Stasiun Gajayana. Agustus 2009
Pukul 01.00 siang, saat aku memuntahkan diri dari sebuah angkutan umum yang baru saja melajuh dari arah utara kota. Sekali melihat penampilanku, orang-orang disekitar situ lantas saja paham jikalau aku adalah seorang penakluk gunung. Sisa-sisa lumpur yang telah mengering masih dapat ditemui pada jejak sepatu yang kukenakan. Baju dan celana lusuh oleh noda tanah serta kusut pada bagian tertentu. Sedangkan tas carrier yang menempel pada punggung hampir saja menyamai tinggi badanku – Tinggi badanku kurang lebih 170 cm.
Orang-orang disekitar stasiun antusias membicarakan peristiwa naas yang diperkirakan terjadi dua pekan lalu di Semeru. Aku lebih banyak tersenyum dan irit dalam berkata-kata. Dan hasilnya, orang-orang berhenti juga bergerombol dan menanyaiku. Lantas kumasuki sebuah kotak mungil yang tak jauh letaknya dari pintu utama stasiun.
Sial!, Sejak kapan lampu padam?. Mengapa tidak nampak dilayar monitor semacam pesan singkat bila suplay listrik sedang terputus, paling tidak semacam pesan; Daya Low atau count down bila system akan me-non aktifkan dirinya -- Kartu ATM terlanjur kutancapkan pada mesin anjungan. Ugh..bagaimana ini. Samasekali tak ada uang didompet, pulsa tinggal seratus lima puluh rupih, cuma bisa sekali sms. Padahal rencana semula adalah transaksi pulsa e-banking dan menarik sejumlah uang tunai untuk tiket kereta Malang-Jogja.
Aku terduduk lunglai dihadapan sebuah mesin ajungan. Entah sebab apa. Cerita haru-biru salah satu dosenku saat menempu studi dulu seketika itu juga memenuhi batok kepala. Bayangkan!. Begitulah biasanya dosen itu memulai, barangkali semacam prolog.
“Coba kalian bayangkan!. Betapa repotnya mengayuh sepeda -- berkilo-kilo jauhnya untuk sekedar mencaiarkan wesel kiriman orangtua. Mengantri, kadang berjam-jam lamanya, dan itu cukup untuk menjadikanmu mandi keringat meski tanpa melakukan apa-apa”. Diam-diam, aku sering mengolok ketika dosen itu bernostalgia didepan kelas . “Jadul!” bisikku pada teman sekelas. “Lelucon basih yang terlampau sering diulang-ulang” yang lain menimpali.
Kualat aku sekarang. Tak ada yang dapat kulakukan kecuali menunggu. Entah sampai kapan listrik akan padam. Kutengok ulang kotak mungil dibalik punggungku itu. (Tidakkah teknologi canggih ini memiliki semacam kemampuan untuk mengirim pesan singkat pada kantor cabang terdekat?. Sekedar pemberitahuan jikalau; Disini, sedang ada pelanggannya yang menghadapi kesulitan layanan). Beberapa orang hendak menuju ke kotak tersebut tapi semuanya aku cegat. Listrik padam!, tegurku lemas. Sekarang aku sudah resmi beralih profesi, dari pemanjat gunung menjadi satpam ATM. Gigi pada gerahang kurasai bergemertak. Barangkali juga, tulang pipiku kini lebih menonjol ketimbang biasanya.
Didepan pintu stasiun, aku berdiri linglung kehilangan arah. Kondisi seperti inilah yang sering memanggil ulang trauma pahit dalam hidupku. Lantimojong. Tak akan kulupakan nama itu. Tersasar ditengah hutan belantara dengan peralatan serta bekal seadanya. Dua hari berikutnya, tidak ada lagi beras, ataupun makanan instant. Lima orang muda-mudi tersasar selama dua minggu lamanya -- berjuang mempertahankan hidup dan melawan ganasnya alam -- memakan dedaunan serta biji-bijian asing sebagai penghidupan.
“Gelisah akan selalu mendatangkan kesialan, sedangkan ketenangan diri adalah sebaliknya”. Begitulah pesan kakekku. Aku sendiri tidak terlalu percaya dengan ungkapan magis dan metafisis itu. Bangiku, pasti ada suatu rumusan ilmiah yang dapat menjelaskan kedua kondisi itu. Meski merasa ragu, waktu tersesat di Lantimojong dulu, kata-kata itulah yang selalu menjadi pegangan. Disaat teman senasib mulai putus dari asa, aku sendiri bersimpuh menenagkan diri, menghadapkan wajah dan tubuh kecil ini kepada Sang Penguasan jagat raya. Pagi berikutnya, datang saja ide padaku untuk menyusuri aliran sungai. Lima hari lamanya menyisir sungai – Akhirnya, sebuah benda silau tampak dari kejauhan, benda yang tak lain dari atap seng salah satu rumah penduduk pada kaki gunung.
Disini, tepat ditengah-tengah lautan manusia kota, kucoba mengukir ulang kemujuran lima tahun silam. Menimbang antara mengirim pesan singkat pada layanan servis Bank ataukah pada teman yang ada di Malang. Jalur host line!. Mungkinkah, Bank telah memiliki layanan SMS semacam itu?. Jikalau teman!, tapi kepada siapa?. Sekarang adalah masa liburan. Hamri yang menjemput kedatanganku dari Jogja dua minggu yang lalu, sudah mudik ke Makassar. SMS hanya bisa sekali kirim!, aku mewanti-wanti diri. Lama aku merenung, akhirnya jempolku memencet juga tuts yang berjejer pada ponsel -- menjelaskan secara singkat mengenai kaadaanku, lantas memilih nomor paling meyakinkan berdasarkan hemat yang ada.
Klik, saat tombol “Yes” kutekan. Lagi-lagi sial..!, status SMS pending. Lengkap sudah penderitaanku sekarang. Hanya sedikit lebih beruntung saja ketimbang enam orang yang hangat diberitakan koran itu. “Kalian yang menghilang di Semeru, adakah badai pasir itu sekedar rintangan kecil yang tak berarti untuk mematahkan langkah. Ataukah, itu memang sudah menjadi takdir untuk mempersatukan jasad kalian bersama alam yang dirindu”.
Herman!, seseorang berseruh lantas menepuk pundakku dari arah belakang. Amrul, sapaku tidak kalah meriahnya. Amrul adalah salah satu pendaki asal Jakarta yang ikut menggabungkan diri bersama tim SAR -- mencari enam pendaki asal Jogja yang dikabarkan hilang itu. Sebetulnya, kami berdua punya acara yang sama; Upacara 17 Agustus dipuncak Semeru. Tradisi tahunan yang selalu semarak dan meriah. Lantaran hilangnya enam orang pendaki serta aktivitas magma semeru yang tidak normal, maka rencan harus diurungkan lantas menggabungkan diri bersama tim SAR.
Kami memilih mengobrol santai pada kedai kopi yang berhadapan langsung dengan stasiun sembari mengawasi keadaan. Sewaktu-waktu ketika listrik hidup lagi, salah satu diantara kami dengan segerah bergegas menuju ATM diseberang jalan raya itu. Amrul sendiri juga sudah kehabisan uang, beruntunglah masih tersisa tujuh ribu dalam dompetnya. Dengan begitu, ia memesan secangkir kopi hitam untuk diminum berdua. Estafet!, katanya ramah. Sedangkan sisanya untuk aneka jajanan -- sekedar mengganjal perut yang belum sempat tersentuh sarapan sejak meninggalkan posko darurat yang didirikan oleh tim SAR.
Aku lari tunggang lanngang saat pesawat televisi di dekat situ mempertontonkan fungsinya. Amrul tetap duduk santai sembari menertawakan tingkahku. “Sial, kartu ATM-ku tertelan!”. Seruhku dari seberang jalan. Amrul bergeleng kepala. Belum lagi sempat menyeberang, sesosok perempuan cantik datang begitu saja menyapaku, lantas kami menyeberang bersama-sama. Terjadilah perkenalan singkat oleh tiga muda-mudi pada kedai kecil itu.
Aku merapikan diri, mengangkat ransel dengan bersemangat. “Pertolongan sudah datang, cantik pula!”, bisikku pada Amrul. Kusibakkan tas punggung yang beratnya berkili-kilo itu ibarat sedang mencantolkan selembar kain pada bahu. Tanpa kusadari, tiga buah gelas menggelinding dari atas meja dan jatuh berbelah menjadi beberapa keping. Pemilik warung memperlihatkan wajah garangnya.
Ceroboh kau!, seruh Amrul dengan tatapan tidak kalah garangnya. Tatapan itu jelas saja berarti; Kita tak punya uang untuk menebus kecerobohan ini.
Gadis bertubuh semampai itu mendekati pemilik warung. Bercakap-cakap barang sebentar. Jawa kromo ala Malang tentunya. Lantas ia berbalik dan tersenyum. Renyah sekali.
Amrul membuang pandangannya jauh kearah ATM diseberang jalan. Bibirnya yang terkunci rapat seakan hendak berkata; Aku masih punya harapan untuk menutupi rasa maluku. Aku sendiri tertunduk dongkol. Lantaran watak asliku yang buruk itu terpapar dengan jelas didepan seorang darah muda nan cantik jelita ini. Sekarang aku baru mengerti, mengapa kakek dahulu memberi pesan khusus padaku sewaktu hendak meninggalkan tanah leluhur.
Yang terjadi biarlah terjadi. Setidaknya, aku tidak bakalan bosan menunggu sampai kartu ATM itu kembali terselip kedalam dompetku. (Hamri..!, Pandai betul kau mengutus pelipur larah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar