hanya untuk mengejar uang dan uang. Mengejar kemewahan yang sebetulnya hanya perwujudan lain dari kualitas hidup yang murahan”.
Dalam kesal ia terus saja menuruni bukit menuju lereng. Nafasnya tidak beraturan akibat bau lembab tanah serta aroma lumut yang tumbuh liar diatas bebatuan yang tandus menusuk-nusuk kedalam hidungnya, bau seperti itulah yang paling ia benci. Bau busuk tanah seakan berkata padanya jikalau maut telah semakin dekat hingga kedalam ubun-ubunnya. “Sebentar lagi!, dan pasti akan datang, mungkin dalam waktu yang tidak begitu lama lagi, tubuhnya akan terbujur kaku, sekaku peti mati yang akan menghantarkan dirinya ketanah peristirahatan. Barangkali telah ada belatung yang menunggunya disana”.
Betapa sendirinya aku!, barangkali tidak seorangpun yang berkabung dengan kepergianku nantinya?.
Sosok itu terus saja menggerutu hingga sepatu bot-nya beberapa kali tersandung pada batu-batu cadas yang tersebar hampir diseluruh rute yang ia lewati, namun pada akhirnya lelah juahlah yang menghantarkan tubuhnya ke-kaki bukit, mendarat tepat disamping jeep hitam miliknya.
Segera saja, hawa dingin yang sedari tadi menerpa kulit pucatnya yang telah mengeriput akibat termakan usia mendesak tubuhnya untuk cepat-cepat menenggelamkan diri kedalam kotak besi itu. Meski Jeep itu sudah sangat tua, barangkali sudah setua dengan usianya sendiri, akan tetapi yang terpenting Jeep tua itu masih sanggup untuk memberikan kehangatan pada tubuh rentahnya, dan mungkin Jeep itulah barang paling berharga yang ia miliki sekarang. Jeep yang penampilannya lebih cocok dikatakan antik ketimbang artistik, dan barangkali pula rangkanya sudah banyak termakan karat.
Beberapa orang jutawan pernah menaksir Jeep-nya dengan harga yang menggiurkan, namun apalah hendak dikata. Jeep itu seakan telah menyatu dengan dirinya, manjadi bagian dari hidupnya. Sebetulnya ia dapat saja menjual Jeep itu dengan harga yang mahal dan membeli mobil baru yang lebih canggih dan tentunya lebih murah harganya. Namun begitulah ia, dan keras kepala mungkin adalah sifat yang paling sulit untuk ia taklukkan.
Pada suatu malam yang lain, malam yang teramat lampau. Barangkali sudah berpuluh-puluh tahun yang telah lalu. Malam itu suasana tampak meriah pada sebuah rumah megah dengan desain bagunan bergaya Eropa-meditarian. Antik dan menawan. Dibawah penerangan lampu yang megah, beberapa pelayan sibuk menjamu para tamu yang datang berbondong-bondong, seperti tak ada hentinya mereka berdatangan. Datang dan pergi, yang pergi selalu saja berpapasan dengan mereka yang baru saja datang.
“Perayaan ulang tahun yang meriah”. Ucap beberapa tamu undangan pada resepsionis yang tampak anggun dengan sunyuman ramah menjamu para tamu.
Mobil mewah tampak tersusun rapi pada pekarangan yang kira-kira luasnya hampir separuh dari lapangan sepak bola. Kemewahan tampak dengan jelas disana, mengundang decak kagum bagi mereka yang kebetulan melewati daerah itu untuk suatu perjalanan dan urusan.
Sehabis bencengkrama dengan tuan rumah, beramah-tamah barang sejenak, mencicipi aneka hidangan. Para undangan akhirnya berpamitan dengan senyum yang mengembang, takjub serta decak kagum atas jamuan yang mereka jumpai pada malam itu.
Beberapa hari sebelum perayaan ulang tahun. Saat itu suasana kompleks sudah mulai sepi, para tetangga telah memadamkan lampu dirumah masing-masing, kecuali lampu halaman depan yang dibiarkan tetap menyala hingga pajar menyingsing keesokan paginya, serta beberapa lampu ruangan yang memang sudah seharusnya tetap menyala.
Tepat ditengah-tengah kompleks, pada sebuah ruangan yang mewah, nampak lukisan-lukisan bernilai seni tinggi bertebaran dalam bingkai yang kokoh disetiap sisi ruangan. Lantai-lantainya sebagian besar terbalut oleh karpet Persia berhiaskan permadani. Tiga set kursi beserta meja tamu dengan model dan keantikan masing-masing disusun mengikuti struktur ruangan yang berbentuk oval dan sedikit agak melonjong dengan berbagai lekukan-lekukan pada tiap-tiap sisi masing-masing, kesan itu sengaja ditimbulkan untuk menghadirkan nuansa kemegahan dalam ruangan itu.
Pada dilagit-langit kamar terpahat seni grafik dan pahat yang begitu rumit, bentuknya melingkar dan menghadirkan kesan akan adanya balkon pada langit-langit ruangan tersebut. Sumber penerangan utama berasal dari gugusan kaca-kaca kristal yang menggantung dalam rajutan yang bertingkat-tingkat, berkilau-kilau dalam cahaya yang bening. Dari balik kilauan itulah, tersembunyi logam-logam kuningan yang menjulur kesegala arah sebagai tangkai tempat bergelantungan bagi buliran-buliran kristal kecil yang jumlahnya mencapai ratusan bulir itu. Bagai sarang tawon yang menggantung anggun tepat ditengah-tengah seni pahatan pada langit-langit ruanggan. Diantara kemewahan yang tersaji itulah, nampak dua sosok yang sedang terlibat dalam percakapan serius.
Asuransi tak ubahnya bertaruh!, mengundi nasip. Kau tahukan?, mengundi nasip itu haram hukumnya dalam agama.
Iya, tapi tolong dengar penjelasanku sebentar!
Ah masa bodoh. Capek aku membahas persoalan-persoalan yang tidak penting seperti itu.
Dengan sebuah ayunan yang keras, tangan kanan Makhrus mendepak bahu istrinya sehingga tersungkur kearah belakang. Untungnya sebuah kursi empuk menadah tubuh Diana yang terjatu akibat keget dan kehilangan keseimbangan pada tubuhnya.
Siapa yang bisa mengasuransikan kematian atau nyawa seseorang hah?. Suaminya melanjutkan pembicaraannya tanpa memedulikan keaadaan istrinya yang terjerembab diatas sofa hitam penghias ruang tamu mereka.
Hanya kehendak Tuhan-lah sebagai garansinya. Tuhan tidak akan pernah zalim terhadap hambanya.
Ia, perkataanmu benar adanya. Diana berucap lembut sambil mengusap bintik-bintik air yang menghias pada kelopak matanya. Ia tampak shok melihat kondisi suaminya. Ini kali pertama Makhrus marah padanya, membentak-bentak dalam berbicara. Situasi seperti ini sungguh mengerikan baginya.
Sejak pernikahan mereka 11 tahun yang lalu, kini mereka telah dianugerahi seorang putri yang beberapa hari lagi usianya genap sembilan tahun. Selama itu pula, Makhrus tidak pernah bertindak kasar seperti sekarang ini barang sekalipun. Jika terjadi ketersinggungan paling-paling Makhrus menampakkan ketidak sukaannya dalam diam. – Kehilangan canda dan keceriaannya.
Salma nama putrinya, dan mungkin Salma akan menjadi satu-satunya buah hati untuk pernikahan mereka, sebab setelah melahirkan anak pertamanya itu, dokter kandungan memfonis jikalau kelahiran pertama anaknya mengakibatkan terjadinya lemah kandungan pada rahimnya.
Kau harus berhenti dari kegiatanmu itu!, jangan menjadi istri yang bandel, keras kepala dan, membangkang pada kehendak suami. Silakan kerja apa saja, kau boleh melakukan kegiatan apa saja yang penting bukan sesuatu yang kotor dan menghina agama seperti itu. Itu pun jika kau tidak merasa cukup dengan apa yang aku berikan selama ini.
Istri yang sholeha tentunya bersabar, tabah, dan bersyukur atas apa yang diberikan oleh Tuhan lewat keringat dan kerja keras suaminya. Istri yang baik-baik tidak akan meninggalkan rumah tanpa seizing suami, tidak keluyuran tanpa sepengetahuan suaminya.
Diana tampak menunduk hikmat mencermati perkataan suaminya. Memang benar, apa yang diberikan oleh suaminya selama ini jelas telah lebih dari sekedar cukup adanya. Nafkah lahir dan batin sama sekali tidak kurang, namun sebagai manusia biasa tentunya ia mendambakan sesuatu, sesuatu yang berarti. “Ya, mencari arti dalam hidup”. Mungkin semangat itulah yang bersarang dalam dadanya.
Hidup bermanfaat bagi manusia yang lain, tidak hanya bagi keluarga saja melainkan dengan manusia-manusia yang lain juga, tanpa memandang status dan ikatan tertentu, perasaan seperti itulah yang ia idamkan semenjak dahulu, bahkan sebelum dirinya dipersunting oleh Makhrus ia telah memiliki rasa peduli serta jiwa penolong yang tinggi.
Prihatin terhadap sahabat-sahabatnya yang banyak menghadapi masalah dalam urusan finansial menjadi faktor utama sebagai pemicu meluapnya rasa itu.
Marya salah satu tetangganya mengalami penipuan dalam bisnis simpan pinjam. Nyonya Darmanto, tertipu dengan bisnis MLM gadungan. Mila sahabat karipnya sejak SMU merasa terbebani oleh polis asuransi salah satu perusahaan asuransi ternama, hal itu terjadi dikarenakan ia tidak memahami dengan seksama cara kerja polis yang mengikat dirinya. Jadinya pendapatan suaminya yang mengalami beberapa kali mutasi akibat krisis hampir-hampir tidak mencukupi untuk membayar premi yang telah disepakati sebelumnya. Sangat disayangkan jika polis asuransi itu harus kandas ditengah jalan sebab mereka telah membayar preminya sudah sejak lama. Pada satu sisi, Mila dan suaminya sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan negosiasi ulang dengan pihak perusahaan. padahal jalur seperti itu sudah sewajarnya Mila dan suaminya tempu, namun dasar pendidikan yang terlanjur rendahan menjadikan mereka butuh lebih dari sekedar pendamping dalam urusan seperti itu.
Sebetulnya sudah sejak lama Diana berurusan dengan perkara asuransi, almarhum Ayah dan Ibunya mewariskan harta yang lumayan dan hampir-hampir keseluruhan dari harta tersebut telah bersentuhan dengan asuransi, terutama rumah dan sebuah mobil antik kesayangan ayahnya yang kini menjadi miliknya.
Asuransi jiwa yang ia miliki sebelum menikahpun masih sempat ia bayar preminya beberapa kali pada awal-awal usia pernikahannya, namun hal itu kandas setelah suaminya meminta dirinya untuk berhenti. Sebagai istri yang patuh dan cinta pada suami, Diana secara sukarela meluluskan permintaan suminya itu.
Setelah mendapatkan kehangatan dalam Jeepnya, sosok itu meraih kunci dari saku celananya dan membuka laci mobil yang terletak dibagian depan tidak jauh dari tempat ia biasanya menyetir, mencari sesuatu yang dapat dikunya agar otot-otot rahangnya yang kaku dan mengeras akibat hawa dingin mendapat aktifitas gerak, cara yang efektiv untuk menghangatkan otot yang kaku akibat cuaca dingin.
Beberapa kali ia mencari namun tak satupun barang yang dapat dikunya ia jumpai pada laci mobilnya, disana hanya ada beberapa bungkus rokok kretek dan beberapa selebaran yang telah acak-acakan. Ia sendiri tidak tahu persis atas sebab apa brosur-brosur itu berada dalam laci mobilnya. Satu-satunya yang ia ketahui bahwa selebaran-selebaran itu telah amat sangat lama mendiami laci mobil miliknya, bahkan kertas-kertas itu tampak sudah sangat lusuh dan karatan oleh debu. “Barangkali saja karyawan perusahaan asuransi yang meletakkannya disana setelah menyerahkan kunci Jeep itu sebagai pengganti Jeep istrinya yang hangus terbakar puluhan tahun silam”.
Dipandanginya beberapa brosur yang tergeletak pada laci mobil. Beberapa nama perusahaan nampak disanan, ketika pandangannya berhenti pada sebuah brosur sederhana “AJB Bumiputera 1912” begitulah kira-kira kumpulan huruf yang tercetak menonjol oleh ukuran dan penggunaan warna yang berkarakter terbalik dari background yang tercetak pada brosur itu.
Huruf-huruf itu seakan sudah sangat pamiliar dibenaknya. Ada rasah yang tak dapat ia pahami dan tidak dapat untuk diungkapkan. Sepertinya sesuatu yang sudah sangat lampau. Yah, lampau sekali!. Barangkali sesuatu yang amat berharga pada masa mudanya dulu.
Sejak peristiwa kebakaran yang menghancurkan usaha pergudangannya, membumi hanguskan rumah dan harta bendanya. Istri dan anaknya tercintapun meninggal akibat peristiwa itu. Ia sendiri tidak sadarka diri dan terbangun dengan perban yang membalut disekujur tubuh pada salah satu kamar rumah sakit. Ingatannya banyak menumpul sejak saat itu, nama sendiripun kadang-kadang ia lupa, sampai seseorang yang kebetulan berpapasan menegur dirinya. Makhrus!. Demikian orang-orang sering menyapa dirinya.
Uang memang bukanlah segala-galanya, akan tetapi tanpa kemerdekaan finansial siapa saja akan kehilangan orientasi hidupnya, kehilangan kemerdekaannya, kehilangan idealisme, kehilangan hampir dari seluruh pilihan-pilihan yang ia miliki. Waktu berharga yang dimiliki terbuang secara percuma hanya untuk mengurusi persaoalan-persoalan sepeleh dan semraut yang tentunya sama sekali tidaklah penting kecuali karena adanya suatu desakan. – Tidak jarang berupa paksaan untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Hari ini ia baru sadar bahwa kehendak Tuhan sebetulnya telah berada dalam ketetapan-ketetapan-Nya. Angin pasti akan berhembus, air pasti mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, api pasti akan membakar, termasuk masa depan yang tidak terprediksi oleh manusia juga merupakan bagian dari kehendak dan tentunya ketetpan Tuhan. Poin terpenting bagi manusia sebagai hamba-Nya adalah membaca ketetapan-ketetapan itu secara jeli. Belajar, menela’ah, dan memahami bagaimana ketetapan-ketetapan itu bekerja.
Mungkin ini memang sudah sangat terlambat, tapi tidak apa-apalah. Terkadang dalam memahami suatu perkara butuh rentetan waktu yang tidaklah singkat. Mungkin bagi orang lain, waktu berpuluh-puluh tahun yang ia lalui bisa saja hanya dengan setahun atau satu bulan saja, mungkin juga ada yang hanya butuh satu minggu atau satu hari saja untuk mengerti, bahkan mungkin ada juga orang yang dapat memahami perkara seperti itu hanya dalam kurun waktu hitungan jam saja dan mungkin saja ada yang lebih singkat dari sekedar hitungan jam.
Satu-satunya yang ia sesalkan kini adalah mwngapa pemahaman seperti itu baru ia dapatkan ketika nyawa orang lain telah melayang didepan matanya?, apatah lagi nyawa itu adalah miliki orang-orang yang ia cintai dan kasihi.
Dibaringkannya sandaran jok bagian depan mobil secara horizontal hingga ujungnya bersinggungan dengan jok bagian belakang. Mengahisap rokok yang terakhir kalinya kemudian merapikan diri sambil berbaring setengah menekuk lutut supaya kapasitas Jeep dapat manempung tinggi badannya.
Ketika matanya setengah terpejam, jejemarinya meraba jok tempatnya berbaring, mengendus aromahnya untuk terakhir kalinya pada hari itu. Kebiasaan yang sering ia lakukan ketika berbaring bersama almarhum istrinya dahulu. Barangkali begitulah karakter dari kebiasaan, akan selalu saja melekat, tidak ada kompromi pada kondisi apapun. Akan selalu saja terulang, disadari atau tanpa disadari.
Malang 29-Juni-09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar